Sunday, December 03, 2006

PERS BEBAS, KONFLIK SOSIAL, PENDIDIKAN POLITIK

Buruk muka, pers dibelah
[Taufiq Ismail]


/ Budiman S. Hartoyo


MARAKNYA penerbitan pers dewasa ini -- dan bersamaan dengan itu juga sering terjadinya konflik sosial -- rupanya membentuk asumsi di kalangan beberapa orang, seolah-olah sedikit banyak pers punya andil sebagai (salah satu) pemicu kerusuhan. Apalagi (sebagian) penerbitan, terutama tabloid, sering pula menurunkan berita utama dengan judul yang 'keras'. Maka, tanpa memahami kodrat pers, beberapa pejabat dan politisi serta-merta menuding pers 'memanas-manasi, mengipas-ngipas, membakar-bakar' situasi, hingga kerusuhan semakin merebak. Benarkah pers, sengaja atau tidak, membakar-bakar keadaan hingga benar-benar membakar massa grass root, yang karena gampang terbakar lantas disebut sebagai 'akar rumput kering' itu?

Sesungguhnyalah, peran pers pertama-tama ialah (sekedar) memberitakan fakta, 'memotret' situasi, untuk disampaikan kepada publik. Oleh karena itu, pers haruslah bersikap independen, menyampaikan fakta secara obyektif, jujur, adil, berimbang. Sejalan dengan itu, pers juga berperan untuk melakukan social control dan oleh karena itu harus independen, dan cukup bijak. Di samping itu, pers juga berperan mensosialisasikan gagasan untuk membantu mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Artinya, pers harus berpihak dan bertanggung-jawab kepada publik. Jika pers mengkhianati publik, dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakat pembaca.

Pers bebas, seperti yang kita nikmati sekarang, merupakan salah satu buah terpenting dari era reformasi (yang dipelopori mahasiswa), yang layak kita syukuri. Perlu dicatat, bahwa pers bebas di era reformasi sekarang sangat berbeda dengan pers bebas di era tahun 1950-an yang lazim disebut (secara kurang benar) sebagai 'zaman liberal'. Ketika itu, sebagian (besar) pers merupakan corong partai politik alias pers partisan, yang lebih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan publik, meskipun ada juga beberapa di antaranya yang independen. Ketika itu, pers ikut mengambil bagian dalam pertikaian politik antarpartai yang oleh Bung Karno disebut gontok-gontokan.

Wajah pers bebas ternyata cukup membikin keder sebagian kaum birokrat sebagai wakil kekuasaan negara. Dan anehnya, bahkan penyelenggara sebuah diskusi publik di Jakarta, beberapa waktu lalu juga khawatir kalau-kalau kebebasan pers saat ini, sebagaimana tertulis dalam acuan diskusi, "menimbulkan bayang-bayang yang mengancam proses pendidikan politik masyarakat ke arah yang tidak edukatif". Benarkah pers bebas saat ini membahayakan pendidikan politik, bahkan mungkin punya andil dalam memperkeruh keadaan hingga mendorong timbulnya konflik?

Seperti halnya masa kini, di tahun 1950-an juga merupakan era multipartai. Ketika itu perbedaan pendapat, bahkan juga konflik antarpartai, cukup tajam. Partai oposisi sering mampu menggoyang dan menjatuhkan kabinet (yang didominasi oleh partai yang berkuasa), hingga Bung Karno menjuluki zaman itu (secara salah kaprah) sebagai zaman 'demokrasi liberal'. Sejalan dengan itu pers, baik yang independen maupun yang berafiliasi kepada partai politik, ikut meramaikan konflik politik.

