Tuesday, December 30, 2008

JURNALISME LITERAIR, APA ITU?

Kajian kecil dan sederhana, sumbangsih buat kawan-kawan anggota PWI-Reformasi seluruh Indonesia yang ingin maju sebagai wartawan profesional.

/ Budiman S. Hartoyo

BELAKANGAN ini ada kecenderungan di kalangan (sebagian kecil) wartawan meminati apa yang disebut “jurnalisme sastrawi”. Di kalangan orang awam, bahkan di kalangan sebagian wartawan sendiri, ada yang belum tahu persis apa itu “jurnalisme sastrawi”. Mengapa jurnalisme dihubungkan dengan sastra? Bukankah jurnalisme mengandalkan fakta, sedangkan sastra mengangkat fiksi? Bukankah harus dibedakan antara fakta dan fiksi?

Benar. Berita, dan dengan demikian juga jurnalisme, memang mengandalkan fakta, tidak mungkin memperhitungkan fiksi, sedangkan sastra lebih mengutamakan fiksi. Lalu mengapa ada “jurnalisme sastrawi”? Maksudnya tiada lain ialah jurnalisme yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya) menulis sastra. Maksudnya, bukan “bersastra-sastra”, atau “memfiksikan fakta” (yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar!

Tapi, saya tidak sepakat dengan penamaan “jurnalisme sastrawi”. Saya lebih menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism.

Namun, sekali lagi, saya merasa aneh jika belakangan ini jurnalisme literair justru diminati oleh (sebagian) wartawan (di kota-kota besar). Padahal, untuk memahami – apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair – tidaklah mudah. Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair, terlebih dahulu harus mampu menulis feature, sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional, mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode “piramida terbalik” -- yang semuanya harus mengandung unsur 5-W dan 1-H, yang juga disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).

Bagi rekan-rekan pemula yang ingin belajar menulis, silakan membuka salah satu blog saya yang memuat beberapa tulisan mengenai “pedoman menulis” sebagai jurnalisme dasar di salah satu blog saya: http://www.budimanshartoyo.blog.com/. Dan untuk memahami apa itu straight news, news feature, dan sebagainya, silakan baca tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dan Bagaimana Menjadi Wartawan Profesional? dalam blog saya yang lain: http://www.budimanshartoyo.multiply.com/.

Ibarat orang yang mau belajar melukis, tidak bisa dia langsung melukis dengan gaya kubisme seperti gaya Picasso, AS Budiono, Fajar Sidik, atau modern abstrak seperti gaya Mondrian atau Affandi. Ia terlebih dahulu harus belajar melukis dengan gaya Leonardo Da Vinci atau Basuki Abdullah yang naturalis, bahkan berkali-kali harus studi atau berlatih menggambar anatomi tubuh manusia.

Misalnya, wujud tangan kanan mulai dari pergelangan tangan dan lima jari-jarinya yang sedang mencengkeram, atau wajah seorang perempuan yang sedang meringis atau menangis – tampak guratan urat dan kerut-merut kulitnya. Persis dan detil! Barulah setelah itu ia boleh mencoba melukis dengan gaya modern, abstrak atau ekspresionistis. Pendeknya, seorang wartawan yang bermaksud belajar menulis news feature dan literary journalism, terlebih dahulu wajib memahami basic journalism. Ya, wajib!

Jurnalisme literair sesungguhnya dimulai pada tahun 1970-an, ketika Tom Wolfe – seorang jurnalis di New York, Amerika Serikat -- memperkenalkan gaya penulisan dalam pers yang sama sekali baru yang ia sebut “new journalism.” Namun, saya kurang sepakat dengan pendapat, bahwa jurnalisme literair di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam sebuah kursus di Jakarta pada bulan Juli 2001. Menurut saya, secara lebih luas, jurnalisme literair di Indonesia dimulai dengan terbitnya Majalah Berita Mingguan TEMPO, terutama ketika pemimpin redaksinya, Goenawan Mohamad – seperti halnya Tom Wolfe -- memperkenalkan apa yang ia sebut “jurnalisme baru”.

Menurut GM, gaya TEMPO yakni menulis berita secara bertutur (deskriptif), adalah kombinasi antara ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian bersastra. Memang, gaya TEMPO seperti itu diakui berkat “cipratan” inspirasi dari gaya penulisan berita TIME Weekly Newsmagazine. Tapi, jauh sebelumnya sudah ada para wartawan senior yang menulis dengan gaya jurnalisme literair, seperti M. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menulis laporan perjalanan Dari Rumah ke Barat. Bahkan jauh sebelumnya, Adinegoro sudah menulis jurnal perjalanan Melawat ke Barat yang dimuat berseri di majalah Pandji Poestaka (Baca: Laporan Basah Laporan Sampah, Laporan Kering Laporan Berdaging; http://www.budimanshartoyo.multiply.com/).


SELAIN secara teknis sudah harus memahami apa itu straight news, metode piramida terbalik, persyaratan 5-W 1-H, dan tentang news feature, seorang wartawan yang ingin menulis dengan gaya jurnalisme literair harus memenuhi beberapa persyaratan penting lainnya. Pertama, ia harus punya wawasan luas karena sering dan banyak membaca buku. Seorang wartawan memang harus banyak membaca buku. Tentu saja buku yang berkaitan dengan bidang minatnya. Tapi, membaca buku apa saja, itu penting. Dengan membaca buku, pengetahuan dan wawasan kita menjadi luas.

Dengan wawasan yang luas, pemilihan terhadap topik-topik yang akan kita tulis bisa beragam dan selektif. Selain itu ketika melakukan wawancara, pertanyaan yang kita ajukan tidak monotone (datar), bahkan bisa berkembang menjadi diskusi kecil. Ketika si wartawan melakukan reportase, ia mampu melihat situasi yang berbeda dibanding hasil reportase wartawan lain. Demikian pula ketika si wartawan melakukan riset untuk memperkaya bahan wawancara atau reportasenya; ia dapat menemukan bahan-bahan yang lebih kaya. Bahkan ketika menyusun outline dan menulis, ia mampu mempertimbangkan mana yang bagus untuk dimanfaatkan, dan mana yang lebih baik dibuang.

Berkat wawasan yang luas itu pula, ia mampu memiliki kepekaan dalam mengendus berita, memiliki nose of news. Ia mampu memilih mana kasus atau topik yang menarik atau layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Ini sangat penting, sebab sebuah news feature yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair tidak hanya harus menarik dari segi gaya penulisannya, melainkan juga tergantung dari menarik tidaknya kasus atau topik yang ditulis. Berkat nose of news (kemampuan mengendus berita) itulah ia mampu menentukan atau memilih mana kasus atau topik yang magnitude atau bobotnya besar sehingga layak untuk kita tulis.

Selain itu ia juga cukup cermat ketika melakukan wawancara, reportase atau riset untuk memperkaya bahan tulisan. Cermat, juga dalam pengertian mampu memilih bahan (hasil wawancara, reportase dan riset) mana yang perlu dan mana yang tidak perlu. Ia tidak sembarangan, tidak asal-asalan. Juga dalam proses menulis, ia cermat mengikuti alur outline, tidak melenceng, tetap setia dengan angle dalam jalur “garis pendulum” sebagaimana telah ia tentukan dalam outline (kerangka tulisan) sebagai dasar acuan untuk membuat struktur tulisan menjadi lebih baik. Struktur tulisan ini sangat penting. Apa yang disebut outline, angle (sudut pandang tulisan) dan “garis pendulum”, lihat tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dalam blog saya, http://www.budimanshartoyo.multiply.com/.

