/ Budiman S. Hartoyo
INUL bukan sekedar fenomena. Ia fenomena yang menggoda -- di zaman yang katanya disebut reformasi ini.
Karir Inul meroket spektakuler gara-gara goyangnya menggusur segala goyang dangdut yang pernah ada di panggung dangdut Indonesia. Jadilah perempuan ndeso ini primadona yang menghibur rakyat kecil dan rakyat besar. Ia OKB alias "orang kaya baru" yang hartanya diperoleh dengan banting tulang: goyang pinggul dan pantat, peras keringat.
Ia menggoda kita karena segera saja goyangnya menimbulkan pro-kontra. Istilah ini harus dibaca dari belakang, karena yang terjadi yang kontra terlebih dahulu berteriak, barulah muncul yang pro.
Sampai di sini, sekedar kontra dan pro sebatas wacana, masihlah sesuai dengan zaman reformasi yang maknanya, antara lain, menegakkan demokrasi, menghargai kebebasan berpikir, berpendapat, dan bergoyang. Sejauh sesuatu itu tidak menyebabkan kerugian secara nyata pada masyarakat, sekedar kontra dan pro dalam wacana, memberikan toleransi adalah amanat demokrasi.
Tapi itulah, ada yang tidak tahan uji. Ada yang kemudian mendamprat Inul. Alasannya, Inul anggota organisasi Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI), dan arena konon banyak anggota persatuan yang tak setuju dengan goyangan yang disebut sebagai erotis itu, Inul dilarang menyanyikan lagu ciptaan anggota PMMI. Ini larangan dalam keluarga besar, jadi ini internal, yang di luar dilarang ambil bagian.
Tapi, keluarga mana yang melakukan teguran dibarengi konperensi pers? Ada rupanya yang mencampur adukkan antara rumah pribadi dan ruang publik, masalah internal dan persoalan masyarakat.
Ini fenomena lama, yang rasanya masih berlanjut hingga sekarang. Fenomena inilah antara lain penyebab korupsi, dan yang melakukannya, tak merasa bahwa ini melanggar hukum. Ketika seseorang mencampur adukkan antara uang pribadi dan uang perusahaan atau uang negara, ia berada di ambang pintu korupsi. Begitu uang perusahaan atau negara masuk kantung dan dibelanjakan sebagai uang pribadi, korupsi pun terjadilah.
Kembali ke soal Inul, mestinya dalam alam demokrasi ini kebebasan bergoyang adalah hak seorang penyanyi, sebagaimana hak setiap orang untuk menyatakan pendapat, menyatakan pikiran, menyatakan ekspresi. Dan itu tidak berarti bahwa goyang tersebut harus dipuji. Goyang itu mau dikritik atau dicerca habis-habisan, tak jadi soal.
Adapun jika ternyata panggung Inul dikerubuti banyak penonton, banyak tawaran kontrak datang, itu rezeki dia. Seperti juga kalau ada yang merasa kok pangung dia menjadi lebih sepi setelah Inul ngetop, itu tantangan untuk mengubah nasib: lebih bergoyanglah, lebih kreatiflah – meski sepinya panggung yang lain itu belum tentu gara-gara Inul.
Jadi, itu aturan mainnya: bersaing secara sehat, bukan main melarang ini dan itu. Pelarangan untuk sesuatu yang menjadi hak seseorang, berlawanan dengan semangat reformasi, dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dan ini berbahaya, bisa menyebabkan dunia terbalik-balik. Atau dalam kata-kata Ranggawarsita, pujangga Jawa legendaris itu, menyebabkan "jaman edan": yang harus dikritik tidak dikritik, yang harus dikenai hukuman tetap bebas, yang korup dijadikan pimpinan, yang jujur tergusur.
Inul memang menggoda kita. Dan di zaman kebebaan ini, ketika siapa pun tak takut-takut lagi mengkritik dan mencerca siapa pun, siapa sih yang tidak berani mencerca Inul? Yang tidak mudah, kita tetap berkepala sehat meski digoyang bor Inul. "Inul, aku tidak setuju dengan goyangmu, tapi kalau ada yang melarang kau bergoyang, aku akan berada di depan membelamu." Ini adalah kata-kata mereka yang tetap berkepala sehat meski mungkin limbung juga gara-gara digoyang Inul.
Bahkan, ada yang lebih dari itu. Misalnya, Taufik Kiemas, suami presiden kita, penggede sebuah partai. Ia bukan saja tidak melarang, tidak mengkritik, malahan "menangkap" Inul. Apakah ini penangkapan sesaat atau penangkapan awal untuk tahun depan, ketika kampanye pemilu dimulai, itu soal lain.
Goyang Inul memang goyang menggoda. Tapi, kalau yang limbung yakin, bahwa goyang Inul bermutu rendah dan merasa sedih kok yang seperti itu yang menyedot penonton, biarlah penonton yang memutuskan sendiri: akan tetap bergoyang ria bersama Inul atau kabur mencari yang lain…
Inul, saudara-saudara, memang menggoda kita.
(TRUST, 7-14 Mei 2003).
Thursday, December 21, 2006
Sunday, December 03, 2006
PERS BEBAS, KONFLIK SOSIAL, PENDIDIKAN POLITIK
Buruk muka, pers dibelah
[Taufiq Ismail]
/ Budiman S. Hartoyo
MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini -- dan bersamaan dengan itu juga sering terjadinya konflik sosial -- rupanya membentuk asumsi di kalangan beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid, sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang 'keras'. Maka, tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta menuding pers 'memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar' situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai 'akar rumput kering' itu?
Sesungguhnyalah, peran pers pertama-tama ialah (sekedar) memberitakan fakta, 'memotret' situasi, untuk disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pers haruslah bersikap independen, menyampaikan fakta secara obyektif, jujur, adil, berimbang. Sejalan dengan itu, pers juga berperan untuk melakukan social control dan oleh karena itu harus independen, dan cukup bijak. Di samping itu, pers juga berperan mensosialisasikan gagasan untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Artinya, pers harus berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik. Jika pers mengkhianati publik, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca.
Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara kurang benar) sebagai 'zaman liberal'. Ketika itu, sebagian (besar) pers merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung Karno disebut gontok-gontokan.
Wajah pers bebas ternyata cukup membikin keder sebagian kaum birokrat sebagai wakil kekuasaan negara. Dan anehnya, bahkan penyelenggara sebuah diskusi publik di Jakarta, beberapa waktu lalu juga khawatir kalau-kalau kebebasan pers saat ini, sebagaimana tertulis dalam acuan diskusi, "menimbulkan bayang-bayang yang mengancam proses pendidikan politik masyarakat ke arah yang tidak edukatif". Benarkah pers bebas saat ini membahayakan pendidikan politik, bahkan mungkin punya andil dalam memperkeruh keadaan hingga mendorong timbulnya konflik?
Seperti halnya masa kini, di tahun 1950-an juga merupakan era multipartai. Ketika itu perbedaan pendapat, bahkan juga konflik antarpartai, cukup tajam. Partai oposisi sering mampu menggoyang dan menjatuhkan kabinet (yang didominasi oleh partai yang berkuasa), hingga Bung Karno menjuluki zaman itu (secara salah kaprah) sebagai zaman 'demokrasi liberal'. Sejalan dengan itu pers, baik yang independen maupun yang berafiliasi kepada partai politik, ikut meramaikan konflik politik.
Menjelang tahun 1960-an, tepatnya memasuki zaman 'demokrasi terpimpin', yang lahir berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, dan sebagai jawaban Bung Karno terhadap 'demokrasi liberal', pers tak lagi bebas. Seperti halnya semua parpol dan ormas, ketika itu media massa diwajibkan menjadi 'alat revolusi', dan harus berpedoman kepada Manipol-Usdek, yaitu tafsir Pancasila ajaran 'Pemimpin Besar Revolusi' Bung Karno. Persis seperti P4 yang merupakan tafsir Pancasila ala Soeharto. Bung Karno menganjurkan agar semua kekuatan politik, termasuk media massa, saling jorjoran manipolis. Yang tidak manipolis digulung dan dituding sebagai 'musuh revolusi', 'reaksioner', 'kontra revolusi' -- seperti halnya stempel 'subversif' di zaman Orde Baru.
Di era Orde Baru di tahun 1970-an, pers yang mulai bangkit dari trauma 'demokrasi terpimpin' benar-benar ingin bebas. Hal itu, misalnya, tercermin dari upaya sejumlah tokoh pers, antara lain (almarhum) H. Mahbub Djunaedi, yang berhasil merumuskan UU Pokok Pers (1966). Dalam UU tersebut tercantum satu ayat yang sangat penting (''bagi pers nasional tidak dikenai breidel"), dan sebagai konsekwensinya dicantumkan pula satu ayat pendukungnya yang menyebutkan bahwa SIT (Surat Izin Terbit) hanya berlaku selama masa transisi. Yang dimaksud dengan masa transisi ialah sampai dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum 1971.
Anak Zaman
Celakanya, rezim Orde Baru telah mengkhianati UU yang telah dilahirkannya sendiri. Himbauan telepon, briefing dan peringatan kepada pemimpin redaksi, bahkan breidel tetap saja berlangsung. Bahkan SIT bukannya dicabut, tapi justru dilestarikan bahkan diperkuat sebagai lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) oleh mantan Menteri Penerangan Harmoko -- yang ironisnya tetap mengaku 'berjiwa wartawan' dan 'kerakyatan'. Di lain pihak, pers yang semula merupakan 'pers perjuangan' kemudian menjadi 'pers partisan' (kalau bisa disebut demikian), di era Orde Baru -- sejalan dengan pertumbuhan konglomerasi bidang ekonomi -- tumbuh menjadi 'pers industri'. Pers berusaha menggeliat menggapai kebebasan, tapi tetap saja terbentur pada ketentuan SIUPP.
Yang menarik, baik di era tahun 1950-an ('demokrasi liberal'), tahun 1960-an ('demokrasi terpimpin' alias Orde Lama), maupun di tahun 1970-1980-an (Orde Baru), hampir tidak ada konflik sosial secara horisontal dan spektakuler seperti sekarang. Tak ada konflik SARA (suku-agama-ras-antargolongan), tidak ada kerusuhan disertai pembakaran pusat-pusat perdagangan, tak ada ancaman bom di masyarakat. Apa yang disebut Bung Karno sebagai gontok-gontokan tak sampai berdampak secara luas. Hal lain yang juga menarik, di tahun 1950-an dan 1960-an hampir tak ada pejabat yang menuduh pers ikut 'memanas-manasi' atau 'memancing-mancing' situasi, seperti halnya di zaman Orde Baru dan di zaman transisi sekarang.
Kini, untuk kedua kalinya -- setelah berjarak hampir satu generasi -- kita kembali mengalami sistem multipartai. Dan buat kedua kalinya pula kita menikmati kebebasan pers. Bedanya, jika di zaman 'demokrasi liberal' (sebagian besar) pers cenderung partisan, sementara di zaman 'demokrasi terpimpin' dan di zaman Orde Baru pers kurang bebas karena represi kekuasaan, di era reformasi ini pers tampil (relatif) lebih independen, dan benar-benar bebas. Saat ini, tidak ada satu pun pers yang tampil sebagai pers partisan murni. Memang (dulu) ada Harian Duta Masyarakat (NU), Tabloid Amanat (PAN), Tabloid Demokrat (PDI), dan Harian Abadi (PBB). Tapi, keempat media massa tersebut tidak murni pers partisan, sebab pemilik modalnya bukan 100% partai yang bersangkutan, melainkan Grup Jawa Pos.
Berbeda dari 'zaman liberal' yang tidak melahirkan konflik horisontal, mengapa di era reformasi ini konflik horisontal seolah-olah merupakan 'anak zaman'? Beberapa orang, umumnya para pejabat dan juga politisi yang tidak mengerti demokrasi, menuduh konflik horisontal tersebut gara-gara pers yang 'memanas-manasi', yang 'ngipas-ngipasi'. Padahal, konflik tersebut sudah terjadi sebelum pers memberitakannya. Pers sekedar meliput, memotret, memberitakan fakta sebagai fakta. Kecuali jika menyiarkan berita tentang konflik dan kerusuhan sudah dilarang, sementara yang diizinkan hanyalah peristiwa yang 'baik-baik' saja. Tulis saja semua hal yang serba baik, dan jangan harap publik akan membacanya.
Satu hal yang selama ini dilupakan ialah, konflik yang merebak di masyarakat sekarang ini sangat jelas merupakan letupan dari kemampetan yang selama ini diderita oleh manusia Indonesia. Selama 32 tahun terkungkung tanpa penyaluran, ketika kran dibuka air bah pun membludak tak terbendung. Dan yang disalahkan (lagi-lagi) pers. Sangat tepat penyair Taufiq Ismail yang menulis salah satu puisi yang salah satu barisnya berbunyi: Buruk muka pers dibelah. Memang ada kambing hitam yang dengan mudah dan aman dituding-tuding, yaitu provokator (sementara pers dituding 'manas-manasi'), tapi sang provokator tak kunjung tertangkap. Entah bersembunyi di balik azimat apa, Allahu a'lam bish-shawab.
Konflik sosial, sesungguhnya semata-mata merupakan 'buah' dari penyakit kronis yang diidap masyarakat yang selama 32 tahun terinjak hak-haknya. Yang tumbuh hanyalah apatisme, sementara nalar kritis terpasung secara perlahan-lahan. Sebagian besar pelajar, mahasiswa dan pemuda yang kini berusia 25 sampai 30 tahun -- yang secara kodrati progresif dan memiliki daya nalar kritis -- merupakan korban represi tersebut. Dan merekalah pula yang kini tampil sebagai pelopor pendobrakan untuk membuka kran reformasi. Tapi, dengan atau tanpa pers bebas, mereka niscaya akan bangkit membebaskan diri. Bahkan sebagian besar pers terkesan konservatif, takut, tidak kritis, satu dan lain hal karena ingin 'menjaga harmoni' dengan kekuasaan.
Bukan Main Stream
Sekarang ini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi, kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.
Pers bebas merupakan salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik. Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat -- yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah sekalipun -- bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat (common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen? Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen (dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream. Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah 32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru.
Sangat ironis, bahwa dewasa ini upaya 'perjuangan' untuk kebebasan pers (kalau bisa disebut demikian) justru datang dari pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah. Barangkali, setelah Menteri Penerangan Mohamad Natsir di tahun 1950-an, adalah Yunus Yosfiah yang dalam konteks pers bebas berpikiran sangat progresif. Ia merancang UU Pokok Pers yang sangat progresif, jauh lebih liberal ketimbang rancangan DPR-RI, bahkan dari rancangan PWI (Orde Baru) sendiri. Dan kini, meskipun SIUPP masih dipertahankan, tidak ada pembatasan memperolehnya. Juga tidak ada breidel. Sangat menarik, bahwa Yunus Yosfiah pula -- dan justru bukan para tokoh pers yang terhormat -- yang menyatakan, bahwa pers kita saat ini belum kebablasen, bahwa ratusan media massa yang terbit saat ini belum memadai bagi rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta, bahwa pers bebas merupakan tolok ukur bagi demokrasi.
Dalam konteks pers bebas, seringkali orang berasumsi bahwa pengertian 'bebas' seolah-olah bebas sebebas-bebasnya. Padahal, dengan singkat bisa dijelaskan, bahwa di dalam kebebasan itu sendiri secara implisit ada rasa tanggung-jawab. Tak perlu disebutkan 'pers yang bebas dan bertanggung-jawab', sebab dalam pengertian 'bebas' sudah terkandung rasa 'tanggung-jawab'. Cuma yang jadi masalah bertanggung-jawab kepada siapa? Yang pasti bukan kepada penguasa, melainkan kepada nilai-nilai: kebenaran, keadilan, hukum, moral, kepentingan umum.
Bagaimana dengan si wartawan? Mereka tak cukup hanya belajar jurnalistik hingga mampu trampil dan lihai mewawancarai, memotret, melakukan investigative reporting, dan menulis dengan bahasa dan gaya yang memikat. Tapi, mereka juga harus independen, memiliki dedikasi dengan integritas tinggi, termasuk keberanian untuk menolak amplop, belajar menimbang dan mengukur tulisan dengan nilai dan moral, dan memiliki idealisme untuk membela kepentingan publik.