Menjelang tahun 1960-an, tepatnya memasuki zaman 'demokrasi terpimpin', yang lahir berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, dan sebagai jawaban Bung Karno terhadap 'demokrasi liberal', pers tak lagi bebas. Seperti halnya semua parpol dan ormas, ketika itu media massa diwajibkan menjadi 'alat revolusi', dan harus berpedoman kepada Manipol-Usdek, yaitu tafsir Pancasila ajaran 'Pemimpin Besar Revolusi' Bung Karno. Persis seperti P4 yang merupakan tafsir Pancasila ala Soeharto. Bung Karno menganjurkan agar semua kekuatan politik, termasuk media massa, saling jorjoran manipolis. Yang tidak manipolis digulung dan dituding sebagai 'musuh revolusi', 'reaksioner', 'kontra revolusi' -- seperti halnya stempel 'subversif' di zaman Orde Baru.

Di era Orde Baru di tahun 1970-an, pers yang mulai bangkit dari trauma 'demokrasi terpimpin' benar-benar ingin bebas. Hal itu, misalnya, tercermin dari upaya sejumlah tokoh pers, antara lain (almarhum) H. Mahbub Djunaedi, yang berhasil merumuskan UU Pokok Pers (1966). Dalam UU tersebut tercantum satu ayat yang sangat penting (''bagi pers nasional tidak dikenai breidel"), dan sebagai konsekwensinya dicantumkan pula satu ayat pendukungnya yang menyebutkan bahwa SIT (Surat Izin Terbit) hanya berlaku selama masa transisi. Yang dimaksud dengan masa transisi ialah sampai dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum 1971.

Anak Zaman
Celakanya, rezim Orde Baru telah mengkhianati UU yang telah dilahirkannya sendiri. Himbauan telepon, briefing dan peringatan kepada pemimpin redaksi, bahkan breidel tetap saja berlangsung. Bahkan SIT bukannya dicabut, tapi justru dilestarikan bahkan diperkuat sebagai lembaga SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) oleh mantan Menteri Penerangan Harmoko -- yang ironisnya tetap mengaku 'berjiwa wartawan' dan 'kerakyatan'. Di lain pihak, pers yang semula merupakan 'pers perjuangan' kemudian menjadi 'pers partisan' (kalau bisa disebut demikian), di era Orde Baru -- sejalan dengan pertumbuhan konglomerasi bidang ekonomi -- tumbuh menjadi 'pers industri'. Pers berusaha menggeliat menggapai kebebasan, tapi tetap saja terbentur pada ketentuan SIUPP.

Yang menarik, baik di era tahun 1950-an ('demokrasi liberal'), tahun 1960-an ('demokrasi terpimpin' alias Orde Lama), maupun di tahun 1970-1980-an (Orde Baru), hampir tidak ada konflik sosial secara horisontal dan spektakuler seperti sekarang. Tak ada konflik SARA (suku-agama-ras-antargolongan), tidak ada kerusuhan disertai pembakaran pusat-pusat perdagangan, tak ada ancaman bom di masyarakat. Apa yang disebut Bung Karno sebagai gontok-gontokan tak sampai berdampak secara luas. Hal lain yang juga menarik, di tahun 1950-an dan 1960-an hampir tak ada pejabat yang menuduh pers ikut 'memanas-manasi' atau 'memancing-mancing' situasi, seperti halnya di zaman Orde Baru dan di zaman transisi sekarang.

Kini, untuk kedua kalinya -- setelah berjarak hampir satu generasi -- kita kembali mengalami sistem multipartai. Dan buat kedua kalinya pula kita menikmati kebebasan pers. Bedanya, jika di zaman 'demokrasi liberal' (sebagian besar) pers cenderung partisan, sementara di zaman 'demokrasi terpimpin' dan di zaman Orde Baru pers kurang bebas karena represi kekuasaan, di era reformasi ini pers tampil (relatif) lebih independen, dan benar-benar bebas. Saat ini, tidak ada satu pun pers yang tampil sebagai pers partisan murni. Memang (dulu) ada Harian Duta Masyarakat (NU), Tabloid Amanat (PAN), Tabloid Demokrat (PDI), dan Harian Abadi (PBB). Tapi, keempat media massa tersebut tidak murni pers partisan, sebab pemilik modalnya bukan 100% partai yang bersangkutan, melainkan Grup Jawa Pos.