Lebih dari semua itu, ia harus tangguh secara fisik maupun psikis. Mengapa? Sebab, proses penulisan news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair memang memerlukan waktu yang cukup lama. Terutama dalam pengumpulan bahan (wawancara, reportase, riset) dan proses menuliskannya. Proses pengumpulan bahan bisa berlangsung lebih dari satu atau dua bulan, sedangkan proses penulisannya bisa makan waktu selama satu sampai dua minggu. Untuk itu tentu diperlukan dana operasional yang cukup dan memadai – di luar honorarium.

Hanya wartawan yang memiliki “jam terbang” cukup lamalah yang mempunyai kemampuan tangguh, punya nose of news, dan mampu “menjahit” atau “memasak” segenap bahan “belanjaan” dari lapangan, meskipun semuanya itu bisa dilatih. Pengertian “jam terbang” di sini tidak hanya mencakup faktor senioritas – yakni lamanya seorang wartawan bergulat di dunia pers – melainkan juga menyangkut kedewasaan (maturity) psikologisnya.

Khusus mengenai “jam terbang”, sekali lagi yang dimaksud bukan sekedar faktor senioritas, melainkan bobot prestasi seorang wartawan/redaktur selama lima atau 10 tahun ia menjalani karir. Jika selama itu ia tidak banyak membaca – yang dibuktikan dengan kemampuannya menyebutkan beberapa buku sebagai referensi – dan tidak menghasilkan karya tulis yang berbobot, janganlah sekali-kali berani mengklaim sebagai “wartawan senior yang profesional dengan jam terbang yang cukup”. Ia tak lebih hanyalah seorang kerani, jurutulis, tukang ketik!

BAGAIMANA proses menulis news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair? Kini sampailah kita pada pokok diskusi kita. Pertama-tama, hendaknya terlebih dulu Anda memilih kasus atau topik yang layak untuk ditulis, yang magnitude-nya cukup besar, yang sangat berkaitan dengan kepentingan khalayak ramai (public), apalagi yang dramatis dan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Saya paling suka memberi contoh TPA (Tempat Penampungan Akhir) Sampah di Kecamatan Bantargebang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Beberapa waktu lalu di TPA tersebut terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat dramatis. Kisah “anak manusia” yang sangat tragis, atau sebuah tragedi kemanusiaan yang dramatis, tapi juga gambaran kehidupan yang cukup kontradiktif sekaligus mengharukan, memilukan! Ketika itu, tumpukan sampah yang menggunung -- benar-benar menggunung karena ukurannya yang menyamai tinggi pohon nyiur itu – mendadak sontak runtuh. Jangan tanya lagi betapa busuk baunya!

Nah, sampah yang menggunung itu tiba-tiba ambruk menimpa para pemulung, sehingga ada yang meninggal. Bayangkanlah, di negeri yang sudah merdeka selama 60 tahun ini ada sejumlah warganegara yang mengais-ngais nafkah di pusat pembuangan sampah dan meninggal gara-gara tertimpa tumpukan barang-barang bekas – yang adalah juga sekaligus nafkah mereka!

Kini, susunlah outline berdasarkan kasus tersebut, dengan angle tragedi kemanusiaan yang sangat tragis. Pertimbangkan outline tersebut sebaik-baiknya sebelum Anda melangkah ke tahap wawancara, reportase dan riset. Setelah Anda merasa mantap dengan outline, tibalah saatnya Anda bertugas sebagai wartawan yang profesional..

Cari tahu bagaimana kasus itu terjadi. Anda harus tinggal di sana selama seminggu -- tentu saja menginap. Anda wawancara dengan berbagai pihak: para pemulung, keluarga mereka, majikan sampah, sopir truk sampah, tetangga sekitar TPA, lurah setempat, Pemda Bekasi. Lakukan reportase selengkap mungkin. Bukan hanya peristiwa runtuhnya tumpukan sampah yang menggunung, tapi juga rumah tangga para pemulung, warung kopi tempat mereka ngrumpi, berbagai sudut TPA, dan seterusnya. Tentu saja Anda harus melakukan riset kepustakaan, baik di Pemda Bekasi maupun di Pemda DKI Jakarta, atau di tempat lain. Jangan lupa: kumpulkan kliping majalah maupun koran yang memuat kasus TPA Bantargebang tersebut.

Ketika semua “belanjaan di lapangan” sudah Anda anggap cukup, ada baiknya jika sekali lagi Anda baca ulang ouline dan semua bahan “belanjaan di lapangan” yang Anda catat dengan cermat dan rinci. Sebab, outline yang telah Anda susun dengan rapih dan susah payah itu mungkin harus diubah, setelah menemukan fakta dan data baru begitu Anda melakukan wawancara, reportase, riset. Juga untuk mencocokkan hasil “belanjan di lapangan“ dengan alur outline.

Jika Anda sudah benar-benar merasa mantap, silakan duduk di depan komputer setelah menyiapkan semua bahan “belanjaan di lapangan”. Siapkan diri secara fisik dan mental.

Mula-mula Anda akan mengalami kesulitan ketika mulai menulis lead. Ini hal yang biasa, apalagi bagi wartawan pemula. Lead yang paling bagus ialah menggambarkan (melukiskan, mengisahkan secara deskriptif) suasana di TPA Bantargebang ketika “gunung sampah” itu runtuh. Deskripsikan suasana ketika itu: malam, pagi, subuh, siang. Bagaimana suasana alam atau cuaca ketika itu: panas sedang, panas terik, mendung, hujan lebat, gerimis, angin berembus lembut, cuaca dingin atau sejuk.

Lukiskan pula bagaimana aroma sampah yang sangat menyengat, memabukkan, bikin muntah. Betapa dramatis ketika “gunung sampah” itu runtuh. Lukiskan suaranya, jerit dan teriakan orang-orang di sekitarnya, gambarkan pula pemulung yang menjadi korban. Mereka sedang apa, posisinya bagaimana, akibatnya apa, dan seterusnya.

Dari lead pembuka itu, kita meluncur ke body text yang menceritakan, misalnya, tentang profil (para) korban sedetil mungkin. Panjangnya mungkin bisa sampai 10 alinea, tergantung jumlah bahan yang Anda miliki. Mengapa mereka mencari nafkah di tempat yang “tidak layak” itu? Karena faktor kemiskinan -- kutip hasil riset Anda mengenai angka kemiskinan di Jakarta dan Bekasi, juga di daerah asal si pemulung yang naas itu.

Dari sini Anda bisa menulis secara deskriptif tentang suasana TPA Bantargebang. Anda bisa menulis panjang lebar berdasarkan hasil reportase dan wawancara Anda di sana. Setelah itu dilanjutkan dengan profil TPA Bantargebang secara keseluruhan. Bahannya: hasil reportase di lapangan, wawancara dengan warga Bantargebang dan para pejabat serta hasil riset kepustakaan (dan sejumlah kliping) mengenai TPA tersebut.