*) Makalah ini dibacakan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Pendidikan Pemilih (KPP) di Gedung YTKI, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999.
[Taufiq Ismail]
/ Budiman S. Hartoyo
MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini -- dan bersamaan dengan itu juga sering terjadinya konflik sosial -- rupanya membentuk asumsi di kalangan beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid, sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang 'keras'. Maka, tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta menuding pers 'memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar' situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai 'akar rumput kering' itu?
Sesungguhnyalah, peran pers pertama-tama ialah (sekedar) memberitakan fakta, 'memotret' situasi, untuk disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pers haruslah bersikap independen, menyampaikan fakta secara obyektif, jujur, adil, berimbang. Sejalan dengan itu, pers juga berperan untuk melakukan social control dan oleh karena itu harus independen, dan cukup bijak. Di samping itu, pers juga berperan mensosialisasikan gagasan untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Artinya, pers harus berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik. Jika pers mengkhianati publik, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca.
Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara kurang benar) sebagai 'zaman liberal'. Ketika itu, sebagian (besar) pers merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung Karno disebut gontok-gontokan.
Wajah pers bebas ternyata cukup membikin keder sebagian kaum birokrat sebagai wakil kekuasaan negara. Dan anehnya, bahkan penyelenggara sebuah diskusi publik di Jakarta, beberapa waktu lalu juga khawatir kalau-kalau kebebasan pers saat ini, sebagaimana tertulis dalam acuan diskusi, "menimbulkan bayang-bayang yang mengancam proses pendidikan politik masyarakat ke arah yang tidak edukatif". Benarkah pers bebas saat ini membahayakan pendidikan politik, bahkan mungkin punya andil dalam memperkeruh keadaan hingga mendorong timbulnya konflik?
Seperti halnya masa kini, di tahun 1950-an juga merupakan era multipartai. Ketika itu perbedaan pendapat, bahkan juga konflik antarpartai, cukup tajam. Partai oposisi sering mampu menggoyang dan menjatuhkan kabinet (yang didominasi oleh partai yang berkuasa), hingga Bung Karno menjuluki zaman itu (secara salah kaprah) sebagai zaman 'demokrasi liberal'. Sejalan dengan itu pers, baik yang independen maupun yang berafiliasi kepada partai politik, ikut meramaikan konflik politik.
Menjelang tahun 1960-an, tepatnya memasuki zaman 'demokrasi terpimpin', yang lahir berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, dan sebagai jawaban Bung Karno terhadap 'demokrasi liberal', pers tak lagi bebas. Seperti halnya semua parpol dan ormas, ketika itu media massa diwajibkan menjadi 'alat revolusi', dan harus berpedoman kepada Manipol-Usdek, yaitu tafsir Pancasila ajaran 'Pemimpin Besar Revolusi' Bung Karno. Persis seperti P4 yang merupakan tafsir Pancasila ala Soeharto. Bung Karno menganjurkan agar semua kekuatan politik, termasuk media massa, saling jorjoran manipolis. Yang tidak manipolis digulung dan dituding sebagai 'musuh revolusi', 'reaksioner', 'kontra revolusi' -- seperti halnya stempel 'subversif' di zaman Orde Baru.
Di era Orde Baru di tahun 1970-an, pers yang mulai bangkit dari trauma 'demokrasi terpimpin' benar-benar ingin bebas. Hal itu, misalnya, tercermin dari upaya sejumlah tokoh pers, antara lain (almarhum) H. Mahbub Djunaedi, yang berhasil merumuskan UU Pokok Pers (1966). Dalam UU tersebut tercantum satu ayat yang sangat penting (''bagi pers nasional tidak dikenai breidel"), dan sebagai konsekwensinya dicantumkan pula satu ayat pendukungnya yang menyebutkan bahwa SIT (Surat Izin Terbit) hanya berlaku selama masa transisi. Yang dimaksud dengan masa transisi ialah sampai dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum 1971.
Anak Zaman
Celakanya, rezim Orde Baru telah mengkhianati UU yang telah dilahirkannya sendiri. Himbauan telepon, briefing dan peringatan kepada pemimpin redaksi, bahkan breidel tetap saja berlangsung. Bahkan SIT bukannya dicabut, tapi justru dilestarikan bahkan diperkuat sebagai lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) oleh mantan Menteri Penerangan Harmoko -- yang ironisnya tetap mengaku 'berjiwa wartawan' dan 'kerakyatan'. Di lain pihak, pers yang semula merupakan 'pers perjuangan' kemudian menjadi 'pers partisan' (kalau bisa disebut demikian), di era Orde Baru -- sejalan dengan pertumbuhan konglomerasi bidang ekonomi -- tumbuh menjadi 'pers industri'. Pers berusaha menggeliat menggapai kebebasan, tapi tetap saja terbentur pada ketentuan SIUPP.
Yang menarik, baik di era tahun 1950-an ('demokrasi liberal'), tahun 1960-an ('demokrasi terpimpin' alias Orde Lama), maupun di tahun 1970-1980-an (Orde Baru), hampir tidak ada konflik sosial secara horisontal dan spektakuler seperti sekarang. Tak ada konflik SARA (suku-agama-ras-antargolongan), tidak ada kerusuhan disertai pembakaran pusat-pusat perdagangan, tak ada ancaman bom di masyarakat. Apa yang disebut Bung Karno sebagai gontok-gontokan tak sampai berdampak secara luas. Hal lain yang juga menarik, di tahun 1950-an dan 1960-an hampir tak ada pejabat yang menuduh pers ikut 'memanas-manasi' atau 'memancing-mancing' situasi, seperti halnya di zaman Orde Baru dan di zaman transisi sekarang.
Kini, untuk kedua kalinya -- setelah berjarak hampir satu generasi -- kita kembali mengalami sistem multipartai. Dan buat kedua kalinya pula kita menikmati kebebasan pers. Bedanya, jika di zaman 'demokrasi liberal' (sebagian besar) pers cenderung partisan, sementara di zaman 'demokrasi terpimpin' dan di zaman Orde Baru pers kurang bebas karena represi kekuasaan, di era reformasi ini pers tampil (relatif) lebih independen, dan benar-benar bebas. Saat ini, tidak ada satu pun pers yang tampil sebagai pers partisan murni. Memang (dulu) ada Harian Duta Masyarakat (NU), Tabloid Amanat (PAN), Tabloid Demokrat (PDI), dan Harian Abadi (PBB). Tapi, keempat media massa tersebut tidak murni pers partisan, sebab pemilik modalnya bukan 100% partai yang bersangkutan, melainkan Grup Jawa Pos.
Berbeda dari 'zaman liberal' yang tidak melahirkan konflik horisontal, mengapa di era reformasi ini konflik horisontal seolah-olah merupakan 'anak zaman'? Beberapa orang, umumnya para pejabat dan juga politisi yang tidak mengerti demokrasi, menuduh konflik horisontal tersebut gara-gara pers yang 'memanas-manasi', yang 'ngipas-ngipasi'. Padahal, konflik tersebut sudah terjadi sebelum pers memberitakannya. Pers sekedar meliput, memotret, memberitakan fakta sebagai fakta. Kecuali jika menyiarkan berita tentang konflik dan kerusuhan sudah dilarang, sementara yang diizinkan hanyalah peristiwa yang 'baik-baik' saja. Tulis saja semua hal yang serba baik, dan jangan harap publik akan membacanya.
Satu hal yang selama ini dilupakan ialah, konflik yang merebak di masyarakat sekarang ini sangat jelas merupakan letupan dari kemampetan yang selama ini diderita oleh manusia Indonesia. Selama 32 tahun terkungkung tanpa penyaluran, ketika kran dibuka air bah pun membludak tak terbendung. Dan yang disalahkan (lagi-lagi) pers. Sangat tepat penyair Taufiq Ismail yang menulis salah satu puisi yang salah satu barisnya berbunyi: Buruk muka pers dibelah. Memang ada kambing hitam yang dengan mudah dan aman dituding-tuding, yaitu provokator (sementara pers dituding 'manas-manasi'), tapi sang provokator tak kunjung tertangkap. Entah bersembunyi di balik azimat apa, Allahu a'lam bish-shawab.
Konflik sosial, sesungguhnya semata-mata merupakan 'buah' dari penyakit kronis yang diidap masyarakat yang selama 32 tahun terinjak hak-haknya. Yang tumbuh hanyalah apatisme, sementara nalar kritis terpasung secara perlahan-lahan. Sebagian besar pelajar, mahasiswa dan pemuda yang kini berusia 25 sampai 30 tahun -- yang secara kodrati progresif dan memiliki daya nalar kritis -- merupakan korban represi tersebut. Dan merekalah pula yang kini tampil sebagai pelopor pendobrakan untuk membuka kran reformasi. Tapi, dengan atau tanpa pers bebas, mereka niscaya akan bangkit membebaskan diri. Bahkan sebagian besar pers terkesan konservatif, takut, tidak kritis, satu dan lain hal karena ingin 'menjaga harmoni' dengan kekuasaan.
Bukan Main Stream
Sekarang ini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi, kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.
Pers bebas merupakan salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik. Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat -- yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah sekalipun -- bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat (common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen? Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen (dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream. Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah 32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru.
Sangat ironis, bahwa dewasa ini upaya 'perjuangan' untuk kebebasan pers (kalau bisa disebut demikian) justru datang dari pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah. Barangkali, setelah Menteri Penerangan Mohamad Natsir di tahun 1950-an, adalah Yunus Yosfiah yang dalam konteks pers bebas berpikiran sangat progresif. Ia merancang UU Pokok Pers yang sangat progresif, jauh lebih liberal ketimbang rancangan DPR-RI, bahkan dari rancangan PWI (Orde Baru) sendiri. Dan kini, meskipun SIUPP masih dipertahankan, tidak ada pembatasan memperolehnya. Juga tidak ada breidel. Sangat menarik, bahwa Yunus Yosfiah pula -- dan justru bukan para tokoh pers yang terhormat -- yang menyatakan, bahwa pers kita saat ini belum kebablasen, bahwa ratusan media massa yang terbit saat ini belum memadai bagi rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta, bahwa pers bebas merupakan tolok ukur bagi demokrasi.
Dalam konteks pers bebas, seringkali orang berasumsi bahwa pengertian 'bebas' seolah-olah bebas sebebas-bebasnya. Padahal, dengan singkat bisa dijelaskan, bahwa di dalam kebebasan itu sendiri secara implisit ada rasa tanggung-jawab. Tak perlu disebutkan 'pers yang bebas dan bertanggung-jawab', sebab dalam pengertian 'bebas' sudah terkandung rasa 'tanggung-jawab'. Cuma yang jadi masalah bertanggung-jawab kepada siapa? Yang pasti bukan kepada penguasa, melainkan kepada nilai-nilai: kebenaran, keadilan, hukum, moral, kepentingan umum.
Bagaimana dengan si wartawan? Mereka tak cukup hanya belajar jurnalistik hingga mampu trampil dan lihai mewawancarai, memotret, melakukan investigative reporting, dan menulis dengan bahasa dan gaya yang memikat. Tapi, mereka juga harus independen, memiliki dedikasi dengan integritas tinggi, termasuk keberanian untuk menolak amplop, belajar menimbang dan mengukur tulisan dengan nilai dan moral, dan memiliki idealisme untuk membela kepentingan publik.
*) Makalah ini dibacakan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Pendidikan Pemilih (KPP) di Gedung YTKI, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999.
Wednesday, November 29, 2006
INTEGRITAS, KERJA KERAS, BUKAN MEMERAS
/ Budiman S. Hartoyo
DALAM dunia jurnalisme, korelasi antara integritas dan urusan perut -- katakanlah “kesejahteraan” -- sebenarnya tidak ada. Kalaupun korelasi itu dianggap ada, hal itu bersifat semu. Tapi justru karena sifatnya yang semu itulah, mungkin agak samar-samar, orang bisa salah mengerti. Selama ini memang ada kesan, atau persepsi (yang salah), seolah-olah wartawan yang memiliki integritas, yang idealis, tidak bisa hidup sejahtera; seolah-olah idealisme identik dengan kemiskinan.
Sebaliknya, wartawan yang tidak terlalu peduli pada apa yang disebut “idealisme” -- bahkan kadang cenderung mengabaikannya -- konon malah lebih pintar mencari duit, penampilan luarnya lebih parlente, keluarganya lebih sejahtera. Bisa dimaklum jika ada wartawan jenis ini yang bahkan mencemooh kawannya yang ia anggap “sok idealis” itu dengan sinis: “Nah, lu makan tuh idealisme!” Maksudnya, kalau mau cari duit jangan bersentuhan dengan integritas.
Celakanya, selama ini persepsi semacam itu masih berkembang di kalangan para wartawan, bahkan juga di masyarakat luas. Ada persepsi (yang salah) seolah-olah wartawan (juga birokrat, hakim, jaksa, pengacara, polisi, wakil rakyat) yang ingin kaya harus memanfaatkan jabatan dengan melakukan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Padahal jabatan mereka adalah amanah yang identik dengan pengabdian. Tapi anehnya malah ada yang bertanya: “Kalau mengabdi melulu kapan menikmati kesempatan menjabat?”
Sikap keliru semacam itu semakin menggoda, apalagi jika gaji tak mencukupi sementara kebutuhan hidup, di tengah krisis multidemensi dan konsumerisme saat ini, semakin membengkak. Akibatnya terjadilah egoisme membabi-buta yang menafikan tatakrama pergaulan antarmanusia, sehingga yang berlaku ialah the end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Demi mencapai tujuan (yang biasanya buruk) segala macam cara (yang tak etis pun) bisa ditempuh.
Integritas sesungguhnya tidak berkorelasi dengan kemiskinan, tapi dengan moral, ahlak, kepribadian, kejujuran. Sementara sikap hidup yang menafikan integritas tidak berkorelasi dengan kesejahteraan, kekayaan (yang halal). Integritas berkorelasi dengan kepribadian yang ideal sebagai idaman setiap manusia bermoral -- terlepas apakah hidupnya berkecukupan atau tidak. Sementara kemiskinan berkorelasi dengan ketidak-mampuan dalam bekerja, kebodohan, kemalasan.
Rumus axioma kehidupan ialah: seseorang yang ingin kaya haruslah pandai dalam bidangnya (profesional) dan bekerja keras. Bukan menempuh kehidupan dengan menghalalkan segala cara alias the end justifies the means. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas bisa meraih hidup sejahtera, bahagia dan halal, jika ia profesional dan bekerja keras. Sebaliknya, hidupnya bakal senin-kemis jika ia bodoh dan malas, meski sesungguhnya ia punya integritas.
Kita kembali ke dunia jurnalisme. Jika kita merasa terpanggil menjadi wartawan, merasa bahwa jurnalisme merupakan “panggilan hidup”, maka yang pertama-tama harus dipahami ialah, bahwa jurnalisme identik dengan dedikasi, pengabdian. Biar jungkir-balik sampai babak-belur, sampai dimana dan kapanpun juga, takdir wartawan adalah mengabdi kepentingan umum, kepentingan publik. Sama sekali tidak bisa disebut sebagai wartawan jika ia tidak mengabdi kepentingan publik.
Dari pemahaman mengenai kepentingan publik inilah munculnya kebebasan pers. Publik bebas mengakses informasi yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan pers. Pers, wartawan, merupakan pengemban amanat publik sebagai pemilik kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers merupakan salah satu dari sejumlah hak-hak sipil yang adalah merupakan hak asasi manusia -- hak yang otomatis melekat ketika seorang anak manusia lahir ke dunia.
Hak-hak sipil itu, antara lain, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak secara kemanusiaan, hak untuk beragama, hak untuk berkumpul, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berekspresi -- yang semuanya harus diperoleh secara bebas. Dari hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat (secara bebas) itulah lahir apa yang kemudian dikenal sebagai kebebasan pers. Karena itu pers yang bebas harus mengabdi kepada kepentingan publik.
