Wednesday, July 26, 2006

LAPORAN SAMPAH, LAPORAN BASAH; LAPORAN KERING, LAPORAN BERDAGING

/Budiman S. Hartoyo *)

SETIAP akhir pekan, para wartawan TEMPO dilanda stress. Bahan berjibun, deadline pun mengancam di pucuk ubun-ubun. Nasi dan lauk pauk beraneka selera untuk makan malam yang terhidang di pinggir ruang redaksi, dan dingin AC yang menggigit, tak mampu mengusir rasa gelisah. Kantuk adalah musuh nomor satu, begadang bukan lagi kebiasaan langka. Setiap akhir pekan, sebagian besar wartawan menginap di kantor, melemparkan tubuh barang sejenak di kolong meja. Begitu yang terekam dalam kenangan saya seperempat abad silam.

Jangan ganggu Fikri Jufri. Ia tengah mengedit naskah, sebuah laporan ekonomi tentang skandal korupsi di perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Tubuhnya yang tambun bisa terguncang, setiap kali ia jengkel membaca laporan wartawan yang tak layak. “Setan! Ini laporan apa? Brengsek! Laporan sampah! Bull shit!” teriaknya menyumpah-nyumpah sembari bangkit dari kursi menuju toilet, melepas hajat kecil. Jam dinding yang bulat menunjuk angka 02:25 dinihari. Tegang! Tapi ah, peduli amat! Setiap orang toh sibuk dengan urusan masing-masing.

Jika ia gusar, naskah di tangan kanannya bisa dibanting. Atau sekedar dikibas-kibaskannya ke bibir meja. Dan sambil terus ngedumel, ia ngeloyor. “Hhh, hhh, hhh! Sialan!” ia bersungut-sungut. Hidung mancungnya kembang-kempis. Kepalanya mendongak sambil matanya yang berkacamata minus melirik sinis ke kiri-kanan. Tapi, tak selamanya redaktur senior itu mengumbar sumpah serapah. Ia justru lebih banyak bercanda sambil sesekali melontarkan joke diseling cas-cis-cus bahasa Inggeris. Jika hatinya lagi enak, nah, suasana kerja pun terasa ringan. Orang tergelak setiap kali ia ngeledek seorang kawan dengan jenaka.

Hei, Bung! Ha, Emir David, how are you?” suaranya memecah kebekuan menyapa Amir Daud, redaktur senior yang lain. Lalu, sambil menghampiri meja saya dia bilang, “Nah, ini lho nyang namenye laporan basah, bedaging. Ndak kering. Gampang kite ngejaitnye.” Sekilas tercium aroma bir meruap dari mulutnya. Esoknya, pada hari kedua deadline, hidungnya yang besar dan mancung itu masih saja mengancam wartawan yang laporannya kering tak berdaging. Tapi, orang-orang sudah melupakannya. Terutama setelah Susanto Pudjomartono, dengan gaya Jawa dan candanya, membujuknya.

Laporan sampah, laporan basah, laporan kering, laporan berdaging. Para wartawan yang pernah “hidup sekandang” dengan FJ ingat betul istilah-istilah khas itu keluar dari mulutnya. FJ adalah inisial untuk Fikri Jufri, sebagaimana GM untuk Goenawan Mohamad, SP untuk Susanto Pudjomartono, atau Bambu untuk Bambang Bujono – yang sekitar seperempat abad silam disosialisasikan oleh Amir Daud alias AD – yang oleh FJ kadang diledek sebagai Emir David. Memang, hanya laporan basah atau berdaging yang mampu mempertahankan trade mark majalah TEMPO, sehingga “enak dibaca dan perlu.”

Saya tak tahu persis kapan GM menciptakan slogan yang singkat, padat, pas, dan kena seperti “enak dibaca dan perlu.” Juga sejumlah slogan untuk pemasaran, seperti Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan bersayap lainnya untuk menggambarkan rubrik-rubrik TEMPO: “nasional tapi bukan politik; ilmu tapi bukan teknologi; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran; agama tapi bukan khotbah.” Yang paling populer: Tak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu – yang dengan sangat tepat mengungkapkan gaya laporan TEMPO yang khas.