Teruskanlah menulis sesuai dengan alur cerita yang sudah Anda gariskan dalam outline, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang Anda miliki: hasil wawancara, reportase, riset kepustakaan dan kliping. Cuma, jangan sekali-kali melenceng dari angle, dan harus setia pada garis lurus pendulum. Tapi ingat, sebuah news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair bukan saja memerlukan waktu pengumpulan bahan yang cukup lama, menuliskannya pun tidak bisa dalam waktu singkat. Mungkin bisa makan waktu sampai satu dua minggu. Dan panjangnya pun minimal 10 halaman majalah. Jika satu halaman majalah 4000 karakter, maka panjang tulisan Anda bisa mencapai 40 ribu karakter.

Manakala merasa bahwa pekerjaan Anda sudah selesai (dan sangat capai!) janganlah keburu puas. Cobalah baca ulang beberapa kali hasil tulisan Anda yang cukup panjang itu. Konsentrasikan perhatian Anda pada hasil karya Anda ini. Jangan pedulikan yang lain. Nah, setelah membaca berulang kali, pasti Anda menemukan beberapa kekurangan. Misalnya, alinea ke-15 mungkin sebaiknya dipindah ke alinea ke-10, atau alinea ke-22 misalnya sebaiknya dipindah ke alinea ke-25, dan seterusnya. Atau mungkin profil para pemulung yang menjadi korban kurang lengkap, atau suasana di warung kopi TPA Bantargebang, atau suasana di gubuk para pemulung (terutama yang menjadi korban) kurang tergambarkan dengan detil, deskriptif dan bagus. Dan seterusnya.

Kini, sampailah kita pada ending. Bagaimana menulis ending yang baik dan enak dibaca? Banyak pilihan, tapi caranya hanya satu: pilih peristiwa, adegan, data atau ucapan (quotation) yang unik dan sangat menarik. Misalnya, suasana di warung kopi (milik siapa?) tempat para pemulung pada ngrumpi. Mungkin ada di antara mereka yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang masih bersenda gurau, atau ada suasana sedih yang sangat menekan di sana. Atau ketika seorang ibu dan anaknya masih tetap memunguti sampah plasik untuk dijual kepada majikan sampah biarpun beberapa saat sebelumnya terjadi tragedi yang sangat memilukan hati. Biarpun suaminya meninggal dengan sabngat tragis dan memilukan gara-gara kerubuhan gunung sampah, ia dan anaknya tetap saja mengais-ngais sampah demi sesuap nafkah.

Dan alangkah sangat elok jika Anda sempat mencatat ucapan si anak, misalnya, “Gua tidak takut kerubuhan sampah. Habis, gua lahir dan besar di sini. Kemana lagi cari uang sekolah kalau bukan di sini ....” Stop sampai di sini, jangan di tambah kalimat lagi. Adegan dan quotation itu sudah yang sangat mengharukan. Ini adalah salah satu contoh ending yang bagus. Untuk mendapatkan gambaran mengenai news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair, silakan baca dua tulisan berikut ini: The Ballad of Aryanti Sitepu dan Tiga Malam Menyusup di “Sarang Teroris” dalam blog saya http://www.budimanshartoyo.multiply.com/).

Jika Anda ingin menyimpulkan pembicaraan kita mengenai jurnalisme literair, maka kesimpulannya kira-kira (yang antara lain saya sarikan dari pendapat rekan saya Farid Gaban, wartawan senior TEMPO, pendiri lembaga pendidikan pers Pena Indonesia), adalah sebagai berikut:

Jurnalisme literair ialah karya jurnalisme yang ditulis sebagai creative non-fiction, bergaya sastra, dalam hal ini novel. Bedanya, jika novel mengisahkan fiksi, jurnalisme literair mengisahkan non-fiksi alias fakta. Seperti halnya sastra, jurnalisme literair pun ditulis dengan kreatif. Dengan demikian, jurnalisme literair merupakan gabungan antara teknik jurnalisme dan gaya sastra, yang mengeksplorasi alur cerita dengan narasi, mendeskripsikan suasana dan karakter secara spesifik dan detil, dengan pemilihan kata atau kalimat yang tepat dan kreatif, tapi tetap akurat dan obyektif.

Ciri lain jurnalisme literair ialah “keterlibatan” (involvement) si penulis sedemikian rupa, sehingga sang pembaca merasa “terlibat” pula dalam pasang surut cerita. Dengan teknik eksplorasi, narasi dan deskripsi serta pengelolaan mood secara kreatif, si penulis “melibatkan diri” dalam cerita sehingga ia mampu memotret bahkan melukiskan fakta atau drama yang terjadi. Itu sebabnya jurnalisme literair lazim ditulis dengan gaya “saya” atau “aku”, melukiskan suasana dan karakter secara spesifik, detil dan penuh warna (colourful), bahkan menyertakan dialog dan kilas balik (flash back). Hal lain yang membedakan jurnalisme literair dari berita biasa ialah, jika berita biasa harus obyektif tanpa opini yang bersifat subyektif, jurnalisme literair bukan tak mungkin mengandung unsur subyektivitas -- dalam derajat tertentu. Sekali lagi: subyektif dalam derajat tertentu, atau seminimal mungkin, sekedar untuk memperkaya deskripsi.

***

Tuesday, December 09, 2008

BAGAIMANA MENULIS FEATURE?

Kuliah umum di depan para mahasiswa semester ke-VII Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, Jakarta, 18 November 2008.

/ Budiman S. Hartoyo

Ada beberapa jenis berita. Yang paling pendek disebut straight news, yaitu berita singkat padat yang langsung mengabarkan inti berita, tapi tetap mengandung unsur 5-W 1-H [who (siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), how (bagaimana)]. Jika berita tersebut sangat penting untuk segera diketahui oleh publik disebut stop press, sedangkan jika ditayangkan di layar televisi atau melalui corong radio disebut breaking news – karena disiarkan sebagai selingan mendadak di sela-sela acara yang sedang berlangsung.

Misalnya, sekedar contoh, Mantan Presiden Soeharto telah wafat pada hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Jenasahnya kini disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, dan segera akan diterbangkan ke Solo untuk dikebumikan di makam keluarga Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah (disiarkan pada tanggal 27 Januari 2008 jam 11:05).

Selain harus mengandung unsur 5-W 1-H, penyusunan struktur sebuah berita lazim mengikuti apa yang disebut metode “piramida terbalik.” Maksudnya, yang pertama-tama ditulis ialah inti berita yang penting, kemudian data yang agak penting, lalu yang setengah penting dan akhirnya data pelengkap yang kurang penting. Walaupun singkat padat, susunan straight news tetap harus mengikuti metode “piramida terbalik.” Pada contoh di muka, yang paling penting ialah wafatnya mantan Presiden Soeharto, sedangkan makam keluarga Astana Giri Bangun merupakan data pelengkap.

Meskipun pada contoh stop press tersebut, wafatnya mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai fakta yang penting -- oleh karena itu ditulis di awal berita --, unsur paling penting dari sebuah news (berita) ialah when (kapan). Mendengar berita tentang wafatnya Pak Harto, orang biasanya kontan akan bertanya, “Kapan?” Dengan demikian, contoh berita tersebut bisa ditulis sebagai berikut: Hari ini, 27 Januari 2008 jam 11:00 WIB, mantan Presiden Soeharto telah wafat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dalam usia 87 tahun, setelah dirawat selama beberapa hari karena sakit usia tua. Dan seterusnya.