Kebebasan pers -- sebagai hak sipil, hak asasi manusia, yang diemban oleh wartawan -- merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Tak bisa disangkal, bahwa sesungguhnya demokrasi merupakan tuntutan yang tak mungkin ditawar lagi dalam tatanan kehidupan bernegara yang modern, sementara prasyarat dalam proses demokratisasi ialah terjaminnya hak asasi manusia, yang dengan sendirinya juga hak-hak sipil, yang salah satunya ialah kebebasan pers.
Sampai di ujung dunia manapun, wartawan harus mengabdi kepada kepentingan publik. Karena itu wajar jika pers didudukkan sebagai the fourth estate, pilar ke empat demokrasi, sementara ketiga pilar yang lain ialah eksekutif, legislatif, yudikatif. Itupun tak berarti bahwa wartawan secara formal sejajar dengan ketiga pilar demokrasi yang lain, sebab kesejajaran itu semata-mata kesejajaran politis. Mendudukkan wartawan sebagai wakil golongan di MPR/DPR justru menjerat kebebasan pers.
Nah, betapa mulia profesi wartawan! Maka justru karena “kemuliaan” itulah, profesi wartawan sesungguhnya tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Seperti halnya untuk profesi yang lain, kewartawanan harus dilaksanakan secara profesional. Tak mungkin seseorang yang ingin menjadi wartawan langsung mendapatkan kartu pers lalu ditugasi meliput berita ke lapangan. Ia harus memahami betul seluk-beluk profesinya, mendalami prinsip dan teknis kerja kewartawanan.
Oleh karena ia mengemban kepentingan publik, sementara publik terdiri dari berbagai macam golongan yang memiliki bermacam-ragam aspirasi, seorang wartawan harus independen; dan oleh karena itu beritanya harus berimbang. Ia harus obyektif, tidak berpihak, hanya menyajikan fakta tanpa menambah-nambahkan bumbu opini. Siapapun dia, apapun golongan, etnis atau agamanya, tapi seorang wartawan apa boleh buat, tidak bisa tidak, haruslah selalu dan tetap bersikap independen.
Profesional dan independen! Tapi di atas segala-galanya adalah integritas; bahkan integritas moral yang tinggi. Biarpun seorang wartawan memiliki kemampuan profesional yang hebat, dengan independensi yang cukup terjamin, jika tidak memiliki integritas, ia bisa berkhianat kepada jatidirinya sebagai pengabdi kepentingan publik. Ia akan terkooptasi oleh berbagai kepentingan: kepentingan politik, kepentingan golongan, kepentingan bisnis; larut dalam korupsi, kolusi, nepotisme.
Selama ini pemilik modal tidak memahami bahwa sesungguhnya SDM yang namanya wartawan merupakan aset utama dalam industri pers. Celakanya, wartawan sendiri pun tak memiliki “kesadaran kelas” bahwa mereka merupakan aset yang strategis. Sang pemodal tentu berkepentingan menggaruk keuntungan, dengan antara lain mengupah wartawan dengan gaji kecil, sementara posisi tawar wartawan sebagai buruh sangat lemah -- karena enggan bersatu dalam serikat pekerja.
Wartawan bekerja 24 jam dengan gaji rata-rata kecil! Tapi bagaimana mungkin menuntut gaji yang layak secara kemanusiaan jika mereka tidak profesional? Maka yang kemudian terjadi ialah carut-marut dunia kewartawanan yang sungguh sangat memprihatinkan: wartawan bebal, tidak profesional, buruh yang lemah posisi tawarnya terhadap majikan, buta-tuli terhadap apa yang disebut integritas. Dan pada gilirannya, kita semua tahu, berkembanglah budaya “wartawan amplop”.
“Wartawan amplop”, pemeras, “bodrex”, muntaber (muncul tanpa berita), wts (wartawan tanpa suratkabar). Ada lagi wartaji (wartawan tanpa gaji), yang oleh pemimpin redaksinya (yang juga bodoh) hanya diberi selembar kartu pers atau surat keterangan ala kadarnya, kemudian diterjunkan ke lapangan untuk berburu amplop -- bukan berburu berita! Mereka tidak mampu wawancara, tak tahu seluk-beluk menulis berita; karena sesungguhnya mereka bukan wartawan melainkan pelaku kriminal.
Bagi mereka, apa yang disebut integritas, profesionalisme, independensi mungkin merupakan hantu belau yang menakutkan. Atau barangkali mereka bahkan tak kenal sama sekali. Yang penting duit, urusan perut, soal cara belakangan. Dengan mengaku sebagai “wartawan” (karena mengantungi selembar kartu pers) mereka merasa bebas berbuat apapun juga. Bukankah wartawan dan pers itu “bebas”? Termasuk bebas minta “amplop”! Pers beginian jelas pengabdi kepentingan perut semata.
Nah, apakah ini yang disebut “kesejahteraan” atau “urusan perut” -- yang hendak kita pertentangkan dengan integritas, idealisme -- sejak dari awal pembicaraan kita? Jika yang dimaksud dengan urusan perut ialah hasil kerja keras yang profesional dan halal, jelas itu sangat berkorelasi dengan integritas. Tapi jika urusan perut itu barang yang didapat secara tidak halal, tidak profesional, jelas sama sekali tak ada kaitannya dengan integritas. Sebab, wartawan adalah pekerja profesional yang harus bekerja keras!
Kita ingin mencetak wartawan yang memiliki integritas moral yang tinggi, profesional dan independen -- sebagai “trilogi profesi” yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Hanya dengan tiga sikap dasar inilah kita mampu memperbaiki citra buruk dunia kewartawanan saat ini yang semrawut, yang nyaris didominasi oleh praktik “wartawan amplop”. Anda ingin jadi wartawan dengan gaji atau penghasilan besar? Jawabnya tegas tuntas: integritas, kerja keras, bukan memeras!
***
DALAM dunia jurnalisme, korelasi antara integritas dan urusan perut -- katakanlah “kesejahteraan” -- sebenarnya tidak ada. Kalaupun korelasi itu dianggap ada, hal itu bersifat semu. Tapi justru karena sifatnya yang semu itulah, mungkin agak samar-samar, orang bisa salah mengerti. Selama ini memang ada kesan, atau persepsi (yang salah), seolah-olah wartawan yang memiliki integritas, yang idealis, tidak bisa hidup sejahtera; seolah-olah idealisme identik dengan kemiskinan.
Sebaliknya, wartawan yang tidak terlalu peduli pada apa yang disebut “idealisme” -- bahkan kadang cenderung mengabaikannya -- konon malah lebih pintar mencari duit, penampilan luarnya lebih parlente, keluarganya lebih sejahtera. Bisa dimaklum jika ada wartawan jenis ini yang bahkan mencemooh kawannya yang ia anggap “sok idealis” itu dengan sinis: “Nah, lu makan tuh idealisme!” Maksudnya, kalau mau cari duit jangan bersentuhan dengan integritas.
Celakanya, selama ini persepsi semacam itu masih berkembang di kalangan para wartawan, bahkan juga di masyarakat luas. Ada persepsi (yang salah) seolah-olah wartawan (juga birokrat, hakim, jaksa, pengacara, polisi, wakil rakyat) yang ingin kaya harus memanfaatkan jabatan dengan melakukan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Padahal jabatan mereka adalah amanah yang identik dengan pengabdian. Tapi anehnya malah ada yang bertanya: “Kalau mengabdi melulu kapan menikmati kesempatan menjabat?”
Sikap keliru semacam itu semakin menggoda, apalagi jika gaji tak mencukupi sementara kebutuhan hidup, di tengah krisis multidemensi dan konsumerisme saat ini, semakin membengkak. Akibatnya terjadilah egoisme membabi-buta yang menafikan tatakrama pergaulan antarmanusia, sehingga yang berlaku ialah the end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Demi mencapai tujuan (yang biasanya buruk) segala macam cara (yang tak etis pun) bisa ditempuh.
Integritas sesungguhnya tidak berkorelasi dengan kemiskinan, tapi dengan moral, ahlak, kepribadian, kejujuran. Sementara sikap hidup yang menafikan integritas tidak berkorelasi dengan kesejahteraan, kekayaan (yang halal). Integritas berkorelasi dengan kepribadian yang ideal sebagai idaman setiap manusia bermoral -- terlepas apakah hidupnya berkecukupan atau tidak. Sementara kemiskinan berkorelasi dengan ketidak-mampuan dalam bekerja, kebodohan, kemalasan.
Rumus axioma kehidupan ialah: seseorang yang ingin kaya haruslah pandai dalam bidangnya (profesional) dan bekerja keras. Bukan menempuh kehidupan dengan menghalalkan segala cara alias the end justifies the means. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas bisa meraih hidup sejahtera, bahagia dan halal, jika ia profesional dan bekerja keras. Sebaliknya, hidupnya bakal senin-kemis jika ia bodoh dan malas, meski sesungguhnya ia punya integritas.
Kita kembali ke dunia jurnalisme. Jika kita merasa terpanggil menjadi wartawan, merasa bahwa jurnalisme merupakan “panggilan hidup”, maka yang pertama-tama harus dipahami ialah, bahwa jurnalisme identik dengan dedikasi, pengabdian. Biar jungkir-balik sampai babak-belur, sampai dimana dan kapanpun juga, takdir wartawan adalah mengabdi kepentingan umum, kepentingan publik. Sama sekali tidak bisa disebut sebagai wartawan jika ia tidak mengabdi kepentingan publik.
Dari pemahaman mengenai kepentingan publik inilah munculnya kebebasan pers. Publik bebas mengakses informasi yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan pers. Pers, wartawan, merupakan pengemban amanat publik sebagai pemilik kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers merupakan salah satu dari sejumlah hak-hak sipil yang adalah merupakan hak asasi manusia -- hak yang otomatis melekat ketika seorang anak manusia lahir ke dunia.
Hak-hak sipil itu, antara lain, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak secara kemanusiaan, hak untuk beragama, hak untuk berkumpul, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berekspresi -- yang semuanya harus diperoleh secara bebas. Dari hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat (secara bebas) itulah lahir apa yang kemudian dikenal sebagai kebebasan pers. Karena itu pers yang bebas harus mengabdi kepada kepentingan publik.
Kebebasan pers -- sebagai hak sipil, hak asasi manusia, yang diemban oleh wartawan -- merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Tak bisa disangkal, bahwa sesungguhnya demokrasi merupakan tuntutan yang tak mungkin ditawar lagi dalam tatanan kehidupan bernegara yang modern, sementara prasyarat dalam proses demokratisasi ialah terjaminnya hak asasi manusia, yang dengan sendirinya juga hak-hak sipil, yang salah satunya ialah kebebasan pers.
Sampai di ujung dunia manapun, wartawan harus mengabdi kepada kepentingan publik. Karena itu wajar jika pers didudukkan sebagai the fourth estate, pilar ke empat demokrasi, sementara ketiga pilar yang lain ialah eksekutif, legislatif, yudikatif. Itupun tak berarti bahwa wartawan secara formal sejajar dengan ketiga pilar demokrasi yang lain, sebab kesejajaran itu semata-mata kesejajaran politis. Mendudukkan wartawan sebagai wakil golongan di MPR/DPR justru menjerat kebebasan pers.
Nah, betapa mulia profesi wartawan! Maka justru karena “kemuliaan” itulah, profesi wartawan sesungguhnya tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Seperti halnya untuk profesi yang lain, kewartawanan harus dilaksanakan secara profesional. Tak mungkin seseorang yang ingin menjadi wartawan langsung mendapatkan kartu pers lalu ditugasi meliput berita ke lapangan. Ia harus memahami betul seluk-beluk profesinya, mendalami prinsip dan teknis kerja kewartawanan.
Oleh karena ia mengemban kepentingan publik, sementara publik terdiri dari berbagai macam golongan yang memiliki bermacam-ragam aspirasi, seorang wartawan harus independen; dan oleh karena itu beritanya harus berimbang. Ia harus obyektif, tidak berpihak, hanya menyajikan fakta tanpa menambah-nambahkan bumbu opini. Siapapun dia, apapun golongan, etnis atau agamanya, tapi seorang wartawan apa boleh buat, tidak bisa tidak, haruslah selalu dan tetap bersikap independen.
Profesional dan independen! Tapi di atas segala-galanya adalah integritas; bahkan integritas moral yang tinggi. Biarpun seorang wartawan memiliki kemampuan profesional yang hebat, dengan independensi yang cukup terjamin, jika tidak memiliki integritas, ia bisa berkhianat kepada jatidirinya sebagai pengabdi kepentingan publik. Ia akan terkooptasi oleh berbagai kepentingan: kepentingan politik, kepentingan golongan, kepentingan bisnis; larut dalam korupsi, kolusi, nepotisme.
Selama ini pemilik modal tidak memahami bahwa sesungguhnya SDM yang namanya wartawan merupakan aset utama dalam industri pers. Celakanya, wartawan sendiri pun tak memiliki “kesadaran kelas” bahwa mereka merupakan aset yang strategis. Sang pemodal tentu berkepentingan menggaruk keuntungan, dengan antara lain mengupah wartawan dengan gaji kecil, sementara posisi tawar wartawan sebagai buruh sangat lemah -- karena enggan bersatu dalam serikat pekerja.
Wartawan bekerja 24 jam dengan gaji rata-rata kecil! Tapi bagaimana mungkin menuntut gaji yang layak secara kemanusiaan jika mereka tidak profesional? Maka yang kemudian terjadi ialah carut-marut dunia kewartawanan yang sungguh sangat memprihatinkan: wartawan bebal, tidak profesional, buruh yang lemah posisi tawarnya terhadap majikan, buta-tuli terhadap apa yang disebut integritas. Dan pada gilirannya, kita semua tahu, berkembanglah budaya “wartawan amplop”.
“Wartawan amplop”, pemeras, “bodrex”, muntaber (muncul tanpa berita), wts (wartawan tanpa suratkabar). Ada lagi wartaji (wartawan tanpa gaji), yang oleh pemimpin redaksinya (yang juga bodoh) hanya diberi selembar kartu pers atau surat keterangan ala kadarnya, kemudian diterjunkan ke lapangan untuk berburu amplop -- bukan berburu berita! Mereka tidak mampu wawancara, tak tahu seluk-beluk menulis berita; karena sesungguhnya mereka bukan wartawan melainkan pelaku kriminal.
Bagi mereka, apa yang disebut integritas, profesionalisme, independensi mungkin merupakan hantu belau yang menakutkan. Atau barangkali mereka bahkan tak kenal sama sekali. Yang penting duit, urusan perut, soal cara belakangan. Dengan mengaku sebagai “wartawan” (karena mengantungi selembar kartu pers) mereka merasa bebas berbuat apapun juga. Bukankah wartawan dan pers itu “bebas”? Termasuk bebas minta “amplop”! Pers beginian jelas pengabdi kepentingan perut semata.
Nah, apakah ini yang disebut “kesejahteraan” atau “urusan perut” -- yang hendak kita pertentangkan dengan integritas, idealisme -- sejak dari awal pembicaraan kita? Jika yang dimaksud dengan urusan perut ialah hasil kerja keras yang profesional dan halal, jelas itu sangat berkorelasi dengan integritas. Tapi jika urusan perut itu barang yang didapat secara tidak halal, tidak profesional, jelas sama sekali tak ada kaitannya dengan integritas. Sebab, wartawan adalah pekerja profesional yang harus bekerja keras!
Kita ingin mencetak wartawan yang memiliki integritas moral yang tinggi, profesional dan independen -- sebagai “trilogi profesi” yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Hanya dengan tiga sikap dasar inilah kita mampu memperbaiki citra buruk dunia kewartawanan saat ini yang semrawut, yang nyaris didominasi oleh praktik “wartawan amplop”. Anda ingin jadi wartawan dengan gaji atau penghasilan besar? Jawabnya tegas tuntas: integritas, kerja keras, bukan memeras!
***
Friday, September 08, 2006
BERKELIT DI TENGAH REPRESI KEKUASAAN
Cerita tentang TEMPO, sejarah, politik pemberitaan, pergulatan menghadapi kekuasaan, konflik internal, rumors politik. Dan TEMPO tetap bertahan.