“Enak dibaca”, karena laporan ditulis secara populer, menggambarkan suasana atau profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara bertutur, naratif, yang menurut FJ harus “dijahit secara cerdas” oleh redaktur; dan berdasarkan “belanjaan” yang didapat reporter di lapangan. “Dan perlu”, karena setiap usulan berita terlebih dulu harus diseleksi, didiskusikan dalam rapat, hingga “layak TEMPO”. Sejak awal, ketika pertama kali TEMPO terbit pada 1971, salah satu teks iklan yang ditulis oleh GM menggambarkan karakter laporan TEMPO, yaitu ramuan antara “ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra”.

Sejak itulah pers Indonesia mengenal apa yang disebut “jurnalisme sastra”, atau yang oleh Jurnal Pantau ditabalkan sebagai “jurnalisme sastrawi”. Dua penamaan yang menurut saya kurang tepat, dibanding misalnya, “jurnalisme literair”. Sebagai wartawan – yang sebagian terbesar “masa berguru”-nya di TEMPO, yaitu sebagai reporter (1972-1995) – selama itu pula saya belum pernah membaca Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946). Selama di TEMPO, saya langsung mempraktikkan jurnalisme literair tanpa tengok kiri-kanan.

Sesunguhnya TEMPO sangat beruntung – atau memang dirancang oleh GM, yang “terpanggil” oleh sejarah sebagai pendiri TEMPO dan pelopor “jurnalisme baru” di Indonesia – karena di sana ada sejumlah sastrawan: Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Isma Sawitri, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Martin Aleida, si kembar Noorca Marendra dan Yudhistira Massardi, dan belakangan Amarzan Lubis. Tapi, juga sangat terbantu berkat kerja keras para reporter andal seperti Fikri Jufri, Susanto Pudjomartono, Toeti Kakiailatoe, fotografer hebat Ed Zoelverdi, editor bahasa Slamet Djabarudi, dan jangan lupa guru para wartawan: Amir Daud.

Anehnya, selama sembilan tahun TEMPO tak pernah menggelar in-house training bagi para wartawannya. Maka, ketika TEMPO menerbitkan buku panduan buat para redaktur, Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979), dalam kata pengantarnya GM mengakui, bahwa para wartawan TEMPO generasi pertama “tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali.” Bahkan ia berterus-terang, “Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya”.

Dan “prosa sebagaimana mestinya” itu ialah prosa yang “tidak ruwet”. Karena itu, tulis GM, perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi (teknik) penulisan di TEMPO. GM, yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair, juga mengaku, “Prosa yang baik ternyata tidak mudah, dan selalu perlu diperbaiki terus-menerus. Para penulis, yang paling berpengalaman pun, selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya”. Dari pengakuan GM itulah tradisi jurnalisme literair dimulai di Indonesia – setidaknya menurut saya. Pada saat itu saya memastikan bahwa GM sudah mengikuti perkembangan jurnalisme literair di Amerika.

Perlu dicatat, bahwa sekitar 10 tahun sebelum GM untuk pertama kalinya menerbitkan EKSPRES, kemudian TEMPO, pada 1971/1972, jurnalisme literair baru mulai menggeliat di Amerika. Dua nama yang pertama kali boleh disebut, misalnya, Gay Talese dan Tom Wolfe -- belakangan muncul sejumlah penulis lain, termasuk yang paling saya gemari, John Hersey. Tapi, GM tak pernah bercerita kepada kami, setidaknya kepada saya, mengenai gaya menulis yang “basah dan berdaging” -- sebagaimana yang dimuat di Esquire, Atlantic, Harper’s, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, The New Yorker.

Yang pasti, sejak semula para redaktur TEMPO sudah menyajikan tulisan yang “basah dan berdaging”. Meski begitu, baru pada 1979 mereka dikasih tahu bagaimana menulis yang baik, yang “layak TEMPO”, dalam sebuah buku kecil, Misalkan Anda Wartawan TEMPO – yang 17 tahun kemudian berganti judul menjadi Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Nah, bagi para wartawan yang mau belajar menulis dengan gaya jurnalisme literair, wajib hukumnya membaca dua buku: Seandainya Saya Wartawan TEMPO saduran (alm) Slamet Djabarudi dari buku Feature Writing for the Newspapers, dan Jurnalisme Sastra karya Septiawan Santana Kurnia (Gramedia, Jakarta, 2002).

Oleh karena itu, jika kini orang bilang jurnalisme literair merupakan trend baru dalam pers Indonesia, saya tidak setuju. Bahkan saya berani bilang: Gay Talese, Tom Wolf, dan konco-konconya, sesungguhnya tak terlalu tepat jika disebut sebagai pelopor jurnalisme literair. Sebab, 10 tahun sebelumnya, pada 1953, tiga serangkai wartawan pendekar, yaitu S. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, sudah menulis jurnalisme literair dan dibukukan dalam sebuah buku Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik.