Berbeda dari 'zaman liberal' yang tidak melahirkan konflik horisontal, mengapa di era reformasi ini konflik horisontal seolah-olah merupakan 'anak zaman'? Beberapa orang, umumnya para pejabat dan juga politisi yang tidak mengerti demokrasi, menuduh konflik horisontal tersebut gara-gara pers yang 'memanas-manasi', yang 'ngipas-ngipasi'. Padahal, konflik tersebut sudah terjadi sebelum pers memberitakannya. Pers sekedar meliput, memotret, memberitakan fakta sebagai fakta. Kecuali jika menyiarkan berita tentang konflik dan kerusuhan sudah dilarang, sementara yang diizinkan hanyalah peristiwa yang 'baik-baik' saja. Tulis saja semua hal yang serba baik, dan jangan harap publik akan membacanya.

Satu hal yang selama ini dilupakan ialah, konflik yang merebak di masyarakat sekarang ini sangat jelas merupakan letupan dari kemampetan yang selama ini diderita oleh manusia Indonesia. Selama 32 tahun terkungkung tanpa penyaluran, ketika kran dibuka air bah pun membludak tak terbendung. Dan yang disalahkan (lagi-lagi) pers. Sangat tepat penyair Taufiq Ismail yang menulis salah satu puisi yang salah satu barisnya berbunyi: Buruk muka pers dibelah. Memang ada kambing hitam yang dengan mudah dan aman dituding-tuding, yaitu provokator (sementara pers dituding 'manas-manasi'), tapi sang provokator tak kunjung tertangkap. Entah bersembunyi di balik azimat apa, Allahu a'lam bish-shawab.

Konflik sosial, sesungguhnya semata-mata merupakan 'buah' dari penyakit kronis yang diidap masyarakat yang selama 32 tahun terinjak hak-haknya. Yang tumbuh hanyalah apatisme, sementara nalar kritis terpasung secara perlahan-lahan. Sebagian besar pelajar, mahasiswa dan pemuda yang kini berusia 25 sampai 30 tahun -- yang secara kodrati progresif dan memiliki daya nalar kritis -- merupakan korban represi tersebut. Dan merekalah pula yang kini tampil sebagai pelopor pendobrakan untuk membuka kran reformasi. Tapi, dengan atau tanpa pers bebas, mereka niscaya akan bangkit membebaskan diri. Bahkan sebagian besar pers terkesan konservatif, takut, tidak kritis, satu dan lain hal karena ingin 'menjaga harmoni' dengan kekuasaan.

Bukan Main Stream
Sekarang ini dengan gampang dan enak orang bicara tentang demokrasi, kebebasan, transparansi, dan semacamnya, tanpa mengerti apa yang mereka omongkan. Padahal, prasyarat demokrasi ialah multipartai dan pers yang bebas. Tapi, begitu sejumlah partai lahir dan pers tampil bebas, orang bingung. Dengan multipartai dan pers yang bebas, persoalan-persoalan negara dan masyarakat bisa diselesaikan secara publik, terbuka, tidak lagi diselesaikan di bawah tekanan kekuasaan negara.