---------------------------------------------------------
Wars Within, The Story of TEMPO, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia
Oleh: Janet Steele
Penerbit: PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta, dan Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 2005, 336 hal. + xxxiv.
----------------------------------------------------------
TEMPO, tak ayal, merupakan sebuah fenomena dalam babak baru sejarah pers bebas Indonesia. Dan Goenawan Mohamad (GM), pendiri dan pemimpin redaksi (pertama) majalah berita mingguan itu, sejak semula hingga kini selalu tampil konsisten sebagai penggerak, sekaligus inspirator, bagi perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan pers -- seorang intelektual dan budayawan, yang sebagaimana Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Rosihan Anwar (Pedoman), atau S. Tasrif (Abadi), “berjihad” menentang ketidak adilan.
Babak baru sejarah pers bebas Indonesia dimulai sejak 1950-an hingga kini, ketika kaum jurnalis harus berhadapan dengan kekuasaan bangsa sendiri. Mereka meneruskan tradisi perlawanan generasi jurnalis babak sebelumnya di awal abad ke-20, ketika Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) menggeliat bersama Pembrita Betawi, Soenda Berita, dan Medan Prijaji melawan represi kekuasaan kolonial.
Buku Janet Steele, asisten dosen Universitas George Washington, Amerika Serikat, ini menarik. Ia cukup enak dan lancar menceritakan perjalanan TEMPO sejak diterbitkan (1971) hingga kasus terbaru mengenai Ada Apa di Tenabang-nya Tomy Winata, berikut konflik internal dan rumors politik yang menyertainya -- dengan bahasa tutur yang diskriptif, lancar dan segar. Dalam tahun-tahun belakangan ini ia memang sering mengajar “jurnalisme sastrawi” (saya lebih suka menggunakan istilah “jurnalisme literair”) dalam sebuah kelas yang digelar beberapa kali oleh Yayasan Pantau.
Di tengah terbatasnya literatur mengenai pers Indonesia, buku Wars Within hadir menyegarkan. Sejak Falsafah Ratu Dunia (Adinegoro, 1949), belum pernah terbit sebuah buku yang menceritakan profil sebuah penerbitan secara lengkap dan utuh. Beberapa literatur pers itu, sebutlah misalnya, Hak Ingkar Wartawan (Lembaga Pers dan Pendapat Umum, 1954), Lima Windu Antara (LKBN Antara, 1978), Sang Pemula (Pramoedya Ananta Toer, 1985), Pembreidelan Pers di Indonesia (Edward C. Smith, 1986), Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Atmakusumah, 1992), Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (Kurniawan Junaedhie, 1995), Pers Memihak Golkar? (Y. Krisnawan, 1997), Media Massa di Bawah Kapitalisme (Sirikit Syah, 1999), Jurnalisme Investigasi (Septiawan Santana Kurnia, 2003).
TEMPO, melalui Steele, harus dilihat sebagai “aspirasi masyarakat” yang berusaha bertahan terhadap represi kekuasaan, sebagai “a bigger picture of the political context” (hal. 56). Baik ketika pertama kali terbit (1971) -- sebagai alternatif setelah Ekspres terbentur kekuasaan -- ketika dua kali dibreidel, terutama pada 1994, maupun ketika berhadapan dengan pengusaha maha-kuat-modal seperti Tomy Winata. Meskipun dalam proses pergulatannya berhiaskan pernik-pernik rumors politik – yang menyiratkan kemungkinan sebagian awak redaksi TEMPO terkooptasi oleh kekuasaan – haruslah diakui integritas dan komitmen TEMPO terhadap demokrasi dan kebebasan pers tetap terjaga. Hingga kini.
Cerita tentang perpecahan di tubuh TEMPO – ketika 32 wartawan hengkang exodus untuk menerbitkan Editor (1987), atau pembreidelan TEMPO (1994), sudah pernah kita dengar. Tapi, rumors di balik kasus itu dengan enteng diungkapkan oleh Steele – dengan cara “meminjam” mulut para wartawan TEMPO yang ia wawancarai. Misalnya, dalam konteks exodus, seperti kata Saur Hutabarat, manajemen TEMPO tidak menganggap karyawan sebagai aset terpenting, sementara wartawan lain menilai manajemen sudah kehilangan rasa perikemanusiaan. Bahkan menurut Syu’bah Asa, manajemen tak berpihak kepada karyawan (hal. 201).
Ketika itu memang cukup santer “cerita burung” yang beredar dari mulut ke mulut, bahwa (sebagian) pemegang saham TEMPO konon selalu bilang, “The door is open” setiap kali ada karyawan yang melontarkan kritik – terutama menyangkut hal yang sensitif: saham. Tapi anehnya, atau uniknya, mereka yang pernah terlibat konflik tetap saja memelihara perkawanan. Bahkan Syu’bah Asa, misalnya, kini sering diundang sebagai mentor dalam inhouse training penulisan untuk wartawan di TEMPO bersama Amarzan Lubis, penyair dan editor yang baik, mantan tahanan politik di “pesantren” Pulau Buru.
Keberadaan Amarzan di TEMPO (dan rekannya sesama ex Buru, Manyaka Thayib) setidaknya juga mencerminkan keunikan TEMPO. Orang bilang, pemikiran politik GM, juga Fikri Jufri (FJ), dipengaruhi oleh Soedjatmoko, pemikir dan salah seorang tokoh penting Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tapi, belakangan mereka merekrut Amarzan, Manyaka, dan sebelumnya juga mantan wartawan Harian Rakyat corong PKI, Martin Alaeda, sebagai redaktur. Padahal PSI dan PKI adalah musuh bebuyutan. Plinplan? Bukan, tapi semata-mata berkat kebesaran jiwa, visi kemanusiaan dan cita-cita demokrasi.
Anehnya, keberadaan kedua redaktur ex Buru itu tidak mengundang kontroversi atau rumors politik. Begitu pula keberadaan “kader-kader Islam” seperti Syu’bah Asa (jebolan IAIN), Usamah (aktivis Pelajar Islam Indonesia), Ahmad Wahib (dekat dengan Himpunan Mahasiswa Islam), Musthafa Helmy (yang jelas nahdliyin), atau Agus Basri (akrab dengan Muhammadiyah). Sebaliknya, rumors bahwa TEMPO dimodali oleh “pengusaha Cina” atau konon ”dikendalikan oleh PSI dan kaum sekuler” diam-diam pernah marak -- meski akhirnya lenyap dengan sendirinya.
Selama saya bekerja sebagai reporter TEMPO (1972-1994), kawan-kawan santai dalam bergaul, mulai dari GM sampai office boy Ishak atau Slamet. Kalaupun berbeda pendapat, terlibat dalam diskusi, boleh menggebrak meja. Tapi, setelah itu berkumpul lagi, berdiskusi atau bercanda dalam rapat perencanaan. Atau ngopi bareng di warung Tegal. Anda boleh berseberangan secara politik dengan redaktur lain, tapi masing-masing harus profesional, bekerja keras memenuhi dead line. Dan lebih sering menginap di kantor, tanpa mandi dan gosok gigi.
Yang menarik ialah kecurigaan bahwa FJ “main mata” dengan Ali Moertopo (hal. 110) dan Benny Moerdani (hal. 136, 137). Atau kekhawatiran adanya “kristenisasi” (hal. 124, 241). Saya mengenal FJ sebagai wartawan yang gesit, cenderung melakukan investigasi, editor yang efisien, dengan lobby yang luas. Sebagai kawan, ia hangat, peduli dan jenaka. Tapi, terkadang memang bikin jengkel: ia suka bercanda atau usil ngerjain teman.
Nah, kalaupun FJ dekat dengan Ali, Benny, atau pejabat lain, saya melihat hal itu sekedar sebagai lobby belaka. Cukup banyak wartawan TEMPO, seperti Toeti Kakiailatoe atau Susanto Pudjomartono – demikian pula wartawan media lain -- yang memiliki lobby luas. Dan setahu saya, tokoh-tokoh yang didekati oleh FJ termasuk tokoh kunci: Ali Moertopo, Benny Moerdani, Moerdiono, Ali Wardhana. Dan Ali maupun Benny didekati memang hanya sekedar untuk lobby (hal. 111, 137). Mengenai “kristenisasi” ternyata tidak terbukti.
Tapi, memang ada satu dua wartawan yang belakangan “terperosok” sehingga terkooptasi gara-gara menangguk keuntungan pribadi. Ada yang sangat dekat dengan seorang jenderal (hal. 106); bahkan sampai kini pun yang bersangkutan “menetap” dalam lingkaran politik sang jenderal. Tentu dengan keuntungan pribadi yang berlimpah dibanding jika ia hanya mengandalkan gaji sebagai redaktur. Ada pula, konon, yang berkat posisinya sebagai redaktur ekonomi, sangat akrab dengan para pengusaha.
Anda boleh geleng-geleng kepala atau berdecak membaca buku ini. Mungkin setelah membaca berbagai rumors politik yang terbeber jelas, atau berkat kepiawaian Steele bercerita dengan gaya jurnalisme literair. Yang jelas, seperti kata Bambang Bujono, TEMPO memang merupakan almamater, kampus tempat belajar menulis (hal. 12). Bayangkan, Bambang yang (calon) pelukis jebolan Akademi Seni Rupa Indonesia, datang dari Solo ke Jakarta, bekerja di majalah sastra Horison, tanpa pengetahuan jurnalistik, bergabung dengan TEMPO, belakangan menjadi editor yang baik. Begitu pula dengan Toriq Hadad atau Agus Basri yang bergabung dengan TEMPO -- as a fresh graduate.
Sementara GM, yang oleh para wartawan dianggap sebagai “guru”, justru berguru kepada TEMPO – sebagaimana ia akui dalam pengantar untuk buku panduan Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979): “... di kalangan TEMPO telah dan akan hadir kawan-kawan baru, sementara yang lama tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali. Saya misalnya. Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya. Yaitu, antara lain, tidak ruwet...”
Lahir sebagai majalah yang memadukan kecepatan jurnalisme dan kepiawaian bersastra, TEMPO berusaha tetap bertahan dari godaan kekuasaan, juga dari “amplop.” Lebih dari itu, sang almamater – langsung atau tidak -- telah berhasil meneteskan inspirasi bagi lahirnya genre jurnalisme baru, dan ikut mendorong kesadaran akan mutlaknya kebebasan pers dalam proses demokratisasi yang tengah tumbuh.
*) Dimuat di Majalah Berita Bergambar GATRA, 2 Juli 2005.
---------------------------------------------------------
Wars Within, The Story of TEMPO, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia
Oleh: Janet Steele
Penerbit: PT Equinox Publishing Indonesia, Jakarta, dan Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 2005, 336 hal. + xxxiv.
----------------------------------------------------------
TEMPO, tak ayal, merupakan sebuah fenomena dalam babak baru sejarah pers bebas Indonesia. Dan Goenawan Mohamad (GM), pendiri dan pemimpin redaksi (pertama) majalah berita mingguan itu, sejak semula hingga kini selalu tampil konsisten sebagai penggerak, sekaligus inspirator, bagi perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan pers -- seorang intelektual dan budayawan, yang sebagaimana Mochtar Lubis (Indonesia Raya), Rosihan Anwar (Pedoman), atau S. Tasrif (Abadi), “berjihad” menentang ketidak adilan.
Babak baru sejarah pers bebas Indonesia dimulai sejak 1950-an hingga kini, ketika kaum jurnalis harus berhadapan dengan kekuasaan bangsa sendiri. Mereka meneruskan tradisi perlawanan generasi jurnalis babak sebelumnya di awal abad ke-20, ketika Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) menggeliat bersama Pembrita Betawi, Soenda Berita, dan Medan Prijaji melawan represi kekuasaan kolonial.
Buku Janet Steele, asisten dosen Universitas George Washington, Amerika Serikat, ini menarik. Ia cukup enak dan lancar menceritakan perjalanan TEMPO sejak diterbitkan (1971) hingga kasus terbaru mengenai Ada Apa di Tenabang-nya Tomy Winata, berikut konflik internal dan rumors politik yang menyertainya -- dengan bahasa tutur yang diskriptif, lancar dan segar. Dalam tahun-tahun belakangan ini ia memang sering mengajar “jurnalisme sastrawi” (saya lebih suka menggunakan istilah “jurnalisme literair”) dalam sebuah kelas yang digelar beberapa kali oleh Yayasan Pantau.
Di tengah terbatasnya literatur mengenai pers Indonesia, buku Wars Within hadir menyegarkan. Sejak Falsafah Ratu Dunia (Adinegoro, 1949), belum pernah terbit sebuah buku yang menceritakan profil sebuah penerbitan secara lengkap dan utuh. Beberapa literatur pers itu, sebutlah misalnya, Hak Ingkar Wartawan (Lembaga Pers dan Pendapat Umum, 1954), Lima Windu Antara (LKBN Antara, 1978), Sang Pemula (Pramoedya Ananta Toer, 1985), Pembreidelan Pers di Indonesia (Edward C. Smith, 1986), Mochtar Lubis Wartawan Jihad (Atmakusumah, 1992), Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (Kurniawan Junaedhie, 1995), Pers Memihak Golkar? (Y. Krisnawan, 1997), Media Massa di Bawah Kapitalisme (Sirikit Syah, 1999), Jurnalisme Investigasi (Septiawan Santana Kurnia, 2003).
TEMPO, melalui Steele, harus dilihat sebagai “aspirasi masyarakat” yang berusaha bertahan terhadap represi kekuasaan, sebagai “a bigger picture of the political context” (hal. 56). Baik ketika pertama kali terbit (1971) -- sebagai alternatif setelah Ekspres terbentur kekuasaan -- ketika dua kali dibreidel, terutama pada 1994, maupun ketika berhadapan dengan pengusaha maha-kuat-modal seperti Tomy Winata. Meskipun dalam proses pergulatannya berhiaskan pernik-pernik rumors politik – yang menyiratkan kemungkinan sebagian awak redaksi TEMPO terkooptasi oleh kekuasaan – haruslah diakui integritas dan komitmen TEMPO terhadap demokrasi dan kebebasan pers tetap terjaga. Hingga kini.
Cerita tentang perpecahan di tubuh TEMPO – ketika 32 wartawan hengkang exodus untuk menerbitkan Editor (1987), atau pembreidelan TEMPO (1994), sudah pernah kita dengar. Tapi, rumors di balik kasus itu dengan enteng diungkapkan oleh Steele – dengan cara “meminjam” mulut para wartawan TEMPO yang ia wawancarai. Misalnya, dalam konteks exodus, seperti kata Saur Hutabarat, manajemen TEMPO tidak menganggap karyawan sebagai aset terpenting, sementara wartawan lain menilai manajemen sudah kehilangan rasa perikemanusiaan. Bahkan menurut Syu’bah Asa, manajemen tak berpihak kepada karyawan (hal. 201).
Ketika itu memang cukup santer “cerita burung” yang beredar dari mulut ke mulut, bahwa (sebagian) pemegang saham TEMPO konon selalu bilang, “The door is open” setiap kali ada karyawan yang melontarkan kritik – terutama menyangkut hal yang sensitif: saham. Tapi anehnya, atau uniknya, mereka yang pernah terlibat konflik tetap saja memelihara perkawanan. Bahkan Syu’bah Asa, misalnya, kini sering diundang sebagai mentor dalam inhouse training penulisan untuk wartawan di TEMPO bersama Amarzan Lubis, penyair dan editor yang baik, mantan tahanan politik di “pesantren” Pulau Buru.
Keberadaan Amarzan di TEMPO (dan rekannya sesama ex Buru, Manyaka Thayib) setidaknya juga mencerminkan keunikan TEMPO. Orang bilang, pemikiran politik GM, juga Fikri Jufri (FJ), dipengaruhi oleh Soedjatmoko, pemikir dan salah seorang tokoh penting Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tapi, belakangan mereka merekrut Amarzan, Manyaka, dan sebelumnya juga mantan wartawan Harian Rakyat corong PKI, Martin Alaeda, sebagai redaktur. Padahal PSI dan PKI adalah musuh bebuyutan. Plinplan? Bukan, tapi semata-mata berkat kebesaran jiwa, visi kemanusiaan dan cita-cita demokrasi.