Bahkan jauh sebelumnya, 1926-1927, sang perintis pers nasional Adi Negoro, sudah menulis laporan dengan gaya jurnalisme literair di majalah Pandji Poestaka, yang kemudian diterbitkan oleh Balai Poestaka (1939, tiga jilid), tapi baru dikoleksi oleh HB Jassin pada 1945. Ketika meliput Pesantren Ngruki untuk Jurnal Pantau (Mei 2000), saya menemukan sebuah buku di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari, Solo. Buku dalam bahasa dan huruf Jawa itu diterbitkan oleh Balai Poestaka (1921), yang ketika itu masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur.

Buku itu berjudul Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana (Perjalanan KPA Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia), lebih dari 600 halaman. Semula saya menduga, buku itu merupakan laporan perjalanan jurnalistik kedua setelah laporan RM Sosrokartono (yang punya nama samaran “Mandor Kloengsoe”) untuk koran New York Time. Ketika itu, kakak kandung RA Kartini tersebut meliput berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (1914-1918). Tapi, karena ternyata Sosrokartono kemudian lebih menekuni dunia kebatinan ketimbang jusnalisme, ia pun tak menulis laporan perjalanan jurnalistik. Lain halnya dengan Pangeran Koesoemadiningrat, meskipun ia bukan jurnalis, catatan perjalanannya niscaya merupakan laporan perjalanan (keliling dunia!), yang pertama kali disusun oleh orang Indonesia.

Laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra seperti itulah yang saya maksud dengan jurnalisme literair. Dan sebagai contoh, tak usahlah jauh-jauh mencari sampai ke Amerika. Jurnalisme literair karya wartawan Indonesia cukup banyak. Bahkan tak usah menengok ke belakang terlalu jauh sampai ke masa Perang Dunia I. Karya jurnalisme literair para wartawan Indonesia di tahun-tahun mutakhir juga cukup banyak. Misalnya, Dari Gunung ke Gunung (1950-an) oleh A. Damhoeri, laporan tentang suka duka para pemimpin dan pendukung PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat.

Mau yang lain? Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tanri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Ibu Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan KH; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang kesenian tradisional di berbagai daerah; Selamat Tinggal Hindia (1993) oleh Pans Schomper, otobiografi anak Belanda di sekitar runtuhnya Hindia Belanda. Juga karya-karya Rosihan Anwar seperti Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi (1977); Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-I (1979); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986).

Buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Kurnia bagus sebagai referensi, dan boleh dibilang bisa menjadi pelengkap bagi para pembaca Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Namun, buku yang dikemas apik oleh Penerbit Gramedia itu bukan tanpa cacat. Selain melupakan jejak sejarah jurnalisme literair di Indonesia, Septiawan juga keliru ketika menyebutkan nama penulis puisi tentang Nyi Eroh, seorang petani di Pasirkadu, Ciamis, Jawa Barat, yang berhasil membuat saluran air dengan memangkas bukit, dan akhirnya mendapat anugerah Kalpataru (TEMPO, 16 Juli 1988). Menurut Septiawan, puisi tersebut adalah “laporan Isma Sawitri” (halm.180), padahal itu adalah puisi saya berdasarkan laporan wartawan TEMPO Biro Bandung, Aji Abdul Gofar.

Kekurangan lain buku susunan dosen Unisba Bandung itu ialah hampir tak adanya contoh mengenai jurnalisme literarir dalam pers di Indonesia masa kini. Padahal beberapa tulisan di Jurnal Pantau bisa dijadikan contoh. Begitu pula beberapa laporan TEMPO, terutama terbitan lama. Meski tanpa deskripsi yang penuh warna atau basah, tulisan GM tentang meninggalnya Jack Lesmana (TEMPO, 23 Juli 1988), sangat bagus. Begitu pula tulisan tentang Titiek Puspa (TEMPO, 12 Nopember 1977). GM bahkan merekomendasi resensi lukisan karya Jim Supangkat sebagai tulisan yang layak dicontoh, dan oleh karena itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja redaksi.