Unsur when menjadi sangat penting, sebab tanpa unsur yang menyebutkan waktu, sebuah peristiwa atau kejadian tidak dapat disebut sebagai berita. Bahkan, berita mengenai apapun wajib mempunyai “cantolan” atau “gantungan”, mengapa atau atas dasar apa sebuah peristiwa atau kejadian ditulis menjadi berita. Yang dimaksud dengan “cantolan” atau “gantungan” itu lazim disebut sebagai news peg. Tidaklah mungkin kita ujug-ujug menulis berita atau artikel mengenai pemerintahan yang represif atau mengenai mega korupsi, misalnya, tanpa news peg berupa wafatnya Pak Harto.

Selain karena adanya news peg, sebuah kasus menjadi penting diberitakan karena memang layak ditulis sebagai berita. Kelayakan itu berkaitan dengan magnitude (bobot) beritanya yang cukup besar. Bobot berita wafatnya Pak Harto sangat besar, dibanding bobot meninggalnya camat Pondokgede, misalnya. Bobot berita korupsi Tommy Soeharto yang milyaran sangat besar dibanding korupsi yang dilakukan seorang guru SMP Negeri di Kecamatan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang hanya sekitar lima jutaan rupiah. Tommy bukan saja anak mantan presiden, kasus korupsinya juga sangat besar, sementara pak guru SMP selain tidak terkenal, bukan public figure, ia melakukan korupsi karena terpaksa, gara-gara gajinya tidak mencukupi.

Wafatnya Pak Harto dan kasus korupsi Tommy Soeharto sangat layak diberitakan, karena selain mereka adalah public figure, kasusnya menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga bernilai “sangat penting”. Sebuah kasus perlu juga diberitakan, antara lain karena kejadiannya aneh, langka, atau unik. Dalam hal ini berlakulah kredo sejarawan Inggris, Charles A. Dana, yang pada 1882 mengatakan, When a dog bites a man, that is not a news. But when a man bites a dog, that is a news (Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Tapi jika orang menggigit anjing, barulah itu berita). Maksudnya tentu saja bukanlah semata-mata faktor “menggigit”, melainkan faktor unicum, keunikan atau keistimewaan dalam suatu berita. Contoh, kasus Sumanto yang makan daging mayat, seorang ayah yang membantai isteri dan anak-anaknya, seorang legislator yang selingkuh dengan selebriti, dan sebagainya.

Ada kriteria lain mengapa sebuah kasus diberitakan. Sesuai dengan keinginan tahu (curiousity) seseorang, pers biasanya memberitakan kejadian buruk ketimbang peristiwa yang baik-baik. Rumah tangga artis yang sakinah dan mawaddah (bahagia penuh kasih sayang) dianggap biasa-biasa saja, sedangkan konflik dalam rumah tangga seorang artis terkenal sehingga mereka bercerai, atau bangkrutnya seorang pengusaha terkenal, biasanya dianggap lebih menarik untuk diberitakan. Nah, berita buruk seperti itu biasnya dianggap lebih menarik, sehingga berlakulah teori – yang sesungguhnya tidak selalu tepat: a bad news is a good news (berita buruk adalah berita baik). Pengertian good news di sini bukan berarti “berita baik” melainkan berita yang (biasanya) diminati oleh kebanyakan publik. Padahal, rumah tangga bahagia seorang artis, atau sukses bisnis seorang tokoh, bisa ditulis sebagai success story, kisah sukses seseorang, yang jika ditulis dengan baik juga menarik untuk dibaca.

Kelayakan sebuah berita juga ditentukan oleh akurasi datanya. Tingkat akurasi (ketelitian, kecermatan, kebenaran data) menentukan tingkat profesionalitas. Seorang wartawan yang menulis berita tidak akurat, bisa dinilai tidak profesional. Bahkan seorang wartawan yang tidak tepat dalam penggunaan bahasa Indonesia, juga bisa dinilai tidak profesional. Selain itu, berita yang baik haruslah berimbang, tidak berat sebelah. Dua pendapat yang saling bertentangan, dua-duanya harus dimuat secara adil. Istilah mengenai asas ini disebut cover both sides atau both sides coverage.

Kembali pada straight news. Sebagai follow up lebih lanjut dari straight news tersebut, para wartawan menulis berita yang lebih panjang, karena straight news tentulah belum lengkap, dan hanya merupakan dasar dari sebuah berita yang lebih panjang dan lengkap. Beberapa data yang lazim dianggap sebagai pelengkap, misalnya, jenis penyakit Pak Harto (dengan mewawancarai para dokter kepresidenan), siapa saja yang melayat di rumah sakit dan acara tahlil di rumah duka (dengan melakukan reportase), bagaimana rencana pemberangkatan jenazah dan upacara pemakaman (dengan mewawancarai keluarga Cendana dan reportase di Astana Giri Bangun), dan sebagainya.

Wafatnya Pak Harto jelas merupakan berita sangat penting, berita besar, big news. Oleh karena itu para redaktur cepat-cepat memberikan assignment (penugasan) kepada para reporter untuk menulis berita yang lebih lengkap. Bahkan beberapa artikel yang berkaitan dengan Pak Harto, dan perannya selama menjadi presiden (lengkap dengan foto dokumentasi yang diperlukan) sudah dipersiapkan, begitu Pak Harto dirawat karena sakit keras. Misalnya, pemerintahan Pak Harto yang represif, kasus korupsi bersama kroni-kroninya, dan sebagainya. Begitu Pak Harto wafat, artikel seperti itu sudah pressklaar, siap cetak.

***

Ada jenis berita lain yang disebut feature atau news feature, yaitu tulisan panjang, lengkap, komprehensif, berimbang, dengan kasus yang magnitude-nya cukup besar, tapi lebih mementingkan unsur why dan how. Yaitu “mengapa” atau sebab musabab sampai peristiwa itu terjadi, dan “bagaimana” proses terjadinya peristiwa tersebut. Selain itu, sebuah feature hendaknya ditulis dengan gaya bertutur, deskriptif, sedemikian rupa sehingga susunan kata dan kalimatnya mampu menggambarkan atau melukiskan suatu profil atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, feature sesungguhnya sebuah “cerita”, tapi bukan cerita mengenai fiksi melainkan mengenai fakta. A feature is a story about facts, not about fiction (feature ialah cerita tentang fakta, bukan tentang fiksi). Sedangkan karya tulis tentang fiksi disebut novel, cerita pendek.

Sampai di sini kita diingatkan pada sebuah asas atau dalil klasik dalam dunia jurnalisme, yaitu mengenai fakta dan opini. Menurut dalil klasik tersebut, sebuah berita harus hanya memuat fakta tanpa mengikut sertakan opini, hanya memuat peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan sesungguhnya (fact), tanpa pendapat, komentar, ulasan atau tafsir (opinion) si wartawan. Dengan demikian diharapkan berita itu dapat tampil secara obyektif, seperti apa adanya, tanpa bumbu-bumbu lain, meskipun ditulis dengan deskripsi (penggambaran) yang persis setepat-tepatnya.

Setelah memahami sedikit banyak tentang beberapa persyaratan berita yang harus kita ketahui, maka sampailah kita pada pertanyaan, “bagaimana menulis feature (yang baik)?” Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat) menarik, yang menyangkut kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius untuk ditulis. Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman biasanya memiliki nose of news (daya cium, daya endus berita), yang akan selalu bisa terasah jika ia memiliki ”jam terbang” cukup tinggi. Tapi, nose of news selalu bisa dilatih. Setelah menemukan obyek, kasus atau item tulisan, pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang dimaksud dengan angle ialah ”sudut pandang”, apa kira-kira masalah yang sangat penting dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup sulit, sehingga diperlukan pemikiran, perenungan, bahkan diskusi dengan kawan-kawan.