Anehnya, keberadaan kedua redaktur ex Buru itu tidak mengundang kontroversi atau rumors politik. Begitu pula keberadaan “kader-kader Islam” seperti Syu’bah Asa (jebolan IAIN), Usamah (aktivis Pelajar Islam Indonesia), Ahmad Wahib (dekat dengan Himpunan Mahasiswa Islam), Musthafa Helmy (yang jelas nahdliyin), atau Agus Basri (akrab dengan Muhammadiyah). Sebaliknya, rumors bahwa TEMPO dimodali oleh “pengusaha Cina” atau konon ”dikendalikan oleh PSI dan kaum sekuler” diam-diam pernah marak -- meski akhirnya lenyap dengan sendirinya.
Selama saya bekerja sebagai reporter TEMPO (1972-1994), kawan-kawan santai dalam bergaul, mulai dari GM sampai office boy Ishak atau Slamet. Kalaupun berbeda pendapat, terlibat dalam diskusi, boleh menggebrak meja. Tapi, setelah itu berkumpul lagi, berdiskusi atau bercanda dalam rapat perencanaan. Atau ngopi bareng di warung Tegal. Anda boleh berseberangan secara politik dengan redaktur lain, tapi masing-masing harus profesional, bekerja keras memenuhi dead line. Dan lebih sering menginap di kantor, tanpa mandi dan gosok gigi.
Yang menarik ialah kecurigaan bahwa FJ “main mata” dengan Ali Moertopo (hal. 110) dan Benny Moerdani (hal. 136, 137). Atau kekhawatiran adanya “kristenisasi” (hal. 124, 241). Saya mengenal FJ sebagai wartawan yang gesit, cenderung melakukan investigasi, editor yang efisien, dengan lobby yang luas. Sebagai kawan, ia hangat, peduli dan jenaka. Tapi, terkadang memang bikin jengkel: ia suka bercanda atau usil ngerjain teman.
Nah, kalaupun FJ dekat dengan Ali, Benny, atau pejabat lain, saya melihat hal itu sekedar sebagai lobby belaka. Cukup banyak wartawan TEMPO, seperti Toeti Kakiailatoe atau Susanto Pudjomartono – demikian pula wartawan media lain -- yang memiliki lobby luas. Dan setahu saya, tokoh-tokoh yang didekati oleh FJ termasuk tokoh kunci: Ali Moertopo, Benny Moerdani, Moerdiono, Ali Wardhana. Dan Ali maupun Benny didekati memang hanya sekedar untuk lobby (hal. 111, 137). Mengenai “kristenisasi” ternyata tidak terbukti.
Tapi, memang ada satu dua wartawan yang belakangan “terperosok” sehingga terkooptasi gara-gara menangguk keuntungan pribadi. Ada yang sangat dekat dengan seorang jenderal (hal. 106); bahkan sampai kini pun yang bersangkutan “menetap” dalam lingkaran politik sang jenderal. Tentu dengan keuntungan pribadi yang berlimpah dibanding jika ia hanya mengandalkan gaji sebagai redaktur. Ada pula, konon, yang berkat posisinya sebagai redaktur ekonomi, sangat akrab dengan para pengusaha.
Anda boleh geleng-geleng kepala atau berdecak membaca buku ini. Mungkin setelah membaca berbagai rumors politik yang terbeber jelas, atau berkat kepiawaian Steele bercerita dengan gaya jurnalisme literair. Yang jelas, seperti kata Bambang Bujono, TEMPO memang merupakan almamater, kampus tempat belajar menulis (hal. 12). Bayangkan, Bambang yang (calon) pelukis jebolan Akademi Seni Rupa Indonesia, datang dari Solo ke Jakarta, bekerja di majalah sastra Horison, tanpa pengetahuan jurnalistik, bergabung dengan TEMPO, belakangan menjadi editor yang baik. Begitu pula dengan Toriq Hadad atau Agus Basri yang bergabung dengan TEMPO -- as a fresh graduate.
Sementara GM, yang oleh para wartawan dianggap sebagai “guru”, justru berguru kepada TEMPO – sebagaimana ia akui dalam pengantar untuk buku panduan Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979): “... di kalangan TEMPO telah dan akan hadir kawan-kawan baru, sementara yang lama tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali. Saya misalnya. Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya. Yaitu, antara lain, tidak ruwet...”
Lahir sebagai majalah yang memadukan kecepatan jurnalisme dan kepiawaian bersastra, TEMPO berusaha tetap bertahan dari godaan kekuasaan, juga dari “amplop.” Lebih dari itu, sang almamater – langsung atau tidak -- telah berhasil meneteskan inspirasi bagi lahirnya genre jurnalisme baru, dan ikut mendorong kesadaran akan mutlaknya kebebasan pers dalam proses demokratisasi yang tengah tumbuh.
*) Dimuat di Majalah Berita Bergambar GATRA, 2 Juli 2005.
Budiman S. Hartoyo
***
Wednesday, July 26, 2006
LAPORAN SAMPAH, LAPORAN BASAH; LAPORAN KERING, LAPORAN BERDAGING
/Budiman S. Hartoyo *)
SETIAP akhir pekan, para wartawan TEMPO dilanda stress. Bahan berjibun, deadline pun mengancam di pucuk ubun-ubun. Nasi dan lauk pauk beraneka selera untuk makan malam yang terhidang di pinggir ruang redaksi, dan dingin AC yang menggigit, tak mampu mengusir rasa gelisah. Kantuk adalah musuh nomor satu, begadang bukan lagi kebiasaan langka. Setiap akhir pekan, sebagian besar wartawan menginap di kantor, melemparkan tubuh barang sejenak di kolong meja. Begitu yang terekam dalam kenangan saya seperempat abad silam.
Jangan ganggu Fikri Jufri. Ia tengah mengedit naskah, sebuah laporan ekonomi tentang skandal korupsi di perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Tubuhnya yang tambun bisa terguncang, setiap kali ia jengkel membaca laporan wartawan yang tak layak. “Setan! Ini laporan apa? Brengsek! Laporan sampah! Bull shit!” teriaknya menyumpah-nyumpah sembari bangkit dari kursi menuju toilet, melepas hajat kecil. Jam dinding yang bulat menunjuk angka 02:25 dinihari. Tegang! Tapi ah, peduli amat! Setiap orang toh sibuk dengan urusan masing-masing.
Jika ia gusar, naskah di tangan kanannya bisa dibanting. Atau sekedar dikibas-kibaskannya ke bibir meja. Dan sambil terus ngedumel, ia ngeloyor. “Hhh, hhh, hhh! Sialan!” ia bersungut-sungut. Hidung mancungnya kembang-kempis. Kepalanya mendongak sambil matanya yang berkacamata minus melirik sinis ke kiri-kanan. Tapi, tak selamanya redaktur senior itu mengumbar sumpah serapah. Ia justru lebih banyak bercanda sambil sesekali melontarkan joke diseling cas-cis-cus bahasa Inggeris. Jika hatinya lagi enak, nah, suasana kerja pun terasa ringan. Orang tergelak setiap kali ia ngeledek seorang kawan dengan jenaka.
“Hei, Bung! Ha, Emir David, how are you?” suaranya memecah kebekuan menyapa Amir Daud, redaktur senior yang lain. Lalu, sambil menghampiri meja saya dia bilang, “Nah, ini lho nyang namenye laporan basah, bedaging. Ndak kering. Gampang kite ngejaitnye.” Sekilas tercium aroma bir meruap dari mulutnya. Esoknya, pada hari kedua deadline, hidungnya yang besar dan mancung itu masih saja mengancam wartawan yang laporannya kering tak berdaging. Tapi, orang-orang sudah melupakannya. Terutama setelah Susanto Pudjomartono, dengan gaya Jawa dan candanya, membujuknya.
Laporan sampah, laporan basah, laporan kering, laporan berdaging. Para wartawan yang pernah “hidup sekandang” dengan FJ ingat betul istilah-istilah khas itu keluar dari mulutnya. FJ adalah inisial untuk Fikri Jufri, sebagaimana GM untuk Goenawan Mohamad, SP untuk Susanto Pudjomartono, atau Bambu untuk Bambang Bujono – yang sekitar seperempat abad silam disosialisasikan oleh Amir Daud alias AD – yang oleh FJ kadang diledek sebagai Emir David. Memang, hanya laporan basah atau berdaging yang mampu mempertahankan trade mark majalah TEMPO, sehingga “enak dibaca dan perlu.”
Saya tak tahu persis kapan GM menciptakan slogan yang singkat, padat, pas, dan kena seperti “enak dibaca dan perlu.” Juga sejumlah slogan untuk pemasaran, seperti Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan bersayap lainnya untuk menggambarkan rubrik-rubrik TEMPO: “nasional tapi bukan politik; ilmu tapi bukan teknologi; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran; agama tapi bukan khotbah.” Yang paling populer: Tak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu – yang dengan sangat tepat mengungkapkan gaya laporan TEMPO yang khas.
“Enak dibaca”, karena laporan ditulis secara populer, menggambarkan suasana atau profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara bertutur, naratif, yang menurut FJ harus “dijahit secara cerdas” oleh redaktur; dan berdasarkan “belanjaan” yang didapat reporter di lapangan. “Dan perlu”, karena setiap usulan berita terlebih dulu harus diseleksi, didiskusikan dalam rapat, hingga “layak TEMPO”. Sejak awal, ketika pertama kali TEMPO terbit pada 1971, salah satu teks iklan yang ditulis oleh GM menggambarkan karakter laporan TEMPO, yaitu ramuan antara “ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra”.
Sejak itulah pers Indonesia mengenal apa yang disebut “jurnalisme sastra”, atau yang oleh Jurnal Pantau ditabalkan sebagai “jurnalisme sastrawi”. Dua penamaan yang menurut saya kurang tepat, dibanding misalnya, “jurnalisme literair”. Sebagai wartawan – yang sebagian terbesar “masa berguru”-nya di TEMPO, yaitu sebagai reporter (1972-1995) – selama itu pula saya belum pernah membaca Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946). Selama di TEMPO, saya langsung mempraktikkan jurnalisme literair tanpa tengok kiri-kanan.
Sesunguhnya TEMPO sangat beruntung – atau memang dirancang oleh GM, yang “terpanggil” oleh sejarah sebagai pendiri TEMPO dan pelopor “jurnalisme baru” di Indonesia – karena di sana ada sejumlah sastrawan: Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Isma Sawitri, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Martin Aleida, si kembar Noorca Marendra dan Yudhistira Massardi, dan belakangan Amarzan Lubis. Tapi, juga sangat terbantu berkat kerja keras para reporter andal seperti Fikri Jufri, Susanto Pudjomartono, Toeti Kakiailatoe, fotografer hebat Ed Zoelverdi, editor bahasa Slamet Djabarudi, dan jangan lupa guru para wartawan: Amir Daud.
Anehnya, selama sembilan tahun TEMPO tak pernah menggelar in-house training bagi para wartawannya. Maka, ketika TEMPO menerbitkan buku panduan buat para redaktur, Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979), dalam kata pengantarnya GM mengakui, bahwa para wartawan TEMPO generasi pertama “tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali.” Bahkan ia berterus-terang, “Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya”.
Dan “prosa sebagaimana mestinya” itu ialah prosa yang “tidak ruwet”. Karena itu, tulis GM, perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi (teknik) penulisan di TEMPO. GM, yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair, juga mengaku, “Prosa yang baik ternyata tidak mudah, dan selalu perlu diperbaiki terus-menerus. Para penulis, yang paling berpengalaman pun, selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya”. Dari pengakuan GM itulah tradisi jurnalisme literair dimulai di Indonesia – setidaknya menurut saya. Pada saat itu saya memastikan bahwa GM sudah mengikuti perkembangan jurnalisme literair di Amerika.
Perlu dicatat, bahwa sekitar 10 tahun sebelum GM untuk pertama kalinya menerbitkan EKSPRES, kemudian TEMPO, pada 1971/1972, jurnalisme literair baru mulai menggeliat di Amerika. Dua nama yang pertama kali boleh disebut, misalnya, Gay Talese dan Tom Wolfe -- belakangan muncul sejumlah penulis lain, termasuk yang paling saya gemari, John Hersey. Tapi, GM tak pernah bercerita kepada kami, setidaknya kepada saya, mengenai gaya menulis yang “basah dan berdaging” -- sebagaimana yang dimuat di Esquire, Atlantic, Harper’s, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, The New Yorker.
Yang pasti, sejak semula para redaktur TEMPO sudah menyajikan tulisan yang “basah dan berdaging”. Meski begitu, baru pada 1979 mereka dikasih tahu bagaimana menulis yang baik, yang “layak TEMPO”, dalam sebuah buku kecil, Misalkan Anda Wartawan TEMPO – yang 17 tahun kemudian berganti judul menjadi Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Nah, bagi para wartawan yang mau belajar menulis dengan gaya jurnalisme literair, wajib hukumnya membaca dua buku: Seandainya Saya Wartawan TEMPO saduran (alm) Slamet Djabarudi dari buku Feature Writing for the Newspapers, dan Jurnalisme Sastra karya Septiawan Santana Kurnia (Gramedia, Jakarta, 2002).
Oleh karena itu, jika kini orang bilang jurnalisme literair merupakan trend baru dalam pers Indonesia, saya tidak setuju. Bahkan saya berani bilang: Gay Talese, Tom Wolf, dan konco-konconya, sesungguhnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai pelopor jurnalisme literair. Sebab, 10 tahun sebelumnya, pada 1953, tiga serangkai wartawan pendekar, yaitu S. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, sudah menulis jurnalisme literair dan dibukukan dalam sebuah buku Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik.
Bahkan jauh sebelumnya, 1926-1927, sang perintis pers nasional Adi Negoro, sudah menulis laporan dengan gaya jurnalisme literair di majalah Pandji Poestaka, yang kemudian diterbitkan oleh Balai Poestaka (1939, tiga jilid), tapi baru dikoleksi oleh HB Jassin pada 1945. Ketika meliput Pesantren Ngruki untuk Jurnal Pantau (Mei 2000), saya menemukan sebuah buku di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari, Solo. Buku dalam bahasa dan huruf Jawa itu diterbitkan oleh Balai Poestaka (1921), yang ketika itu masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur.
Buku itu berjudul Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana (Perjalanan KPA Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia), lebih dari 600 halaman. Semula saya menduga, buku itu merupakan laporan perjalanan jurnalistik kedua setelah laporan RM Sosrokartono (yang punya nama samaran “Mandor Kloengsoe”) untuk koran New York Time. Ketika itu, kakak kandung RA Kartini tersebut meliput berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (1914-1918). Tapi, karena ternyata Sosrokartono kemudian lebih menekuni dunia kebatinan ketimbang jusnalisme, ia pun tak menulis laporan perjalanan jurnalistik. Lain halnya dengan Pangeran Koesoemadiningrat, meskipun ia bukan jurnalis, catatan perjalanannya niscaya merupakan laporan perjalanan (keliling dunia!), yang pertama kali disusun oleh orang Indonesia.
Laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra seperti itulah yang saya maksud dengan jurnalisme literair. Dan sebagai contoh, tak usahlah jauh-jauh mencari sampai ke Amerika. Jurnalisme literair karya wartawan Indonesia cukup banyak. Bahkan tak usah menengok ke belakang terlalu jauh sampai ke masa Perang Dunia I. Karya jurnalisme literair para wartawan Indonesia di tahun-tahun mutakhir juga cukup banyak. Misalnya, Dari Gunung ke Gunung (1950-an) oleh A. Damhoeri, laporan tentang suka duka para pemimpin dan pendukung PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat.
Mau yang lain? Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tanri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Ibu Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan KH; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang kesenian tradisional di berbagai daerah; Selamat Tinggal Hindia (1993) oleh Pans Schomper, otobiografi anak Belanda di sekitar runtuhnya Hindia Belanda. Juga karya-karya Rosihan Anwar seperti Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi (1977); Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-I (1979); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986).
Buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Kurnia bagus sebagai referensi, dan boleh dibilang bisa menjadi pelengkap bagi para pembaca Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Namun, buku yang dikemas apik oleh Penerbit Gramedia itu bukan tanpa cacat. Selain melupakan jejak sejarah jurnalisme literair di Indonesia, Septiawan juga keliru ketika menyebutkan nama penulis puisi tentang Nyi Eroh, seorang petani di Pasirkadu, Ciamis, Jawa Barat, yang berhasil membuat saluran air dengan memangkas bukit, dan akhirnya mendapat anugerah Kalpataru (TEMPO, 16 Juli 1988). Menurut Septiawan, puisi tersebut adalah “laporan Isma Sawitri” (halm.180), padahal itu adalah puisi saya berdasarkan laporan wartawan TEMPO Biro Bandung, Aji Abdul Gofar.
Kekurangan lain buku susunan dosen Unisba Bandung itu ialah hampir tak adanya contoh mengenai jurnalisme literarir dalam pers di Indonesia masa kini. Padahal beberapa tulisan di Jurnal Pantau bisa dijadikan contoh. Begitu pula beberapa laporan TEMPO, terutama terbitan lama. Meski tanpa deskripsi yang penuh warna atau basah, tulisan GM tentang meninggalnya Jack Lesmana (TEMPO, 23 Juli 1988), sangat bagus. Begitu pula tulisan tentang Titiek Puspa (TEMPO, 12 Nopember 1977). GM bahkan merekomendasi resensi lukisan karya Jim Supangkat sebagai tulisan yang layak dicontoh, dan oleh karena itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja redaksi.
Bacalah pula misalnya beberapa tulisan dalam rubrik Tamu Kita di majalah TEMPO. Misalnya, tulisan mengenai Goesti Poetri Mangkoenagoro VIII (TEMPO, 17 Mei 1975): Di Pracimosono, tiada suara pagi itu. Hening seperti biasa. Dari ruang khusus untuk menerima tamu pribadi itu hanya terdengar cericit burung. Lewat taman yang terpelihara apik di tengah balairung, cahaya matahari yang lunak menimpa sepertiga bagian permadani tebal yang terhampar di lantai berbunga....
Salah satu ciri jurnalisme literair ialah reportase yang deskriptif, penuturan yang naratif, penggambaran profil yang lengkap dan detil. Pendeknya, kemampuan reporter melukiskan suasana di sekitar tokoh atau suatu kejadian sebagai pendukung tulisan. Tapi, deskripsi tidak selamanya harus berupa kalimat, apalagi yang berpanjang-panjang. Seorang penulis yang baik ialah yang menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.
Masih sekitar tulisan tentang Goesti Poetri Mangkoenagoro di rubrik Tamu Kita, yang menarik ialah lead-nya yang dimulai hanya dengan satu kata: Pagi. Lalu diikuti kalimat pendek yang hanya terdiri dari tiga kata saja: Matahari baru sepenggalah. Perhatikan, betapa penulisnya berusaha melukiskan suasana ketika ia sedang melakukan wawancara. Dan cukup dengan satu kata: Pagi. Perhatikan pula betapa ia – sebagaimana generasi lama TEMPO yang lain – berusaha menggunakan ungkapan lama yang ketika itu sudah sangat jarang digunakan: sepenggalah.
TEMPO memang berjasa menghidupkan kembali kosakata lama. GM mempopulerkan ujar, Bur Rasuanto memperkenalkan kosakata dari kampung halamannya, Palembang, santai. Putu Wijaya gemar menggunakan kata-kata yang sangat ekspresif, menggebrak, menggojlok, menonjok, menggebu; sedangkan Ed Zoelverdi, fotografer yang suka menulis dengan gaya yang sangat lucu itu, gemar menggunakan kosakata jenaka seperti kudu, melejit, nungging, dan ending sebuah cerita yang juga terdiri dari satu kata: Begitu. Kecintaan kepada bahasa, kegemaran berinovasi, dan kemampuan menggunakannya secara kreatif imajinatif, merupakan salah satu kekuatan jurnalisme literair.
Celakanya, kini sebagian terbesar wartawan, secara tak sadar, telah kejangkitan virus yang disebarkan oleh sebuah harian besar yang terbit di Jakarta. Tanpa merasa berdosa, dengan enteng mereka menggunakan kosakata yang salah: jelasnya, tandasnya, terangnya, akunya, sebagai pengganti katanya atau ujarnya. Barangkali mereka ingin membuat variasi. Padahal, orang Inggris saja hanya menggunakan says, said, tell, told – dan sama sekali berkeinginan membuat variasi.
Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas terjun melakukan reportase adalah goblok.***
*) Budiman S. Hartoyo, dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO, yang sampai berusia 67 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebutnya -- praktis selama hampir seperempat abad bekerja di TEMPO, sejak 1972 (setahun setelah pertama kali terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995. Sebelumnya ia bekerja di RRI Surakarta, dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI).
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia, majalah D&R, majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta, dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah alKisah. Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998).
Selain sebagai wartawan profesional -- yang sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972), sudah tiga kali dicetak ulang.***
SETIAP akhir pekan, para wartawan TEMPO dilanda stress. Bahan berjibun, deadline pun mengancam di pucuk ubun-ubun. Nasi dan lauk pauk beraneka selera untuk makan malam yang terhidang di pinggir ruang redaksi, dan dingin AC yang menggigit, tak mampu mengusir rasa gelisah. Kantuk adalah musuh nomor satu, begadang bukan lagi kebiasaan langka. Setiap akhir pekan, sebagian besar wartawan menginap di kantor, melemparkan tubuh barang sejenak di kolong meja. Begitu yang terekam dalam kenangan saya seperempat abad silam.
Jangan ganggu Fikri Jufri. Ia tengah mengedit naskah, sebuah laporan ekonomi tentang skandal korupsi di perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Tubuhnya yang tambun bisa terguncang, setiap kali ia jengkel membaca laporan wartawan yang tak layak. “Setan! Ini laporan apa? Brengsek! Laporan sampah! Bull shit!” teriaknya menyumpah-nyumpah sembari bangkit dari kursi menuju toilet, melepas hajat kecil. Jam dinding yang bulat menunjuk angka 02:25 dinihari. Tegang! Tapi ah, peduli amat! Setiap orang toh sibuk dengan urusan masing-masing.
Jika ia gusar, naskah di tangan kanannya bisa dibanting. Atau sekedar dikibas-kibaskannya ke bibir meja. Dan sambil terus ngedumel, ia ngeloyor. “Hhh, hhh, hhh! Sialan!” ia bersungut-sungut. Hidung mancungnya kembang-kempis. Kepalanya mendongak sambil matanya yang berkacamata minus melirik sinis ke kiri-kanan. Tapi, tak selamanya redaktur senior itu mengumbar sumpah serapah. Ia justru lebih banyak bercanda sambil sesekali melontarkan joke diseling cas-cis-cus bahasa Inggeris. Jika hatinya lagi enak, nah, suasana kerja pun terasa ringan. Orang tergelak setiap kali ia ngeledek seorang kawan dengan jenaka.
“Hei, Bung! Ha, Emir David, how are you?” suaranya memecah kebekuan menyapa Amir Daud, redaktur senior yang lain. Lalu, sambil menghampiri meja saya dia bilang, “Nah, ini lho nyang namenye laporan basah, bedaging. Ndak kering. Gampang kite ngejaitnye.” Sekilas tercium aroma bir meruap dari mulutnya. Esoknya, pada hari kedua deadline, hidungnya yang besar dan mancung itu masih saja mengancam wartawan yang laporannya kering tak berdaging. Tapi, orang-orang sudah melupakannya. Terutama setelah Susanto Pudjomartono, dengan gaya Jawa dan candanya, membujuknya.
Laporan sampah, laporan basah, laporan kering, laporan berdaging. Para wartawan yang pernah “hidup sekandang” dengan FJ ingat betul istilah-istilah khas itu keluar dari mulutnya. FJ adalah inisial untuk Fikri Jufri, sebagaimana GM untuk Goenawan Mohamad, SP untuk Susanto Pudjomartono, atau Bambu untuk Bambang Bujono – yang sekitar seperempat abad silam disosialisasikan oleh Amir Daud alias AD – yang oleh FJ kadang diledek sebagai Emir David. Memang, hanya laporan basah atau berdaging yang mampu mempertahankan trade mark majalah TEMPO, sehingga “enak dibaca dan perlu.”
Saya tak tahu persis kapan GM menciptakan slogan yang singkat, padat, pas, dan kena seperti “enak dibaca dan perlu.” Juga sejumlah slogan untuk pemasaran, seperti Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan bersayap lainnya untuk menggambarkan rubrik-rubrik TEMPO: “nasional tapi bukan politik; ilmu tapi bukan teknologi; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran; agama tapi bukan khotbah.” Yang paling populer: Tak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu – yang dengan sangat tepat mengungkapkan gaya laporan TEMPO yang khas.
“Enak dibaca”, karena laporan ditulis secara populer, menggambarkan suasana atau profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara bertutur, naratif, yang menurut FJ harus “dijahit secara cerdas” oleh redaktur; dan berdasarkan “belanjaan” yang didapat reporter di lapangan. “Dan perlu”, karena setiap usulan berita terlebih dulu harus diseleksi, didiskusikan dalam rapat, hingga “layak TEMPO”. Sejak awal, ketika pertama kali TEMPO terbit pada 1971, salah satu teks iklan yang ditulis oleh GM menggambarkan karakter laporan TEMPO, yaitu ramuan antara “ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra”.
Sejak itulah pers Indonesia mengenal apa yang disebut “jurnalisme sastra”, atau yang oleh Jurnal Pantau ditabalkan sebagai “jurnalisme sastrawi”. Dua penamaan yang menurut saya kurang tepat, dibanding misalnya, “jurnalisme literair”. Sebagai wartawan – yang sebagian terbesar “masa berguru”-nya di TEMPO, yaitu sebagai reporter (1972-1995) – selama itu pula saya belum pernah membaca Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946). Selama di TEMPO, saya langsung mempraktikkan jurnalisme literair tanpa tengok kiri-kanan.
Sesunguhnya TEMPO sangat beruntung – atau memang dirancang oleh GM, yang “terpanggil” oleh sejarah sebagai pendiri TEMPO dan pelopor “jurnalisme baru” di Indonesia – karena di sana ada sejumlah sastrawan: Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Isma Sawitri, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Martin Aleida, si kembar Noorca Marendra dan Yudhistira Massardi, dan belakangan Amarzan Lubis. Tapi, juga sangat terbantu berkat kerja keras para reporter andal seperti Fikri Jufri, Susanto Pudjomartono, Toeti Kakiailatoe, fotografer hebat Ed Zoelverdi, editor bahasa Slamet Djabarudi, dan jangan lupa guru para wartawan: Amir Daud.
Anehnya, selama sembilan tahun TEMPO tak pernah menggelar in-house training bagi para wartawannya. Maka, ketika TEMPO menerbitkan buku panduan buat para redaktur, Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979), dalam kata pengantarnya GM mengakui, bahwa para wartawan TEMPO generasi pertama “tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali.” Bahkan ia berterus-terang, “Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya”.
Dan “prosa sebagaimana mestinya” itu ialah prosa yang “tidak ruwet”. Karena itu, tulis GM, perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi (teknik) penulisan di TEMPO. GM, yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair, juga mengaku, “Prosa yang baik ternyata tidak mudah, dan selalu perlu diperbaiki terus-menerus. Para penulis, yang paling berpengalaman pun, selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya”. Dari pengakuan GM itulah tradisi jurnalisme literair dimulai di Indonesia – setidaknya menurut saya. Pada saat itu saya memastikan bahwa GM sudah mengikuti perkembangan jurnalisme literair di Amerika.
Perlu dicatat, bahwa sekitar 10 tahun sebelum GM untuk pertama kalinya menerbitkan EKSPRES, kemudian TEMPO, pada 1971/1972, jurnalisme literair baru mulai menggeliat di Amerika. Dua nama yang pertama kali boleh disebut, misalnya, Gay Talese dan Tom Wolfe -- belakangan muncul sejumlah penulis lain, termasuk yang paling saya gemari, John Hersey. Tapi, GM tak pernah bercerita kepada kami, setidaknya kepada saya, mengenai gaya menulis yang “basah dan berdaging” -- sebagaimana yang dimuat di Esquire, Atlantic, Harper’s, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, The New Yorker.
Yang pasti, sejak semula para redaktur TEMPO sudah menyajikan tulisan yang “basah dan berdaging”. Meski begitu, baru pada 1979 mereka dikasih tahu bagaimana menulis yang baik, yang “layak TEMPO”, dalam sebuah buku kecil, Misalkan Anda Wartawan TEMPO – yang 17 tahun kemudian berganti judul menjadi Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Nah, bagi para wartawan yang mau belajar menulis dengan gaya jurnalisme literair, wajib hukumnya membaca dua buku: Seandainya Saya Wartawan TEMPO saduran (alm) Slamet Djabarudi dari buku Feature Writing for the Newspapers, dan Jurnalisme Sastra karya Septiawan Santana Kurnia (Gramedia, Jakarta, 2002).
Oleh karena itu, jika kini orang bilang jurnalisme literair merupakan trend baru dalam pers Indonesia, saya tidak setuju. Bahkan saya berani bilang: Gay Talese, Tom Wolf, dan konco-konconya, sesungguhnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai pelopor jurnalisme literair. Sebab, 10 tahun sebelumnya, pada 1953, tiga serangkai wartawan pendekar, yaitu S. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, sudah menulis jurnalisme literair dan dibukukan dalam sebuah buku Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik.
Bahkan jauh sebelumnya, 1926-1927, sang perintis pers nasional Adi Negoro, sudah menulis laporan dengan gaya jurnalisme literair di majalah Pandji Poestaka, yang kemudian diterbitkan oleh Balai Poestaka (1939, tiga jilid), tapi baru dikoleksi oleh HB Jassin pada 1945. Ketika meliput Pesantren Ngruki untuk Jurnal Pantau (Mei 2000), saya menemukan sebuah buku di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari, Solo. Buku dalam bahasa dan huruf Jawa itu diterbitkan oleh Balai Poestaka (1921), yang ketika itu masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur.
Buku itu berjudul Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana (Perjalanan KPA Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia), lebih dari 600 halaman. Semula saya menduga, buku itu merupakan laporan perjalanan jurnalistik kedua setelah laporan RM Sosrokartono (yang punya nama samaran “Mandor Kloengsoe”) untuk koran New York Time. Ketika itu, kakak kandung RA Kartini tersebut meliput berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (1914-1918). Tapi, karena ternyata Sosrokartono kemudian lebih menekuni dunia kebatinan ketimbang jusnalisme, ia pun tak menulis laporan perjalanan jurnalistik. Lain halnya dengan Pangeran Koesoemadiningrat, meskipun ia bukan jurnalis, catatan perjalanannya niscaya merupakan laporan perjalanan (keliling dunia!), yang pertama kali disusun oleh orang Indonesia.
Laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra seperti itulah yang saya maksud dengan jurnalisme literair. Dan sebagai contoh, tak usahlah jauh-jauh mencari sampai ke Amerika. Jurnalisme literair karya wartawan Indonesia cukup banyak. Bahkan tak usah menengok ke belakang terlalu jauh sampai ke masa Perang Dunia I. Karya jurnalisme literair para wartawan Indonesia di tahun-tahun mutakhir juga cukup banyak. Misalnya, Dari Gunung ke Gunung (1950-an) oleh A. Damhoeri, laporan tentang suka duka para pemimpin dan pendukung PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat.
Mau yang lain? Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tanri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Ibu Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan KH; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang kesenian tradisional di berbagai daerah; Selamat Tinggal Hindia (1993) oleh Pans Schomper, otobiografi anak Belanda di sekitar runtuhnya Hindia Belanda. Juga karya-karya Rosihan Anwar seperti Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi (1977); Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-I (1979); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986).
Buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Kurnia bagus sebagai referensi, dan boleh dibilang bisa menjadi pelengkap bagi para pembaca Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Namun, buku yang dikemas apik oleh Penerbit Gramedia itu bukan tanpa cacat. Selain melupakan jejak sejarah jurnalisme literair di Indonesia, Septiawan juga keliru ketika menyebutkan nama penulis puisi tentang Nyi Eroh, seorang petani di Pasirkadu, Ciamis, Jawa Barat, yang berhasil membuat saluran air dengan memangkas bukit, dan akhirnya mendapat anugerah Kalpataru (TEMPO, 16 Juli 1988). Menurut Septiawan, puisi tersebut adalah “laporan Isma Sawitri” (halm.180), padahal itu adalah puisi saya berdasarkan laporan wartawan TEMPO Biro Bandung, Aji Abdul Gofar.
Kekurangan lain buku susunan dosen Unisba Bandung itu ialah hampir tak adanya contoh mengenai jurnalisme literarir dalam pers di Indonesia masa kini. Padahal beberapa tulisan di Jurnal Pantau bisa dijadikan contoh. Begitu pula beberapa laporan TEMPO, terutama terbitan lama. Meski tanpa deskripsi yang penuh warna atau basah, tulisan GM tentang meninggalnya Jack Lesmana (TEMPO, 23 Juli 1988), sangat bagus. Begitu pula tulisan tentang Titiek Puspa (TEMPO, 12 Nopember 1977). GM bahkan merekomendasi resensi lukisan karya Jim Supangkat sebagai tulisan yang layak dicontoh, dan oleh karena itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja redaksi.
Bacalah pula misalnya beberapa tulisan dalam rubrik Tamu Kita di majalah TEMPO. Misalnya, tulisan mengenai Goesti Poetri Mangkoenagoro VIII (TEMPO, 17 Mei 1975): Di Pracimosono, tiada suara pagi itu. Hening seperti biasa. Dari ruang khusus untuk menerima tamu pribadi itu hanya terdengar cericit burung. Lewat taman yang terpelihara apik di tengah balairung, cahaya matahari yang lunak menimpa sepertiga bagian permadani tebal yang terhampar di lantai berbunga....
Salah satu ciri jurnalisme literair ialah reportase yang deskriptif, penuturan yang naratif, penggambaran profil yang lengkap dan detil. Pendeknya, kemampuan reporter melukiskan suasana di sekitar tokoh atau suatu kejadian sebagai pendukung tulisan. Tapi, deskripsi tidak selamanya harus berupa kalimat, apalagi yang berpanjang-panjang. Seorang penulis yang baik ialah yang menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.
Masih sekitar tulisan tentang Goesti Poetri Mangkoenagoro di rubrik Tamu Kita, yang menarik ialah lead-nya yang dimulai hanya dengan satu kata: Pagi. Lalu diikuti kalimat pendek yang hanya terdiri dari tiga kata saja: Matahari baru sepenggalah. Perhatikan, betapa penulisnya berusaha melukiskan suasana ketika ia sedang melakukan wawancara. Dan cukup dengan satu kata: Pagi. Perhatikan pula betapa ia – sebagaimana generasi lama TEMPO yang lain – berusaha menggunakan ungkapan lama yang ketika itu sudah sangat jarang digunakan: sepenggalah.
TEMPO memang berjasa menghidupkan kembali kosakata lama. GM mempopulerkan ujar, Bur Rasuanto memperkenalkan kosakata dari kampung halamannya, Palembang, santai. Putu Wijaya gemar menggunakan kata-kata yang sangat ekspresif, menggebrak, menggojlok, menonjok, menggebu; sedangkan Ed Zoelverdi, fotografer yang suka menulis dengan gaya yang sangat lucu itu, gemar menggunakan kosakata jenaka seperti kudu, melejit, nungging, dan ending sebuah cerita yang juga terdiri dari satu kata: Begitu. Kecintaan kepada bahasa, kegemaran berinovasi, dan kemampuan menggunakannya secara kreatif imajinatif, merupakan salah satu kekuatan jurnalisme literair.
Celakanya, kini sebagian terbesar wartawan, secara tak sadar, telah kejangkitan virus yang disebarkan oleh sebuah harian besar yang terbit di Jakarta. Tanpa merasa berdosa, dengan enteng mereka menggunakan kosakata yang salah: jelasnya, tandasnya, terangnya, akunya, sebagai pengganti katanya atau ujarnya. Barangkali mereka ingin membuat variasi. Padahal, orang Inggris saja hanya menggunakan says, said, tell, told – dan sama sekali berkeinginan membuat variasi.
Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas terjun melakukan reportase adalah goblok.***
*) Budiman S. Hartoyo, dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO, yang sampai berusia 67 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebutnya -- praktis selama hampir seperempat abad bekerja di TEMPO, sejak 1972 (setahun setelah pertama kali terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995. Sebelumnya ia bekerja di RRI Surakarta, dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI).
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia, majalah D&R, majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta, dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah alKisah. Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998).
Selain sebagai wartawan profesional -- yang sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972), sudah tiga kali dicetak ulang.***
Tuesday, July 25, 2006
WILLIAM NESSEN
/ Budiman S. Hartoyo
BERSAMA para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mudik ke Serambi Makkah pekan lalu, seorang wartawan Amerika Serikat yang tiga tahun lalu dideportasi oleh pemerintah Republik Indonesia, muncul kembali. Dan kali ini dia diusir kembali. Dia tiada lain adalah reporter yang tak kenal menyerah dan tak kenal lelah: William Nessen.
Orang mungkin melihatnya sebagai “musuh” yang misterius dan berbahaya. Betapa tidak! Hampir semua pers Indonesia (ketika itu) dengan enteng melaporkan, “akhirnya ia menyerahkan diri kepada TNI”. Tapi, saya menatapnya dengan penuh penasaran, gemas, dan kagum. Janganlah heran kalau saya, yang kini sudah berusia 68 tahun, mempersonifikasikan diri seolah bagaikan dia, si anak muda yang pastilah umurnya kurang dari separuh usia saya.
Selasa, 24 Juni tiga tahun lalu, sekitar pukul 10:29 WIB, ia muncul di Desa Paya Dua, Kecamatan Nissam, Lhokseumawe, Aceh Utara, dievakuasi oleh tim Komando Operasi Daerah Militer Nangroe Aceh Darussalam. Dua jenderal menjemputnya: Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI. Perlakuan istimewa itu tentulah gara-gara tekanan pemerintah AS juga.
Tiga tahun lalu itu ia tampil sederhana seperti halnya seorang reporter lapangan sejati. Mengenakan kemeja berkotak-kotak kecil dilapis jaket berkantung banyak, lengkap dengan dua tas untuk menyimpan kamera dan perlengkapan sehari-hari. Parasnya kurus, wajahnya tirus dan pucat, mimiknya gamang. Kalaupun ia cengengesan, pastilah itu bukan tawa bahagia atau keramah-tamahan, melainkan sedikit upaya untuk menyembunyikan rasa cemas.
Willam Nessen adalah kontributor berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia, yang melakukan investigative reporting di jantung pertahanan GAM di belantara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sesuai kesepakatan, ketika itu TNI memang menjamin tak akan menembak dan menangkapnya; cuma “menjemput, mengevakuasi, memeriksa, dan mengamankan wartawan sebagai warga sipil”.
Bill (panggilan William Nessen sehari-hari) dituduh melanggar peraturan keimigrasian karena memasuki wilayah RI tanpa izin. Segera setelah itu ia ditahan selama 20 hari sembari menunggu proses pengadilan. Merasa cukup hanya mengutip sumber-sumber militer, ketika itu tak satu pun pers Indonesia menulis mengenai posisi dan integritas Bill sebagai wartawan. Maklum, amatlah mustahil mewawancarai Bill yang dijaga sangat ketat oleh TNI itu.
Saya menduga, ketika itu ia akan divonis salah dan dihukum, kecuali pemerintah dan TNI tunduk pada tekanan AS. Tapi, saya yakin semua hasil riset, reportase, wawancara, dan foto-foto karya jurnalistiknya sudah lebih dulu dilayangkannya ke semua media yang dibantunya lewat internet dengan jaringan satelit. Setelah semuanya beres barulah ia, seperti laporan pers Indonesia, “menyerahkan diri.” Ya, pers Indonesia menuliskan “menyerahkan diri”, padahal ia bukanlah musuh TNI. Ia adalah wartawan.
Sebelum meliput Aceh, Bill sudah malang-melintang di Timor-Timur dan Papua. Juga meliput euphoria reformasi menjelang dan ketika Soeharto dulu lengser keprabon. Ia pergi ke Amerika Latin, mungkin juga ke Afrika dan belahan dunia yang lain. Ia wartawan petualang yang gelisah, yang memiliki the nose of news, dan siap menghadapi tantangan di lapangan. Ia bukanlah wartawan press release, jurnalis talking news, apalagi “wartawan amplop” alias bodrex!
Di Indonesia , kebebasan pers sudah dalam genggaman tangan publik. Tapi, konon sudah “kebablasan”. Sebagaimana saya selalu mempertanyakan apa kriteria dan parameter pers yang dituding sebagai “kebablasan,” saya juga ingin menggugat: adakah wartawan Indonesia yang berani terjun ke lapangan menghadapi bahaya – demi sebuah karya investigative reporting? Di manakah gerangan profesionalisme dan integritas yang selalu diajarkan dalam pelatihan jurnalistik?
Namun, bagaimana mungkin melakukan peliputan investigasi yang memadai, jika upaya jurnalisme yang instant saja telah mengakibatkan tiga wartawan Indonesia diusir atau dipecat – sebagaimana pengalaman Tarmizi Harva (Reuters), Hendrata Yudha (MetroTV) dan Dandhy Dwi Laksono (SCTV) tiga tahun lalu?
Tiga tahun lalu melakukan investigasi yang profesional di NAD memang sulit, apalagi setelah pertengahan Juni tiga tahun lalu itu Presiden (ketika itu) Megawati mengumumkan maklumat yang mengatur peliputan oleh pers lokal dan asing. Terimakasih kepada Dewan Pers yang pada saat yang bersamaan (ketika itu) menyiarkan saran dan imbauan kepada pemerintah dan TNI, bagaimana seharusnya memperlakukan wartawan yang meliput di wilayah konflik seperti NAD.
Sejauh ini rasa-rasanya hampir belum ada laporan investigasi wartawan Indonesia yang cukup memadai mengenai konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Aceh. Sebagai reporter sejati – yang tak betah duduk di belakang meja di ruang ber-AC dengan dasi terikat di leher – Bill sudah menyusup duluan sebelum larangan meliput di wilayah konflik menjeratnya. Dan agaknya ia pun siap menerbitkan buku yang pasti bakal laris.
Bahwa Bill dituduh melanggar peraturan keimigrasian atau maklumat pemerintah mengenai aturan main bagi jurnalis yang meliput di wilayah konflik, itu soal lain. Selain hal itu memang sudah merupakan resiko profesi, namun yang jelas bagi reporter yang gandrung akan laporan investigasi seperti Bill, tentulah sungguh pantang melewati jalur resmi. Sebab, lewat jalur resmi sangatlah mustahil ia akan berhasil memperoleh informasi atau fakta yang exclusive.
Menahan dan menginterogasi Bill tak lebih bagaikan melempar sebatang boomerang atau bak “menepuk air di dulang” -- yang tentulah pada gilirannya kelak bakal kembali menampar atau memercik wajah kita sendiri. Karena itu, justru demi martabat kita, sangatlah bijak jika tiga tahun lalu pemerintah mengikuti saran ketua Dewan Pers (ketika itu) Atmakusumah Astraatmadja, yang dilontarkan tiga tahun lalu: Bebaskan Bill, biarkan dia pulang kampung.
Tapi sungguh sayang, kini tiga tahun kemudian, sikap pemerintah masih tetap sami mawon: mengusir sang jurnalis dari bumi yang konon gandrung akan kebebasan pers itu.....
*) Reporter TEMPO (1971-1994).
BERSAMA para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mudik ke Serambi Makkah pekan lalu, seorang wartawan Amerika Serikat yang tiga tahun lalu dideportasi oleh pemerintah Republik Indonesia, muncul kembali. Dan kali ini dia diusir kembali. Dia tiada lain adalah reporter yang tak kenal menyerah dan tak kenal lelah: William Nessen.
Orang mungkin melihatnya sebagai “musuh” yang misterius dan berbahaya. Betapa tidak! Hampir semua pers Indonesia (ketika itu) dengan enteng melaporkan, “akhirnya ia menyerahkan diri kepada TNI”. Tapi, saya menatapnya dengan penuh penasaran, gemas, dan kagum. Janganlah heran kalau saya, yang kini sudah berusia 68 tahun, mempersonifikasikan diri seolah bagaikan dia, si anak muda yang pastilah umurnya kurang dari separuh usia saya.
Selasa, 24 Juni tiga tahun lalu, sekitar pukul 10:29 WIB, ia muncul di Desa Paya Dua, Kecamatan Nissam, Lhokseumawe, Aceh Utara, dievakuasi oleh tim Komando Operasi Daerah Militer Nangroe Aceh Darussalam. Dua jenderal menjemputnya: Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI. Perlakuan istimewa itu tentulah gara-gara tekanan pemerintah AS juga.
Tiga tahun lalu itu ia tampil sederhana seperti halnya seorang reporter lapangan sejati. Mengenakan kemeja berkotak-kotak kecil dilapis jaket berkantung banyak, lengkap dengan dua tas untuk menyimpan kamera dan perlengkapan sehari-hari. Parasnya kurus, wajahnya tirus dan pucat, mimiknya gamang. Kalaupun ia cengengesan, pastilah itu bukan tawa bahagia atau keramah-tamahan, melainkan sedikit upaya untuk menyembunyikan rasa cemas.
Willam Nessen adalah kontributor berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia, yang melakukan investigative reporting di jantung pertahanan GAM di belantara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sesuai kesepakatan, ketika itu TNI memang menjamin tak akan menembak dan menangkapnya; cuma “menjemput, mengevakuasi, memeriksa, dan mengamankan wartawan sebagai warga sipil”.
Bill (panggilan William Nessen sehari-hari) dituduh melanggar peraturan keimigrasian karena memasuki wilayah RI tanpa izin. Segera setelah itu ia ditahan selama 20 hari sembari menunggu proses pengadilan. Merasa cukup hanya mengutip sumber-sumber militer, ketika itu tak satu pun pers Indonesia menulis mengenai posisi dan integritas Bill sebagai wartawan. Maklum, amatlah mustahil mewawancarai Bill yang dijaga sangat ketat oleh TNI itu.
Saya menduga, ketika itu ia akan divonis salah dan dihukum, kecuali pemerintah dan TNI tunduk pada tekanan AS. Tapi, saya yakin semua hasil riset, reportase, wawancara, dan foto-foto karya jurnalistiknya sudah lebih dulu dilayangkannya ke semua media yang dibantunya lewat internet dengan jaringan satelit. Setelah semuanya beres barulah ia, seperti laporan pers Indonesia, “menyerahkan diri.” Ya, pers Indonesia menuliskan “menyerahkan diri”, padahal ia bukanlah musuh TNI. Ia adalah wartawan.
Sebelum meliput Aceh, Bill sudah malang-melintang di Timor-Timur dan Papua. Juga meliput euphoria reformasi menjelang dan ketika Soeharto dulu lengser keprabon. Ia pergi ke Amerika Latin, mungkin juga ke Afrika dan belahan dunia yang lain. Ia wartawan petualang yang gelisah, yang memiliki the nose of news, dan siap menghadapi tantangan di lapangan. Ia bukanlah wartawan press release, jurnalis talking news, apalagi “wartawan amplop” alias bodrex!
Di Indonesia , kebebasan pers sudah dalam genggaman tangan publik. Tapi, konon sudah “kebablasan”. Sebagaimana saya selalu mempertanyakan apa kriteria dan parameter pers yang dituding sebagai “kebablasan,” saya juga ingin menggugat: adakah wartawan Indonesia yang berani terjun ke lapangan menghadapi bahaya – demi sebuah karya investigative reporting? Di manakah gerangan profesionalisme dan integritas yang selalu diajarkan dalam pelatihan jurnalistik?
Namun, bagaimana mungkin melakukan peliputan investigasi yang memadai, jika upaya jurnalisme yang instant saja telah mengakibatkan tiga wartawan Indonesia diusir atau dipecat – sebagaimana pengalaman Tarmizi Harva (Reuters), Hendrata Yudha (MetroTV) dan Dandhy Dwi Laksono (SCTV) tiga tahun lalu?