Bacalah pula misalnya beberapa tulisan dalam rubrik Tamu Kita di majalah TEMPO. Misalnya, tulisan mengenai Goesti Poetri Mangkoenagoro VIII (TEMPO, 17 Mei 1975): Di Pracimosono, tiada suara pagi itu. Hening seperti biasa. Dari ruang khusus untuk menerima tamu pribadi itu hanya terdengar cericit burung. Lewat taman yang terpelihara apik di tengah balairung, cahaya matahari yang lunak menimpa sepertiga bagian permadani tebal yang terhampar di lantai berbunga....

Salah satu ciri jurnalisme literair ialah reportase yang deskriptif, penuturan yang naratif, penggambaran profil yang lengkap dan detil. Pendeknya, kemampuan reporter melukiskan suasana di sekitar tokoh atau suatu kejadian sebagai pendukung tulisan. Tapi, deskripsi tidak selamanya harus berupa kalimat, apalagi yang berpanjang-panjang. Seorang penulis yang baik ialah yang menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.

Masih sekitar tulisan tentang Goesti Poetri Mangkoenagoro di rubrik Tamu Kita, yang menarik ialah lead-nya yang dimulai hanya dengan satu kata: Pagi. Lalu diikuti kalimat pendek yang hanya terdiri dari tiga kata saja: Matahari baru sepenggalah. Perhatikan, betapa penulisnya berusaha melukiskan suasana ketika ia sedang melakukan wawancara. Dan cukup dengan satu kata: Pagi. Perhatikan pula betapa ia – sebagaimana generasi lama TEMPO yang lain – berusaha menggunakan ungkapan lama yang ketika itu sudah sangat jarang digunakan: sepenggalah.

TEMPO memang berjasa menghidupkan kembali kosakata lama. GM mempopulerkan ujar, Bur Rasuanto memperkenalkan kosakata dari kampung halamannya, Palembang, santai. Putu Wijaya gemar menggunakan kata-kata yang sangat ekspresif, menggebrak, menggojlok, menonjok, menggebu; sedangkan Ed Zoelverdi, fotografer yang suka menulis dengan gaya yang sangat lucu itu, gemar menggunakan kosakata jenaka seperti kudu, melejit, nungging, dan ending sebuah cerita yang juga terdiri dari satu kata: Begitu. Kecintaan kepada bahasa, kegemaran berinovasi, dan kemampuan menggunakannya secara kreatif imajinatif, merupakan salah satu kekuatan jurnalisme literair.

Celakanya, kini sebagian terbesar wartawan, secara tak sadar, telah kejangkitan virus yang disebarkan oleh sebuah harian besar yang terbit di Jakarta. Tanpa merasa berdosa, dengan enteng mereka menggunakan kosakata yang salah: jelasnya, tandasnya, terangnya, akunya, sebagai pengganti katanya atau ujarnya. Barangkali mereka ingin membuat variasi. Padahal, orang Inggris saja hanya menggunakan says, said, tell, told – dan sama sekali berkeinginan membuat variasi.

Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas terjun melakukan reportase adalah goblok.***


*) Budiman S. Hartoyo, dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO, yang sampai berusia 67 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebutnya -- praktis selama hampir seperempat abad bekerja di TEMPO, sejak 1972 (setahun setelah pertama kali terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995. Sebelumnya ia bekerja di RRI Surakarta, dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI).

Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia, majalah D&R, majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta, dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah alKisah. Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998).

Selain sebagai wartawan profesional -- yang sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972), sudah tiga kali dicetak ulang.***

Tuesday, July 25, 2006

WILLIAM NESSEN

/ Budiman S. Hartoyo

BERSAMA para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang mudik ke Serambi Makkah pekan lalu, seorang wartawan Amerika Serikat yang tiga tahun lalu dideportasi oleh pemerintah Republik Indonesia, muncul kembali. Dan kali ini dia diusir kembali. Dia tiada lain adalah reporter yang tak kenal menyerah dan tak kenal lelah: William Nessen.

Orang mungkin melihatnya sebagai “musuh” yang misterius dan berbahaya. Betapa tidak! Hampir semua pers Indonesia (ketika itu) dengan enteng melaporkan, “akhirnya ia menyerahkan diri kepada TNI”. Tapi, saya menatapnya dengan penuh penasaran, gemas, dan kagum. Janganlah heran kalau saya, yang kini sudah berusia 68 tahun, mempersonifikasikan diri seolah bagaikan dia, si anak muda yang pastilah umurnya kurang dari separuh usia saya.