Pers bebas merupakan salah satu alat pendidikan (dan pendewasaan) sikap dan perilaku berpolitik. Kita memang tengah belajar berdemokrasi, hidup bersama orang lain yang sikap dan pendapatnya berbeda, belajar toleran dalam sebuah masyarakat yang multikultur, tapi hal itu tidak dengan sendirinya lantas menolak demokrasi. Tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat memang relatif masih rendah. Tapi, hal itu tidak otomatis lantas menjadi alasan menolak pers bebas. Sebab, percayalah, rakyat -- yang tingkat pendidikan dan kecerdasannya rendah sekalipun -- bukanlah orang-orang bodoh. Mereka cukup kritis, apalagi jika kita percaya bahwa hati nurani dan akal sehat (common sense), merupakan hal yang seharusnya kita perhitungkan. Pers yang bebas menyajikan sejumlah pilihan, dan publik bebas pula menentukan pilihan mereka. Sementara pers yang tidak memperjuangkan kepentingan publik, menjadi pers partisan atau sensasional misalnya, lambat-laun akan ditinggalkan oleh pembacanya.

Apakah pers kita saat ini sudah kebablasen? Menurut saya, belum. Toh selama ini belum (tidak) ada kriteria tentang apa yang disebut kebablasen itu. Kalaupun pers kita saat kini sudah kebablasen (dengan kriteria yang tak jelas), hal itu bukan pula bisa menjadi alasan untuk membatasi kebebasan pers. Kalaupun ada yang kebablasen (sekali lagi dengan kriteria yang tak jelas) hal itu bukanlah merupakan main stream. Mungkin ada beberapa tabloid yang bisa dikategorikan sebagai yellow paper, dan itu sah-sah saja, tapi secara keseluruhan pers kita cukup baik dan dewasa. Besar dugaan, pejabat atau politisi yang menuding pers kita kebablasen itu tiada lain karena belum terbiasa dengan pers bebas, setelah 32 tahun tanpa absen kebagian jatah cekokan resep Orde Baru.

Sangat ironis, bahwa dewasa ini upaya 'perjuangan' untuk kebebasan pers (kalau bisa disebut demikian) justru datang dari pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Penerangan Mohamad Yunus Yosfiah. Barangkali, setelah Menteri Penerangan Mohamad Natsir di tahun 1950-an, adalah Yunus Yosfiah yang dalam konteks pers bebas berpikiran sangat progresif. Ia merancang UU Pokok Pers yang sangat progresif, jauh lebih liberal ketimbang rancangan DPR-RI, bahkan dari rancangan PWI (Orde Baru) sendiri. Dan kini, meskipun SIUPP masih dipertahankan, tidak ada pembatasan memperolehnya. Juga tidak ada breidel. Sangat menarik, bahwa Yunus Yosfiah pula -- dan justru bukan para tokoh pers yang terhormat -- yang menyatakan, bahwa pers kita saat ini belum kebablasen, bahwa ratusan media massa yang terbit saat ini belum memadai bagi rakyat Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta, bahwa pers bebas merupakan tolok ukur bagi demokrasi.

Dalam konteks pers bebas, seringkali orang berasumsi bahwa pengertian 'bebas' seolah-olah bebas sebebas-bebasnya. Padahal, dengan singkat bisa dijelaskan, bahwa di dalam kebebasan itu sendiri secara implisit ada rasa tanggung-jawab. Tak perlu disebutkan 'pers yang bebas dan bertanggung-jawab', sebab dalam pengertian 'bebas' sudah terkandung rasa 'tanggung-jawab'. Cuma yang jadi masalah bertanggung-jawab kepada siapa? Yang pasti bukan kepada penguasa, melainkan kepada nilai-nilai: kebenaran, keadilan, hukum, moral, kepentingan umum.

Bagaimana dengan si wartawan? Mereka tak cukup hanya belajar jurnalistik hingga mampu trampil dan lihai mewawancarai, memotret, melakukan investigative reporting, dan menulis dengan bahasa dan gaya yang memikat. Tapi, mereka juga harus independen, memiliki dedikasi dengan integritas tinggi, termasuk keberanian untuk menolak amplop, belajar menimbang dan mengukur tulisan dengan nilai dan moral, dan memiliki idealisme untuk membela kepentingan publik.

*) Makalah ini dibacakan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Komite Pendidikan Pemilih (KPP) di Gedung YTKI, Jalan Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999.