Tiga tahun lalu melakukan investigasi yang profesional di NAD memang sulit, apalagi setelah pertengahan Juni tiga tahun lalu itu Presiden (ketika itu) Megawati mengumumkan maklumat yang mengatur peliputan oleh pers lokal dan asing. Terimakasih kepada Dewan Pers yang pada saat yang bersamaan (ketika itu) menyiarkan saran dan imbauan kepada pemerintah dan TNI, bagaimana seharusnya memperlakukan wartawan yang meliput di wilayah konflik seperti NAD.
Sejauh ini rasa-rasanya hampir belum ada laporan investigasi wartawan Indonesia yang cukup memadai mengenai konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Aceh. Sebagai reporter sejati – yang tak betah duduk di belakang meja di ruang ber-AC dengan dasi terikat di leher – Bill sudah menyusup duluan sebelum larangan meliput di wilayah konflik menjeratnya. Dan agaknya ia pun siap menerbitkan buku yang pasti bakal laris.
Bahwa Bill dituduh melanggar peraturan keimigrasian atau maklumat pemerintah mengenai aturan main bagi jurnalis yang meliput di wilayah konflik, itu soal lain. Selain hal itu memang sudah merupakan resiko profesi, namun yang jelas bagi reporter yang gandrung akan laporan investigasi seperti Bill, tentulah sungguh pantang melewati jalur resmi. Sebab, lewat jalur resmi sangatlah mustahil ia akan berhasil memperoleh informasi atau fakta yang exclusive.
Menahan dan menginterogasi Bill tak lebih bagaikan melempar sebatang boomerang atau bak “menepuk air di dulang” -- yang tentulah pada gilirannya kelak bakal kembali menampar atau memercik wajah kita sendiri. Karena itu, justru demi martabat kita, sangatlah bijak jika tiga tahun lalu pemerintah mengikuti saran ketua Dewan Pers (ketika itu) Atmakusumah Astraatmadja, yang dilontarkan tiga tahun lalu: Bebaskan Bill, biarkan dia pulang kampung.
Tapi sungguh sayang, kini tiga tahun kemudian, sikap pemerintah masih tetap sami mawon: mengusir sang jurnalis dari bumi yang konon gandrung akan kebebasan pers itu.....
*) Reporter TEMPO (1971-1994).
SELAMAT JALAN SASTRAWAN
Obituari Elanda Rosi Ds
(21 November 1937 - 27 April 2006)
TELAH meninggal dunia dengan tenang dan wajah tersenyum, sastrawan dan wartawan M. Elanda Rosi Ds, pada hari Kamis 27 April 2006 jam 03:30 WIB dinihari di RS Firdaus, Kompleks Bea Cukai Sukapura, Cakung, Jakarta Utara, dalam usia 69 tahun. Almarhum yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 21 November 1937, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, dua orang di antaranya (ketiga dan keempat) telah mendahului ayahandanya beberapa tahun lalu.
(21 November 1937 - 27 April 2006)
TELAH meninggal dunia dengan tenang dan wajah tersenyum, sastrawan dan wartawan M. Elanda Rosi Ds, pada hari Kamis 27 April 2006 jam 03:30 WIB dinihari di RS Firdaus, Kompleks Bea Cukai Sukapura, Cakung, Jakarta Utara, dalam usia 69 tahun. Almarhum yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 21 November 1937, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, dua orang di antaranya (ketiga dan keempat) telah mendahului ayahandanya beberapa tahun lalu.
Jenazah Almarhum telah dimakamkan di TPU Tanah Kusir pada hari Kamis 27 April 2006, berangkat dari rumah duka Jalan Kakaktua Nomor 12, Kaveling Walikota Jakarta Utara, Cakung, Jakarta Utara, pada jam 13:00 WIB. Ia dikenal sebagai sastrawan (penyair dan cerpenis), dan belakangan lebih aktif sebagai wartawan. Salah seorang sastrawan dunia yang dikaguminya adalah sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849).
Sekitar tahun 1950-an, Almarhum aktif dan sangat berjasa menumbuhkan apresiasi sastra di kalangan anak-anak remaja di Solo dengan mendirikan Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS) bersama beberapa sastrawan Solo, antara lain Mansur Samin, B. Soetiman, Armaya. Beberapa remaja yang kemudian tumbuh dari kancah HPSS, antara lain Sapardi Djoko Damono, Arifin C. Noer, Slamet Sukirnanto, Budiman S. Hartoyo, Salim Said, Sutarno Priyomarsono, Kastoyo Ramelan, Mochtar Hadi.
Hampir setiap hari mereka berkumpul, berdiskusi, bahkan menginap di rumah Almarhum di Jalan Setabelan III/2, Solo. Para sastrawan dari Jakarta dan daerah lain seperti Wiratmo Soekito, DS Moeljanto, Gerson Poyk (Jakarta), WS Rendra, Kirdjomuljo, Mottinggo Boesje, L. Koessoediarto, Kuslan Budiman (Yogyakarta), Hoedi Soejanto (Salatiga) acap pula berkunjung ke rumahnya. Di rumah itu pulalah pada 1963 gerakan untuk mendukung dan mengorganisasikan penandatanganan Manifes Kebudayaan (untuk wilayah Jawa Tengah) dipusatkan.
Kala itu rumah Almarhum juga sempat menjadi alamat sekretariat Panitia Persiapan Konperensi Karyawan Pengarang Indonesia (koordinator Jawa Tengah) yang kemudian diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret 1963. Para seniman sangat berterima kasih (disertai permohonan mohon maaf sebesar-besarnya) kepada Almarhum, kedua orangtua Almarhum, saudara-saudara Almarhum, dan keluarga besar yang ditinggalkan oleh Almarhum, karena hampir setiap hari mereka tentu sangat terganggu oleh bisingnya diskusi para seniman di teras rumah Almarhum.
Bisa dimaklum, sebab rumah tersebut merupakan satu dari lima pusat kegiatan sastra di Solo kala itu, di samping rumah Mansur Samin di Jalan Jenderal Urip Sumohardjo 21, Mesen, dekat Pasar Gede, Solo; SMP MIS (Modern Islamic School); RRI Surakarta dan gedung HBS (Himpunan Budaya Surakarta) di Alun-alun Utara, Solo. Satu hal yang tak mungkin terlupakan oleh para seniman Solo kala itu – juga pasti oleh para wartawan yang mengenalnya di Jakarta – sikap Almarhum yang low profile, akrab dan ramah, kooperatif namun teguh dalam prinsip, sangat teliti dalam mengedit naskah, tidak gampang marah, piawai dalam berdiskusi (baik mengenai masalah sastra budaya, bahkan perkembangan politik mutakhir), gemar menolong, dan mentraktir kawan-kawan dekatnya.
Di antara kegiatan yang digelar oleh HPSS yang dimotori oleh Almarhum ketika itu, antara lain, latihan deklamasi (poetry reading) di bawah asuhan sastrawan Mansur Samin setiap Minggu sore di SMP MIS; siaran Sajak dan Pembahasannya, sandiwara radio Kumandang Tjita serta Kronik Kebudayaan di RRI Surakarta. HPSS juga sempat menerbitkan majalah Puisi, namun majalah yang distensil sangat sederhana itu hanya terbit sekali. Semua itu berkat pemikiran dan aktivitas Almarhum.
Setiap 27 April, HPSS menyelenggarakan Hari Chairil Anwar disertai lomba menulis puisi dan deklamasi. Dan sesekali menggelar pementasan drama, antara lain, Pintu Tertutup terjemahan Asrul Sani dari karya Jean Paul Sartre; Orang Asing terjemahan Sitor Situmorang dari karya William Saroyan dengan sutradara Mansur Samin; Pinangan terjemahan Sumantri Sastrosuwondho dari karya Anton P. Chekov dengan sutradara Arifin C. Noer. Sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta, Almarhum sempat menjadi redaktur budaya tabloid mingguan Pos Minggu yang terbit di Semarang pimpinan kakak kandungnya, Moersito Ds. Sekitar awal 1965, Almarhum mendapat panggilan untuk memimpin majalah Selecta di Jakarta. Dan sejak itu Almarhum lebih banyak aktif sebagai wartawan, bahkan antara lain sempat memimpin beberapa majalah seperti Dewi dan Sarinah.
Sebelum dikenal sebagai sastrawan, di masa remaja Almarhum menulis puisi di beberapa rubrik remaja seperti Abadi Minggu Junior (dari Harian Abadi, Jakarta). Dua nama di antara para penulis remaja yang ketika itu terkenal ialah Elanda Rosi Ds dan Tutty Alawiyah AS. Setelah itu namanya mencuat di kalangan sastrawan muda (seperti Darmanto Jt, Lastri Fardani dan M. Dawam Rahardjo) yang menulis di rubrik Remaja Nasional dari Harian Nasional yang terbit di Yogyakarta. Namanya mulai dikenal sebagai sastrawan ketika beberapa puisi dan cerita pendeknya dimuat di majalah Konfrontasi (Jakarta) pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Budaya (Yogyakarta) pimpinan Mottinggo Boesje.
Pada hari-hari terakhirnya, Almarhum aktif sebagai juri mengarang dan sesekali berbicara dalam pelatihan menulis, juga aktif sebagai Pengurus Harian Aksara -- sebuah organisasi para sastrawan di Jakarta – bersama antara lain Hamsad Rangkuti, Titie Said, Titiek WS, K. Usman. Almarhum juga masih menulis cerita pendek, antara lain dimuat dalam kumpulan cerpen Bulan Sepi di Belahan Bumi terbitan Yayasan Bhakti Sarinah, Jakarta, dan menulis biografi Amelia Yani, putri Almarhum Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. Bersama Titiek WS dan Korrie Layun Rampan, Almarhum menyusun buku Profil Perempuan: Pengarang, Penerbit, Peneliti di Indonsia, serta menjadi editor buku Cita Rasa Indonesia: Variasi dalam Selera.
Menurut cerpenis Hamsad Rangkuti, yang bersama pengurus Aksara lainnya (Titiek WS dan K. Usman) sempat menengok sehari sebelum Almarhum meninggal dunia, dalam menulis cerpen Elanda selalu berusaha menciptakan suspense pada ending-nya seperi gaya sastrawan Amerika, Allan Poe.
Catatan: Almarhum Matheus Elanda Rosi Ds bukanlah Elanda Rosi Rs, wartawan Berita Minggu (Jakarta), penulis cerita Betawi, yang meninggal dunia pada 1960-an di Jakarta.
Budiman S. Hartoyo
Monday, July 24, 2006
PROFIL BUDIMAN S. HARTOYO
BUDIMAN S. HARTOYO dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit (mantan) wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO yang sampai berusia 67 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah berita mingguan TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebut dan memanggilnya -- praktis selama hampir seperempat abad telah menghabiskan usianya di TEMPO. Dua kali menunaikan ibadah haji, yang pertama pada 1990, sekalian meliput ibadah haji Presiden (ketika itu) Soeharto sekeluarga – yang diturunkan untuk cover story di TEMPO, sebagai laporan paling lengkap dibanding semua laporan media massa terbitan Indonesia saat itu.
Ia mulai bekerja di majalah mingguan yang didirikan oleh penyair Goenawan Mohamad dkk itu sejak 1972 (setahun setelah pertama kali TEMPO terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995 oleh Menteri Penerangan (ketika itu) Harmoko – yang mengaku sebagai “wartawan sejati” -- atas perintah Presiden (ketika itu) Soeharto.
Sebelumnya, di Solo, ia pernah bekerja di mingguan Surakarta (kemudian ganti nama Warta Minggu), mingguan Patria, dwipekan Genta, penulis lepas mingguan Adil (Solo), Masa Kini (Yogyakarta). Sejak 1966 bekerja sebagai redaktur RRI Surakarta dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI). Bersama sejumlah seniman Solo, ia merintis berdirinya Dewan Kesenian Surakarta yang diresmikan oleh Dr. Umar Kayam.
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia (tanpa menyebutkan nama dan identitasnya, karena dilarang oleh PWI, organisasi kaki tangan partai politik Golkar), majalah D&R (mula-mula bernama Detektif&Romantika, kemudian ganti nama Demokrasi & Reformasi), majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta. Dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah dwipekan alKisah.
Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998). Dalam Kongres Nasional I PWI-Reformasi di Bandungan, Salatiga, Jawa Tengah, 22-24 Maret 2000 ia terpilih sebagai ketua umum pertama. Dalam Kongres Luar Biasa di Yogyakarta pada 2005, organisasi wartawan itu berubah nama menjadi Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Dua featurenya, The Ballads of Aryanti Sitepu dan Empat Hari Menyusup di “Sarang Teroris” yang dimuat di Jurnal Pantau, dinilai sebagai feature investigasi yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair. Selain sebagai wartawan – yang berusaha profesional, dan sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair.
Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972) sudah tiga kali dicetak ulang. Ia juga sempat melakukan re-writing buku otobiografi pengusaha nasional Basyiruddin Rachman Motik, dan mengedit otobiografi (mantan) Dubes RI untuk Manila, Marsekal Madya (Purn) Sri Bimo Ariotedjo.
Sampai tahun 2006 ia masih menulis, termasuk menulis puisi. Sebuah puisinya tentang tragedi tsunami yang melanda Aceh, dimuat dalam antologi puisi para penyair Indonesia, Mahaduka Aceh, dua puisi lagi (juga tentang Aceh) dimuat di majalah sastra terkenal, Horison (Jakarta), Januari 2006. Kini ia sedang mempersiapkan sebuah kumpulan puisi dan sebuah kumpulan karangan terserak. ***
Ia mulai bekerja di majalah mingguan yang didirikan oleh penyair Goenawan Mohamad dkk itu sejak 1972 (setahun setelah pertama kali TEMPO terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995 oleh Menteri Penerangan (ketika itu) Harmoko – yang mengaku sebagai “wartawan sejati” -- atas perintah Presiden (ketika itu) Soeharto.
Sebelumnya, di Solo, ia pernah bekerja di mingguan Surakarta (kemudian ganti nama Warta Minggu), mingguan Patria, dwipekan Genta, penulis lepas mingguan Adil (Solo), Masa Kini (Yogyakarta). Sejak 1966 bekerja sebagai redaktur RRI Surakarta dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI). Bersama sejumlah seniman Solo, ia merintis berdirinya Dewan Kesenian Surakarta yang diresmikan oleh Dr. Umar Kayam.
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia (tanpa menyebutkan nama dan identitasnya, karena dilarang oleh PWI, organisasi kaki tangan partai politik Golkar), majalah D&R (mula-mula bernama Detektif&Romantika, kemudian ganti nama Demokrasi & Reformasi), majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta. Dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah dwipekan alKisah.
Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998). Dalam Kongres Nasional I PWI-Reformasi di Bandungan, Salatiga, Jawa Tengah, 22-24 Maret 2000 ia terpilih sebagai ketua umum pertama. Dalam Kongres Luar Biasa di Yogyakarta pada 2005, organisasi wartawan itu berubah nama menjadi Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Dua featurenya, The Ballads of Aryanti Sitepu dan Empat Hari Menyusup di “Sarang Teroris” yang dimuat di Jurnal Pantau, dinilai sebagai feature investigasi yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair. Selain sebagai wartawan – yang berusaha profesional, dan sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair.
Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972) sudah tiga kali dicetak ulang. Ia juga sempat melakukan re-writing buku otobiografi pengusaha nasional Basyiruddin Rachman Motik, dan mengedit otobiografi (mantan) Dubes RI untuk Manila, Marsekal Madya (Purn) Sri Bimo Ariotedjo.
Sampai tahun 2006 ia masih menulis, termasuk menulis puisi. Sebuah puisinya tentang tragedi tsunami yang melanda Aceh, dimuat dalam antologi puisi para penyair Indonesia, Mahaduka Aceh, dua puisi lagi (juga tentang Aceh) dimuat di majalah sastra terkenal, Horison (Jakarta), Januari 2006. Kini ia sedang mempersiapkan sebuah kumpulan puisi dan sebuah kumpulan karangan terserak. ***
Subscribe to:
Posts (Atom)