Selasa, 24 Juni tiga tahun lalu, sekitar pukul 10:29 WIB, ia muncul di Desa Paya Dua, Kecamatan Nissam, Lhokseumawe, Aceh Utara, dievakuasi oleh tim Komando Operasi Daerah Militer Nangroe Aceh Darussalam. Dua jenderal menjemputnya: Brigjen Bambang Dharmono (ketika itu) Panglima Koops Daerah Militer NAD, dan Mayjen Syafrie Sjamsoeddin (ketika itu) Kapuspen TNI. Perlakuan istimewa itu tentulah gara-gara tekanan pemerintah AS juga.

Tiga tahun lalu itu ia tampil sederhana seperti halnya seorang reporter lapangan sejati. Mengenakan kemeja berkotak-kotak kecil dilapis jaket berkantung banyak, lengkap dengan dua tas untuk menyimpan kamera dan perlengkapan sehari-hari. Parasnya kurus, wajahnya tirus dan pucat, mimiknya gamang. Kalaupun ia cengengesan, pastilah itu bukan tawa bahagia atau keramah-tamahan, melainkan sedikit upaya untuk menyembunyikan rasa cemas.

Willam Nessen adalah kontributor berbagai media cetak dan elektronik di Amerika Serikat, Kanada dan Australia, yang melakukan investigative reporting di jantung pertahanan GAM di belantara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sesuai kesepakatan, ketika itu TNI memang menjamin tak akan menembak dan menangkapnya; cuma “menjemput, mengevakuasi, memeriksa, dan mengamankan wartawan sebagai warga sipil”.

Bill (panggilan William Nessen sehari-hari) dituduh melanggar peraturan keimigrasian karena memasuki wilayah RI tanpa izin. Segera setelah itu ia ditahan selama 20 hari sembari menunggu proses pengadilan. Merasa cukup hanya mengutip sumber-sumber militer, ketika itu tak satu pun pers Indonesia menulis mengenai posisi dan integritas Bill sebagai wartawan. Maklum, amatlah mustahil mewawancarai Bill yang dijaga sangat ketat oleh TNI itu.

Saya menduga, ketika itu ia akan divonis salah dan dihukum, kecuali pemerintah dan TNI tunduk pada tekanan AS. Tapi, saya yakin semua hasil riset, reportase, wawancara, dan foto-foto karya jurnalistiknya sudah lebih dulu dilayangkannya ke semua media yang dibantunya lewat internet dengan jaringan satelit. Setelah semuanya beres barulah ia, seperti laporan pers Indonesia, “menyerahkan diri.” Ya, pers Indonesia menuliskan “menyerahkan diri”, padahal ia bukanlah musuh TNI. Ia adalah wartawan.

Sebelum meliput Aceh, Bill sudah malang-melintang di Timor-Timur dan Papua. Juga meliput euphoria reformasi menjelang dan ketika Soeharto dulu lengser keprabon. Ia pergi ke Amerika Latin, mungkin juga ke Afrika dan belahan dunia yang lain. Ia wartawan petualang yang gelisah, yang memiliki the nose of news, dan siap menghadapi tantangan di lapangan. Ia bukanlah wartawan press release, jurnalis talking news, apalagi “wartawan amplop” alias bodrex!

Di Indonesia , kebebasan pers sudah dalam genggaman tangan publik. Tapi, konon sudah “kebablasan”. Sebagaimana saya selalu mempertanyakan apa kriteria dan parameter pers yang dituding sebagai “kebablasan,” saya juga ingin menggugat: adakah wartawan Indonesia yang berani terjun ke lapangan menghadapi bahaya – demi sebuah karya investigative reporting? Di manakah gerangan profesionalisme dan integritas yang selalu diajarkan dalam pelatihan jurnalistik?

Namun, bagaimana mungkin melakukan peliputan investigasi yang memadai, jika upaya jurnalisme yang instant saja telah mengakibatkan tiga wartawan Indonesia diusir atau dipecat – sebagaimana pengalaman Tarmizi Harva (Reuters), Hendrata Yudha (MetroTV) dan Dandhy Dwi Laksono (SCTV) tiga tahun lalu?

Tiga tahun lalu melakukan investigasi yang profesional di NAD memang sulit, apalagi setelah pertengahan Juni tiga tahun lalu itu Presiden (ketika itu) Megawati mengumumkan maklumat yang mengatur peliputan oleh pers lokal dan asing. Terimakasih kepada Dewan Pers yang pada saat yang bersamaan (ketika itu) menyiarkan saran dan imbauan kepada pemerintah dan TNI, bagaimana seharusnya memperlakukan wartawan yang meliput di wilayah konflik seperti NAD.