Sekedar contoh kasus, misalnya, TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah Bantargebang, Bekasi, yang sampahnya sempat menggunung lalu roboh dan menewaskan pemulung. Yang juga menarik, misalnya, banjir yang setiap tahun menggenangi Jakarta, yang disebabkan oleh penataan kota yang tidak disiplin, peruntukan lahan yang ngawur. Atau tentang Tanahabang Bongkaran, Jakarta Pusat, sebagai miniatur Indonesia. Di sana ada preman, pedagang kecil, pegawai negeri, pelacur. Pokoknya berbagai profesi dan etnis yang berbaur dalam kawasan kumuh sejak puluhan tahun. Kasus lain, Soetan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai pendidik dan ”pemimpi” yang mengidam-idamkan pendidikan bermutu, sebagai pelopor dan pembina Bahasa Indonesia yang tak kenal lelah.

Setelah cukup mantap dengan salah satu kasus tersebut, carilah kaitannya dengan news peg. Yang dimaksud dengan news peg ialah ”gantungan cerita”, mengapa kita menulis feature mengenai sesuatu yang kita yakini sangat menarik minat pembaca. Mengapa menulis tentang banjir yang menenggelamkan Jakarta? Karena ada news peg musim hujan di bulan Desember. Kita menerbitkannya di awal bulan Desember, sesuai dengan news peg-nya, tapi pengerjaannya bisa dilakukan sejak dua atau tiga bulan sebelumnya. Mengapa kita menulis mengenai STA? Karena akan kita terbitkan pas pada hari ulang tahun STA, atau HUT Universitas Nasional, atau HUT terbitnya majalah Poedjangga Baroe. Dan seterusnya.

Setelah kita menemukan news peg, telitilah apakah kasus yang akan kita tulis tersebut memenuhi kriteria sebagai item yang sangat terkait dengan kepentingan publik dan magnitude-nya besar. Contoh-contoh yang kita paparkan di muka cukup memenuhi kriteria. Setelah itu, susunlah outline (kerangka tulisan), meliputi lead, body text, ending. Seorang penulis yang baik selalu membiasakan diri terlebih dahulu menyusun outline. Di kalangan para wartawan TEMPO di tahun 1980 dulu, dikenal semacam credo: “Mau selamat? Bikinlah outline!” Tapi ingat, cara menyusun outline tidak gampang. Diperlukan latihan tersendiri.

Kemudian (inilah tugas yang cukup berat) kuasailah segenap bahan dengan selengkap dan seakurat mungkin. Lakukan reportase yang mendalam (indeph reporting), wawancara beberapa narasumber yang relevan, riset berbagai bahan, check and recheck. Lakukan pula verifikasi dengan mempertimbangkan both sides coverage. Lakukan semua itu dengan sepenuh semangat dan gairah, tanpa lelah, tanpa bosan, karena proses pengumpulan bahan itu mungkin akan berlangsung sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Namun, ketika kita tengah “berbelanja” bahan-bahan di lapangan, bisa jadi outline akan berubah. Dalam hal ini, yang sangat penting harus dilakukan ialah indeph reporting (reportase mendalam), ialah reportase dan wawancara dari berbagai aspek, sehingga mampu menggambarkan kasus, masalah, atau sosok yang akan kita tulis.

Langkah berikut ini lebih sulit lagi, yaitu langkah menulis -- yang harus setia dengan outline, meskipun ada kemungkinan outline bisa berubah di tengah jalan. Mula-mula, tulislah lead yang bagus. Lead adalah kalimat pertama sebagai pembuka, yang harus menarik (baik bahasa maupun materinya) agar supaya pembaca tertarik untuk terus membaca. Dan itulah fungsi lead yang sebenarnya. Selanjutnya melangkah ke body text, yang hendaknya ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar (tapi populer), deskriptif (bertutur, berkisah), dengan alur cerita yang setia pada outline, dan tetap selalu memperhatikan ”gerak pendulum” sehingga tulisan tetap terfokus pada angle.

Pendulum ialah bandul yang menggantung pada seutas tali. Pendulum selalu bergerak dari arah kiri ke arah kanan, berganti-ganti, dan pasti selalu melewati bagian tengah yang searah dengan lurusnya tali tempat pendulum bergantung. Itulah yang dimaksud dengan “gerak pendulum.” Artinya, biarpun sang pendulum bergerak ke kanan atau ke kiri, pasti selalu kembali ke tengah, searah dengan tali gantungan pendulum. Pendulum melambangkan perkembangan cerita yang ditulis dalam sebuah feature, sedangkan tali penggantung melambangkan angle.

Jika seluruh bahan cerita sudah ditulis dalam body text, tibalah saatnya kita menulis ending, akhir dari sebuah tulisan. Ending bisa berupa kesimpulan, bisa pula suatu kejadian lucu (atau tragis dramatis), yang setidak-tidaknya bisa dianggap sebagai suatu kesimpulan. Atau bisa pula berupa persoalan atau pertanyaan yang mengambang, yang tidak perlu dijawab. Sebagaimana lead ada yang menarik dan tidak, ending juga ada yang menarik dan tidak. Tentu saja kita harus memilih yang menarik. Untuk menulis lead dan ending yang menarik, memang dibutuhkan latihan dan “jam terbang” sebagai penulis yang cukup lama.

Bagaimana feature yang bagus? Sebuah feature yang bagus ialah yang lengkap, komprehensif, akurat, dengan verifikasi yang memadai. Lebih hebat lagi jika feature tersebut merupakan hasil reportase investigasi (investigative reporting), sebuah tulisan yang exclusive (sangat khas, lain dari yang lain) dan ditulis dengan gaya literary journalism, jurnalisme literair. Apakah itu investigative reporting, karya jurnalisme yang exclusive, dan gaya literary journalism? Ketiga-tiganya – sebagai tingkat lebih lanjut dari penulisan feature -- merupakan pembahasan dalam sebuah diskusi tersendiri.

***
---------------------------------------

Wednesday, December 03, 2008

BAGAIMANA MENJADI WARTAWAN PROFESIONAL?


Pengantar kuliah umum di depan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Komunikasi Universitas Nasional, 18 November 2008.

/ Budiman S. Hartoyo

BANYAK mahasiswa, anak muda pada umumnya, yang ingin menjadi wartawan. Motifnya macam-macam. Ada yang beranggapan, menjadi wartawan itu keren, bergengsi, dapat masuk ke mana-mana, bisa ketemu dengan pejabat atau artis untuk wawancara, dan sebagainya. Persepsi seperti itu sesungguhnya salah, bahkan menyesatkan. Profesi wartawan bukan untuk ”gagah-gagahan”. Profesi ini sangat jauh dari persepsi yang sepele seperti itu. Dunia pers, dengan demikian juga wartawan, adalah kepanjangan tangan publik, penyambung lidah rakyat, terutama rakyat yang tertindas, the silence majority. Bahkan dalam negara yang demokratis, pers merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dari sistem demokrasi, di samping eksekutif, legislatif, yudikatif. Luar biasa, bukan?