Sejauh ini rasa-rasanya hampir belum ada laporan investigasi wartawan Indonesia yang cukup memadai mengenai konflik di Kalimantan, Maluku, Poso, Papua, Aceh. Sebagai reporter sejati – yang tak betah duduk di belakang meja di ruang ber-AC dengan dasi terikat di leher – Bill sudah menyusup duluan sebelum larangan meliput di wilayah konflik menjeratnya. Dan agaknya ia pun siap menerbitkan buku yang pasti bakal laris.

Bahwa Bill dituduh melanggar peraturan keimigrasian atau maklumat pemerintah mengenai aturan main bagi jurnalis yang meliput di wilayah konflik, itu soal lain. Selain hal itu memang sudah merupakan resiko profesi, namun yang jelas bagi reporter yang gandrung akan laporan investigasi seperti Bill, tentulah sungguh pantang melewati jalur resmi. Sebab, lewat jalur resmi sangatlah mustahil ia akan berhasil memperoleh informasi atau fakta yang exclusive.

Menahan dan menginterogasi Bill tak lebih bagaikan melempar sebatang boomerang atau bak “menepuk air di dulang” -- yang tentulah pada gilirannya kelak bakal kembali menampar atau memercik wajah kita sendiri. Karena itu, justru demi martabat kita, sangatlah bijak jika tiga tahun lalu pemerintah mengikuti saran ketua Dewan Pers (ketika itu) Atmakusumah Astraatmadja, yang dilontarkan tiga tahun lalu: Bebaskan Bill, biarkan dia pulang kampung.

Tapi sungguh sayang, kini tiga tahun kemudian, sikap pemerintah masih tetap sami mawon: mengusir sang jurnalis dari bumi yang konon gandrung akan kebebasan pers itu.....

*) Reporter TEMPO (1971-1994).

SELAMAT JALAN SASTRAWAN

Obituari Elanda Rosi Ds
(21 November 1937 - 27 April 2006)

TELAH meninggal dunia dengan tenang dan wajah tersenyum, sastrawan dan wartawan M. Elanda Rosi Ds, pada hari Kamis 27 April 2006 jam 03:30 WIB dinihari di RS Firdaus, Kompleks Bea Cukai Sukapura, Cakung, Jakarta Utara, dalam usia 69 tahun. Almarhum yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 21 November 1937, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, dua orang di antaranya (ketiga dan keempat) telah mendahului ayahandanya beberapa tahun lalu.
Jenazah Almarhum telah dimakamkan di TPU Tanah Kusir pada hari Kamis 27 April 2006, berangkat dari rumah duka Jalan Kakaktua Nomor 12, Kaveling Walikota Jakarta Utara, Cakung, Jakarta Utara, pada jam 13:00 WIB. Ia dikenal sebagai sastrawan (penyair dan cerpenis), dan belakangan lebih aktif sebagai wartawan. Salah seorang sastrawan dunia yang dikaguminya adalah sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849).
Sekitar tahun 1950-an, Almarhum aktif dan sangat berjasa menumbuhkan apresiasi sastra di kalangan anak-anak remaja di Solo dengan mendirikan Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS) bersama beberapa sastrawan Solo, antara lain Mansur Samin, B. Soetiman, Armaya. Beberapa remaja yang kemudian tumbuh dari kancah HPSS, antara lain Sapardi Djoko Damono, Arifin C. Noer, Slamet Sukirnanto, Budiman S. Hartoyo, Salim Said, Sutarno Priyomarsono, Kastoyo Ramelan, Mochtar Hadi.
Hampir setiap hari mereka berkumpul, berdiskusi, bahkan menginap di rumah Almarhum di Jalan Setabelan III/2, Solo. Para sastrawan dari Jakarta dan daerah lain seperti Wiratmo Soekito, DS Moeljanto, Gerson Poyk (Jakarta), WS Rendra, Kirdjomuljo, Mottinggo Boesje, L. Koessoediarto, Kuslan Budiman (Yogyakarta), Hoedi Soejanto (Salatiga) acap pula berkunjung ke rumahnya. Di rumah itu pulalah pada 1963 gerakan untuk mendukung dan mengorganisasikan penandatanganan Manifes Kebudayaan (untuk wilayah Jawa Tengah) dipusatkan.
Kala itu rumah Almarhum juga sempat menjadi alamat sekretariat Panitia Persiapan Konperensi Karyawan Pengarang Indonesia (koordinator Jawa Tengah) yang kemudian diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret 1963. Para seniman sangat berterima kasih (disertai permohonan mohon maaf sebesar-besarnya) kepada Almarhum, kedua orangtua Almarhum, saudara-saudara Almarhum, dan keluarga besar yang ditinggalkan oleh Almarhum, karena hampir setiap hari mereka tentu sangat terganggu oleh bisingnya diskusi para seniman di teras rumah Almarhum.
Bisa dimaklum, sebab rumah tersebut merupakan satu dari lima pusat kegiatan sastra di Solo kala itu, di samping rumah Mansur Samin di Jalan Jenderal Urip Sumohardjo 21, Mesen, dekat Pasar Gede, Solo; SMP MIS (Modern Islamic School); RRI Surakarta dan gedung HBS (Himpunan Budaya Surakarta) di Alun-alun Utara, Solo. Satu hal yang tak mungkin terlupakan oleh para seniman Solo kala itu – juga pasti oleh para wartawan yang mengenalnya di Jakarta – sikap Almarhum yang low profile, akrab dan ramah, kooperatif namun teguh dalam prinsip, sangat teliti dalam mengedit naskah, tidak gampang marah, piawai dalam berdiskusi (baik mengenai masalah sastra budaya, bahkan perkembangan politik mutakhir), gemar menolong, dan mentraktir kawan-kawan dekatnya.
Di antara kegiatan yang digelar oleh HPSS yang dimotori oleh Almarhum ketika itu, antara lain, latihan deklamasi (poetry reading) di bawah asuhan sastrawan Mansur Samin setiap Minggu sore di SMP MIS; siaran Sajak dan Pembahasannya, sandiwara radio Kumandang Tjita serta Kronik Kebudayaan di RRI Surakarta. HPSS juga sempat menerbitkan majalah Puisi, namun majalah yang distensil sangat sederhana itu hanya terbit sekali. Semua itu berkat pemikiran dan aktivitas Almarhum.
Setiap 27 April, HPSS menyelenggarakan Hari Chairil Anwar disertai lomba menulis puisi dan deklamasi. Dan sesekali menggelar pementasan drama, antara lain, Pintu Tertutup terjemahan Asrul Sani dari karya Jean Paul Sartre; Orang Asing terjemahan Sitor Situmorang dari karya William Saroyan dengan sutradara Mansur Samin; Pinangan terjemahan Sumantri Sastrosuwondho dari karya Anton P. Chekov dengan sutradara Arifin C. Noer. Sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta, Almarhum sempat menjadi redaktur budaya tabloid mingguan Pos Minggu yang terbit di Semarang pimpinan kakak kandungnya, Moersito Ds. Sekitar awal 1965, Almarhum mendapat panggilan untuk memimpin majalah Selecta di Jakarta. Dan sejak itu Almarhum lebih banyak aktif sebagai wartawan, bahkan antara lain sempat memimpin beberapa majalah seperti Dewi dan Sarinah.
Sebelum dikenal sebagai sastrawan, di masa remaja Almarhum menulis puisi di beberapa rubrik remaja seperti Abadi Minggu Junior (dari Harian Abadi, Jakarta). Dua nama di antara para penulis remaja yang ketika itu terkenal ialah Elanda Rosi Ds dan Tutty Alawiyah AS. Setelah itu namanya mencuat di kalangan sastrawan muda (seperti Darmanto Jt, Lastri Fardani dan M. Dawam Rahardjo) yang menulis di rubrik Remaja Nasional dari Harian Nasional yang terbit di Yogyakarta. Namanya mulai dikenal sebagai sastrawan ketika beberapa puisi dan cerita pendeknya dimuat di majalah Konfrontasi (Jakarta) pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Budaya (Yogyakarta) pimpinan Mottinggo Boesje.
Pada hari-hari terakhirnya, Almarhum aktif sebagai juri mengarang dan sesekali berbicara dalam pelatihan menulis, juga aktif sebagai Pengurus Harian Aksara -- sebuah organisasi para sastrawan di Jakarta – bersama antara lain Hamsad Rangkuti, Titie Said, Titiek WS, K. Usman. Almarhum juga masih menulis cerita pendek, antara lain dimuat dalam kumpulan cerpen Bulan Sepi di Belahan Bumi terbitan Yayasan Bhakti Sarinah, Jakarta, dan menulis biografi Amelia Yani, putri Almarhum Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. Bersama Titiek WS dan Korrie Layun Rampan, Almarhum menyusun buku Profil Perempuan: Pengarang, Penerbit, Peneliti di Indonsia, serta menjadi editor buku Cita Rasa Indonesia: Variasi dalam Selera.
Menurut cerpenis Hamsad Rangkuti, yang bersama pengurus Aksara lainnya (Titiek WS dan K. Usman) sempat menengok sehari sebelum Almarhum meninggal dunia, dalam menulis cerpen Elanda selalu berusaha menciptakan suspense pada ending-nya seperi gaya sastrawan Amerika, Allan Poe.
Catatan: Almarhum Matheus Elanda Rosi Ds bukanlah Elanda Rosi Rs, wartawan Berita Minggu (Jakarta), penulis cerita Betawi, yang meninggal dunia pada 1960-an di Jakarta.