Untuk dapat menjalani profesi wartawan yang benar, serius, sungguh-sungguh, Anda harus memenuhi tiga hal. Bolehlah kita sebut sebagai ”trilogi jurnalisme”. Pertama, Anda harus profesional. Bukan hanya wartawan, semua profesi, jabatan, pekerjaan, sesungguhnya harus dikerjakan secara profesional. Wartawan yang profesional ialah yang memahami tugasnya, yang memiliki skill (ketrampilan), seperti melakukan reportase, wawancara, dan menulis berita atau feature yang bagus dan akurat, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika Anda tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, bisa disebut tidak profesional.

Tapi, profesional saja tidaklah cukup. Anda mesti mengenal apa yang disebut ”integritas,” kejujuran, dalam pengertian bahwa sebagai wartawan Anda mesti jujur (dan paham) terhadap profesi, menyadari jatidiri Anda sebagai kepanjangan tangan dari aspirasi publik, kepada siapa Anda semestinya bertanggungjawab secara moral. Profesional dan punya integritas belum lengkap jika Anda tidak memiliki sikap independen, sebagai bagian yang integral dari ”trilogi jurnalisme,” yaitu profesional, integritas dan independen, tidak berpihak, obyektif, dan hanya berpihak atau bertanggung jawab kepada publik.

Karena bertanggung jawab kepada publik, dan oleh karena itu harus independen, maka jadilah pers – dan dengan demikian juga wartawan – merupakan the fourth estate (pilar ke empat) dalam negara yang menganut sistem demokrasi -- di samping eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika pilar demokrasi ciptaan Jean Jacques Rousseau yang disebut ”trias politica” itu saling mengontrol satu sama lain, sehingga terjadi check and balance, maka pers sebagai pilar ke empat berperan sebagai ”anjing penjaga” (watch dog) agar check and balance dalam sistem demokrasi itu berjalan dengan semestinya.

Dalam konteks Indonesia, Anda harus memahami UU Nomor 40/1999 tentang Pers yang melindungi tugas wartawan sebagai profesi dan menjamin kebebasan pers. Namun harap diingat, dan jangan salah paham, bahwa kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata merupakan kepentingan pers. Sebab, kebebasan pers (freedom of the press atau press freedom) merupakan konsekwensi logis dari sistem demokrasi, ketika pers menjadi watch dog dalam rangka perannya sebagai the fourth estate.

Pengertian ”kebebasan pers” tentu saja bukanlah bebas sebebas-bebasnya, menulis semau gue, tak peduli pada aturan apapun, melainkan bebas dalam mengakses informasi yang dibutuhkan oleh publik. Sebab, pers sebagai ”pilar ke empat” dalam sistem demokrasi -- yang adalah juga ”kepanjangan tangan” dari aspirasi publik -- harus bebas dalam mengakses informasi publik. Mengapa? Sebab, kebebasan itu merupakan salah satu dari hak-hak sipil (hak untuk bebas berpikir, berpendapat, berbicara, menulis, berserikat, beragama, mencari nafkah) yang semuanya merupakan hak-hak manusia yang paling asasi.

Dengan mengemban hak untuk mengakses informasi publik secara bebas, dan dengan demikian sebagai ”kepanjangan tangan publik” atau ”penyambung lidah rakyat”, maka pers berkewajiban memperjuangkan hak-hak sipil, terutama the silence majority. Dengan melaksanakan tugas profesional sebagai social control, pers dapat menjaga agar kekuasaan tetap berjalan di jalur rel demokrasi, tidak terjebak pada penyalah gunaan kekuasaan. Sebab, sebagaimana ungkapan sejarawan Inggris Lord Acton (1834-1902), ”the power tends to corrupt; the absolute power tends to absolute corrupt” (kekuasaan cenderung menyalah gunakan kekuasaan; kekuasaan yang mutlak cenderung menyalah gunakan kekuasaan secara mutlak pula).

Oleh karena itu, pers harus bebas namun bertanggung jawab (kepada publik, kepada norma hukum, kepada common sense, bukan kepada kekuasaan). Namun, di lain pihak pers bukanlah can do no wrong (bukan tidak bisa salah). Sebab, jika pers can do no wong, bukan tak mungkin akan terjadi trial by the press (pengadilan sepihak oleh pers), bahkan tirani pers. Dalam kaitan ini, sangatlah benar sikap Thomas Jefferson, Presiden ke III Amerika Serikat (1743-1826): “Andai saya diminta memilih antara pemerintah tanpa pers atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah dia sering diperlakukan kurang baik oleh pers AS.

***

--------------------------------------------

Wednesday, May 21, 2008

WARTAWAN: IDEALIS atau "BODREX"?

Oleh Budiman S. Hartoyo


LEBIH dari 30 tahun saya jadi wartawan. Meski hingga kini hidup tetap saja pas-pasan, saya punya kebanggaan tersendiri. Di tahun 1963, ketika tabloid belum mewabah seperti sekarang, ketika orang pers belum berpikir tentang community paper, saya sudah magang di sebuah penerbitan lokal di Solo, Jawa Tengah, yang namanya mengambil “nama alias” tempat tabloid mingguan itu diterbitkan: Surakarta. Saya belajar kepada (alm) Nurman Sahli, pemimpin redaksinya, dan (alm) Achmad Ds, wartawan seniornya. Ketika itu, di kalangan para wartawan Jawa Tengah ada anggapan bahwa mereka adalah “orang-orang PSI” hanya karena keduanya mengaku sebagai “murid” dan respek kepada Haji Wa’ang alias Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman dan “guru” banyak wartawan itu.


Antara lain berkat Achmad Ds pula saya mengenal para sastrawan di Solo seperti Armaya, Ds Mulyanto, Mansur Samin, Elanda Rosi Ds. Tak heran jika di tahun 1971, ketika TEMPO diterbitkan oleh penyair Goenawan Mohamad, serta-merta saya pun “tersedot” sampai akhirnya saya pensiun – setahun sebelum majalah berita mingguan tempat saya banyak ngangsu ngelmu itu dibreidel pada tahun 1994 oleh Menteri Penerangan Harmoko, wartawan yang “tersesat” jadi politikus itu.


Tapi, kebanggaan sebagai wartawan itu kadang terasa pahit. Bukan karena usia sudah 60 tahun, dan sepertinya tak laku bekerja di media massa yang kini rata-rata didominasi para wartawan muda yang post graduate, tapi lantaran ada ganjalan yang sejak dulu sudah sering saya rasakan. Betapa tidak. Sampai kini, ketika kebebasan pers yang sejak lama kita impikan itu terwujud, masih saja ada anggapan bahwa pers, khususnya wartawan, identik dengan “amplop” sehingga ada julukan tak resmi: “wartawan amplop”.


Yang dimaksud tentu amplop yang biasa digunakan untuk memberi uang kepada seseorang dengan cara halus, sopan, agar tak menyinggung perasaan. Lama-kelamaan, karena sudah terbiasa atau “membudaya”, konotasi “amplop” tidak lagi berkaitan dengan sopan-tak-sopan, melainkan identik dengan sogok-menyogok. Bahkan bagi sebagian (kecil) wartawan yang sudah (maaf) “berbudaya amplop”, kalau mereka tidak menerima (atau bahkan meminta) amplop perasaan mereka konon kabarnya malah tersinggung. Wah, kok sudah terbolak-balik jadinya.