Budiman S. Hartoyo

Monday, July 24, 2006

PROFIL BUDIMAN S. HARTOYO

BUDIMAN S. HARTOYO dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit (mantan) wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO yang sampai berusia 67 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah berita mingguan TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebut dan memanggilnya -- praktis selama hampir seperempat abad telah menghabiskan usianya di TEMPO. Dua kali menunaikan ibadah haji, yang pertama pada 1990, sekalian meliput ibadah haji Presiden (ketika itu) Soeharto sekeluarga – yang diturunkan untuk cover story di TEMPO, sebagai laporan paling lengkap dibanding semua laporan media massa terbitan Indonesia saat itu.

Ia mulai bekerja di majalah mingguan yang didirikan oleh penyair Goenawan Mohamad dkk itu sejak 1972 (setahun setelah pertama kali TEMPO terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995 oleh Menteri Penerangan (ketika itu) Harmoko – yang mengaku sebagai “wartawan sejati” -- atas perintah Presiden (ketika itu) Soeharto.

Sebelumnya, di Solo, ia pernah bekerja di mingguan Surakarta (kemudian ganti nama Warta Minggu), mingguan Patria, dwipekan Genta, penulis lepas mingguan Adil (Solo), Masa Kini (Yogyakarta). Sejak 1966 bekerja sebagai redaktur RRI Surakarta dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI). Bersama sejumlah seniman Solo, ia merintis berdirinya Dewan Kesenian Surakarta yang diresmikan oleh Dr. Umar Kayam.

Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia (tanpa menyebutkan nama dan identitasnya, karena dilarang oleh PWI, organisasi kaki tangan partai politik Golkar), majalah D&R (mula-mula bernama Detektif&Romantika, kemudian ganti nama Demokrasi & Reformasi), majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta. Dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai Redaktur Eksekutif majalah dwipekan alKisah.

Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998). Dalam Kongres Nasional I PWI-Reformasi di Bandungan, Salatiga, Jawa Tengah, 22-24 Maret 2000 ia terpilih sebagai ketua umum pertama. Dalam Kongres Luar Biasa di Yogyakarta pada 2005, organisasi wartawan itu berubah nama menjadi Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).

Dua featurenya, The Ballads of Aryanti Sitepu dan Empat Hari Menyusup di “Sarang Teroris” yang dimuat di Jurnal Pantau, dinilai sebagai feature investigasi yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair. Selain sebagai wartawan – yang berusaha profesional, dan sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair.

Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Kumpulan puisinya, Sebelum Tidur (1972) sudah tiga kali dicetak ulang. Ia juga sempat melakukan re-writing buku otobiografi pengusaha nasional Basyiruddin Rachman Motik, dan mengedit otobiografi (mantan) Dubes RI untuk Manila, Marsekal Madya (Purn) Sri Bimo Ariotedjo.

Sampai tahun 2006 ia masih menulis, termasuk menulis puisi. Sebuah puisinya tentang tragedi tsunami yang melanda Aceh, dimuat dalam antologi puisi para penyair Indonesia, Mahaduka Aceh, dua puisi lagi (juga tentang Aceh) dimuat di majalah sastra terkenal, Horison (Jakarta), Januari 2006. Kini ia sedang mempersiapkan sebuah kumpulan puisi dan sebuah kumpulan karangan terserak. ***