Maka dengarlah keluhan Kabag Humas Dinas Tata Pemakaman DKI Jakarta, Eddy Supriatna, yang hampir setiap hari menghadapi orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Mereka tidak memburu berita tapi meminta uang, bahkan ada di antaranya yang mengancam. “Sepanjang hari kerja mereka hanya menganggu. Bahkan setelah beberapa hari dicek, tidak satu pun masalah yang ditanyakan itu dimuat di suratkabar. Korannya saja tak ada di pasaran,” keluh Edy kepada Media Indonesia (19/6/2000).


Di Bekasi lain lagi ceritanya. Tiga kaca pintu gedung Pengadilan Negeri Bekasi pecah menyusul kekisruhan dalam pembayaran pesangon bagi pekerja PT Kong Tai Indonesia yang terkena PHK, Sabtu 10/6. Kekisruhan tersebut bermula dari adanya oknum wartawan yang meminta “jatah” dari petugas bendahara (Pikiran Rakyat, 12/6/2000). Sebelumnya, 8/6/2000, koran terbitan Bandung itu menulis, oknum-oknum wartawan itu minta “jatah transpor dan uang makan” sebanyak Rp 7,5 juta kepada Mel Murad, Bendahara Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SPTSK), Rp 2,5 juta di antaranya diterima oleh Aidil Y. Matondang, Ketua PWI Perwakilan Bekasi. Maksudnya PWI-Orde Baru, bukan PWI-Reformasi, karena PWI-Reformasi justru berusaha mendidik wartawan agar menjauhi “amplop”.


Masih banyak cerita lain mengenai “wartawan bodrex” – meskipun saya tak tahu persis mengapa wartawan gadungan itu mendapat julukan “bodrex”. Yang pasti mereka bukan anggota “Pasukan Bodrex” berseragam merah pimpinan artis dan judoka Dede Yusuf yang suka nampang di layar kaca itu. Tapi, mereka memang ada yang punya “pasukan” sebagaimana pernah diberitakan oleh Media Indonesia edisi Minggu (MIM) beberapa waktu lalu. Mereka biasa bergerombol di Bursa Efek Jakarta atau Jakarta Design Center – meski tentu banyak pula wartawan profesional di kedua tempat tersebut. Menurut MIM, ketika satu atau dua anggota “pasukan bodrex” itu berhasil melakukan “wawancara” (baca: minta duit) kepada seorang narasumber, kontan menghamburlah “pasukan” itu ikut pula “wawancara”.


Harian Kompas pernah pula memberitakan betapa si “bodrex” tertangkap basah minta “uang transpor” kepada salah seorang gubernur yang tengah mengikuti Rapat Kerja Gubernur di Departemen Dalam Negeri. Bahkan DetikCom suatu kali menayangkan berita mengenai “seorang wartawan” yang minta jatah “uang makan” kepada seorang anggota DPRD Jawa Timur di Surabaya, kemudian diusir oleh para wartawan beneran. Selidik punya selidik, oknum-oknum yang mencemarkan nama baik korps wartawan itu rata-rata memang WTS alias “wartawan tanpa suratkabar” atau “pengacara” – pengangguran cari-cari acara.


Ketika masih (beruntung) tercatat sebagai wartawan TEMPO, dengan penuh percaya diri saya bertekad menjadi wartawan profesional, independen dengan integritas moral yang tinggi. Artinya, emoh amplop. Tentu saja, sebab ketika itu gaji saya cukup besar, dengan fasilitas dan berbagai tunjangan serta bonus. Tapi, sekarang, ketika saya sempat bertemu dengan kawan-kawan di sebagian wilayah tanah air, saya pun mengelus dada. Gaji kawan-kawan wartawan yang tinggal di daerah – tapi juga sebagian wartawan yang bekeja di Jakarta – rata-rata sangatlah kecil. Ada yang hanya Rp 250.000, bahkan ada pula yang cuma Rp 80.000.


Nah, lantas bagaimana kita mendidik wartawan agar mereka menolak “amplop”? Pendidik pers seperti Ashadi Siregar bisa saja bicara soal filosofi “panggilan hidup” dan “panggilan perut”, sementara tokoh Dewan Pers seperti Jakob Oetama boleh bicara mengenai idealisme pers ketika mereka berbicara dalam seminar mengenai Etika Jurnalistik di Jakarta yang digelar Yayasan Jurnalis Independen belum lama ini. Tapi, pernahkah terpikir oleh kita, sudah lama ada (sebagian) majikan pers yang mengupah wartawan dengan uang segobang sembari bilang: “Carilah tambahannya di luar kantor”?


Seorang wartawan muda di Medan, yang idealismenya membara, bercerita kepada saya: ada kebiasaan wartawan menyetor sebagian “amplop” kepada redaksi agar berita mereka mendapat jatah kapling di halaman tertentu. Buntut cerita itu ternyata bukan happy ending: ada (sebagian) redaktur – yang gajinya agak lebih besar – ikut pula turun ke lapangan. Buat apa, kan tugasnya di desk? Ikut berebut jatah “amplop”, dong. Artinya, masalah “amplop” tidak hanya berkait dengan faktor kemiskinan kantung wartawan, tapi juga berkelindan dengan moral yang memang bobrok.


Di era reformasi yang membuahkan kebebasan pers – ketika pers yang sejak Orde Baru jadi “pers industri” dan kini jadi komoditi yang latah, karena setiap orang bisa menerbitkan koran tanpa izin – fenomena “amplop” itu semakin mewabah. Dengan modal dengkul pun, orang bisa jadi majikan pers. Kebutuhan akan SDM yang mendesak mendorong rekrutmen wartawan yang “asal comot” tanpa in-house training. Bahkan Rosihan Anwar pun beberapa waktu lalu mengeluh di Kompas bahwa pendidikan yang selama ini ia lakukan di KLW (Kursus Latihan Wartawan), gagal. Berapa prosen pula dari puluhan ribu wartawan yang berhasil dididik oleh lembaga pendidikan yang bagus seperti LP3ES, LP3Y, LPDS, ISAI?


Selama ini (sebagian) majikan pers yang tergabung dalam Serikat Perusahaan Pers (SPS) sudah menikmati kemudahan karena pers dianggap sebagai “sarana mencerdaskan bangsa”. Mulai dari keringanan pajak impor kertas, keringanan biaya transpor pengiriman koran, ditambah penerimaan iklan. Namun, (sebagian) mereka tega memerah keringat wartawan dan alergi terhadap upaya pembentukan Dewan/Serikat Karyawan, sementara wartawan tak menyadari hak-hak mereka sebagai “kelas” pekerja alias buruh. Tak berani menggalang solidaritas, apalagi mogok, jika suatu saat hak mereka terabaikan. Apa boleh buat, karena sejak semula mereka bekerja tanpa perlindungan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), tak ada ketentuan standar penggajian, apalagi asuransi.


Kecilnya gaji seharusnya tak menghalalkan wartawan menggadaikan harga diri untuk menerima apalagi meminta “amplop”. Namun repotnya, di satu sisi wartawan adalah buruh tapi di lain pihak orang bilang mereka profesional dan idealis. Idealnya, ia adalah agent of modernization, agent of social change, pejuang kebenaran, keadilan dan pembela rakyat kecil yang tertindas. Wartawan seharusnya memiliki wawasan luas dengan banyak membaca dan berdiskusi. Itu memang hanya bisa berarti slogan atau harapan kosong belaka. Tapi, apa yang bisa kita kerjakan dan idealkan jika hidup ini tanpa setitik harapan pun?


Memang tak mudah mengatakan, “jangan jadi wartawan kalau gaji kecil lalu menerima amplop”. Tak semudah itu. Salah satu jalan keluar – yang juga tak gampang disosialisasikan – misalnya mendorong keluarga wartawan membuka usaha sebagai agen koran. Sudah merupakan rahasia umum, bahwa penghasilan agen koran justru lebih besar ketimbang gaji wartawan. Atau membentuk Dewan/Serikat Karyawan sehingga bargaining position mereka cukup kuat untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja. Justru di masa serba terbuka seperti sekarang segala sesuatu bisa dilakukan. Kinilah saatnya para wartawan peduli akan nasib mereka sendiri, saling menempa profesionalisme dan karakter sebagai insan idealis, menggalang solidaritas untuk membela hak-hak sebagai pekerja!

***

Saturday, January 05, 2008

DENDAM BENAZIR DAN "DENDAM" TAMARA

Dua tanda kutip pada sebuah kata, rasa bahasa yang sering kurang dipertimbangkan.


BIARPUN sama-sama memendam dendam, perasaan Benazir Bhutto dan Tamara Geraldine tidaklah sama (Kompas, 16/9/2007). Benazir memang benar-benar memendam dendam terhadap lawan politiknya. Karena itu kata dendam seharusnya tidak ditulis di antara dua tanda kutip (halaman 5). Sebab, jika kata dendam diberi dua tanda kutip, berarti bukan dendam yang sesungguhnya. Sementara dendam Tamara terhadap acara Wisata Kuliner – karena tak bisa mencicipi jenis makanan tertentu gara-gara menderita sakit maag (halaman 32) – hanyalah kiasan. Setelah sembuh, ia melampiaskan "dendam" dengan menemani Bondan Winarno, pengasuh acara tersebut. Maka tepatlah jika dendam ditulis di antara dua tanda kutip.


Selama ini pembubuhan tanda baca berupa dua tanda kutip di depan dan belakang sebuah kata, hampir tak pernah dibicarakan. Padahal, penggunaan tanda baca itu – yang dimaksudkan untuk memberi arti atau tekanan tertentu pada sebuah kata – sering muncul, terutama dalam bahasa pers, bahkan juga dalam bahasa lisan. Ketika seseorang sedang berbicara di televisi dan hendak menyebut sebuah istilah yang mengandung arti tertentu, serta merta ia mengangkat kedua belah tangannya lalu memeragakan cara menulis dua tanda kutip itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah.


Selain dimaksudkan sebagai kiasan, atau memberi tekanan pada arti lain dari arti yang sebenarnya, tanda baca seperti itu juga digunakan untuk menyebut julukan yang khas, atau istilah tertentu. Tapi, tidak semua penulis, terutama para wartawan, dapat menggunakannya secara tepat. Menulis kalimat dengan suatu "rasa bahasa" sehingga memunculkan asosiasi tertentu, memang tidak mudah.


Dalam kolom Ramadan (Koran Tempo, 16/9/2007, halaman 2), yang mengulas suasana bulan Ramadhan, ada tiga kesalahan dalam menulis kata di antara dua tanda kutip: "sweeping" terhadap minuman keras; kemaksiatan harus "diperangi"; melanggar "peraturan daerah." Jika yang dimaksud dengan ketiga kata tersebut memang benar-benar sebagaimana yang terkandung di dalam artinya, mengapa harus ditulis di antara dua tanda kutip? Jika dibubuhi dua tanda kutip, maka asosiasi yang muncul dari kata atau istilah tersebut justru kebalikan dari arti yang sebenarnya.


Sebaliknya, dalam kolom yang sama terdapat dua kata yang memunculkan asosiasi yang benar ketika penulisnya meletakkan dua tanda kutip pada sebuah kata atau ungkapan: hiburan malam harus "tahu diri"; anak-anak di pengungsian kelaparan menunggu kapan "magrib" tiba. Tepatlah ungkapan tahu diri ditulis di antara dua tanda kutip, sebab si penulis mempersonifikasikan subyek kalimat, yakni hiburan malam. Begitu pula dengan kata magrib yang oleh penulisnya dimaksudkan sebagai kiasan bagi terpenuhinya kesejahteraan bagi para pengungsi.


Gara-gara kurang mempertimbangkan "rasa bahasa" itulah, seorag penulis sering tidak konsisten dalam menggunakan dua tanda kutip itu. Dalam Pertaruhan Terakhir (TEMPO, 26/8/2007, halaman 23) ada dua kalimat yang menunjukkan kurangnya konsistensi tersebut. Setelah kematian Munir, Indra juga pernah bertemu petinggi BIN untuik membicarakan "langkah selanjutnya" (kolom 1). Ungkatan langkah selanjutnya tepat diletakkan di antara dua tanda kutip untuk menunjukkan adanya kongkalingkong antara Indra dan petinggi BIN.


Tapi, dalam kolom 2 terdapat dua kata yang seharusnya tidak perlu dibubuhi dua tanda kutip: Maksudnya, kejaksaan menguraikan aspek "sebab" untuk menjelaskan unsur "akibat", yakni tewasnya Munir. Jika yang dimaksud memang arti sebenarnya dari kata sebab dan akibat, mengapa kedua kata tersebut harus diletakkan di antara dua tanda kutip?


Kekurang cermatan juga terdapat dalam Operasi Permak Wajah (TEMPO, 9/9/2007, halaman 23). Saya kutip sebuah kalimat panjang pada kolom 1-2: Akhirnya, rapat Dewan Gubernur BI memutuskan menggunakan dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia – disingkat LPPI – yang merupakan "anak usaha" BI. Jika jelas bahwa LPPI adalah anak usaha BI, seharusnya dua kata itu tidak usah ditulis di antara dua tanda kutip. Kecuali jika pada alinea sebelumnya disebutkan adanya keraguan mengenai status LPPI.


Namun pada kolom 1 terdapat cara penulisan yang benar. Saya kutip: Apalagi setahun kemudian BI hanya berhasil meraih predikat "wajar dengan pengecualian". Tiga kata wajar dengan pengecualian merupakan predikat yang dikenakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Indonesia. Sebagai predikat, wajar jika tiga kata tersebut ditulis di antara dua tanda kutip.


Goenawan Mohamad termasuk penulis (sangat) produktif yang suka (dan tepat) menggunakan tanda baca berupa dua tanda kutip – yang seringkali dimaksudkan untuk memberi tekanan pada pengertian yang sama sekali lain. Misalnya, dalam Catatan Pinggir berjudul Ong (TEMPO, 9/9/2007, halaman 130). Mengapa ia menulis Onghokham sebagai "sejarawan" (di antara dua tanda kutip), padahal almarhum memang seorang sejarawan? Sebab, ada penjelasan pada kalimat berikutnya, yakni Ia sendiri punya versi lain tentang dirinya. Dan selanjutnya, Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar belakang sosial-ekomomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang "atas."


Maksudnya, bukan "sejarah" sebagaimana kita kenal di bangku sekolah yang mengisahkan orang "atas" alias para raja, pahlawan, pemimpin, melainkan peristiwa yang kompleks, lengkap dengan latar belakang politik, sosial, budaya dan ekonomi yang saling kait-mengait.