Kajian kecil dan sederhana, sumbangsih buat kawan-kawan anggota PWI-Reformasi seluruh Indonesia yang ingin maju sebagai wartawan profesional.
/ Budiman S. Hartoyo
BELAKANGAN ini ada kecenderungan di kalangan (sebagian kecil) wartawan meminati apa yang disebut “jurnalisme sastrawi”. Di kalangan orang awam, bahkan di kalangan sebagian wartawan sendiri, ada yang belum tahu persis apa itu “jurnalisme sastrawi”. Mengapa jurnalisme dihubungkan dengan sastra? Bukankah jurnalisme mengandalkan fakta, sedangkan sastra mengangkat fiksi? Bukankah harus dibedakan antara fakta dan fiksi?
Benar. Berita, dan dengan demikian juga jurnalisme, memang mengandalkan fakta, tidak mungkin memperhitungkan fiksi, sedangkan sastra lebih mengutamakan fiksi. Lalu mengapa ada “jurnalisme sastrawi”? Maksudnya tiada lain ialah jurnalisme yang ditulis dengan gaya berkisah (mendekati atau agak mirip) dengan (gaya) menulis sastra. Maksudnya, bukan “bersastra-sastra”, atau “memfiksikan fakta” (yang mustahil), melainkan menuturkan atau menggambarkan suatu fakta secara detil dan relevan dengan bahasa yang benar dan bagus. Di sinilah pentingnya penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar!
Tapi, saya tidak sepakat dengan penamaan “jurnalisme sastrawi”. Saya lebih menyukai jurnalisme literair karena lebih mendekati penamaan aslinya, yaitu literary journalism.
Namun, sekali lagi, saya merasa aneh jika belakangan ini jurnalisme literair justru diminati oleh (sebagian) wartawan (di kota-kota besar). Padahal, untuk memahami – apalagi menulis dengan gaya jurnalisme literair – tidaklah mudah. Sangat sulit! Wartawan yang ingin menulis (dengan gaya) jurnalisme literair, terlebih dahulu harus mampu menulis feature, sedangkan wartawan yang ingin menulis feature terlebih dulu harus mampu menulis berita yang konvensional, mulai dari straight news dan berita yang ditulis dengan metode “piramida terbalik” -- yang semuanya harus mengandung unsur 5-W dan 1-H, yang juga disebut sebagai jurnalisme dasar (basic journalism).
Bagi rekan-rekan pemula yang ingin belajar menulis, silakan membuka salah satu blog saya yang memuat beberapa tulisan mengenai “pedoman menulis” sebagai jurnalisme dasar di salah satu blog saya: http://www.budimanshartoyo.blog.com/. Dan untuk memahami apa itu straight news, news feature, dan sebagainya, silakan baca tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dan Bagaimana Menjadi Wartawan Profesional? dalam blog saya yang lain: http://www.budimanshartoyo.multiply.com/.
Ibarat orang yang mau belajar melukis, tidak bisa dia langsung melukis dengan gaya kubisme seperti gaya Picasso, AS Budiono, Fajar Sidik, atau modern abstrak seperti gaya Mondrian atau Affandi. Ia terlebih dahulu harus belajar melukis dengan gaya Leonardo Da Vinci atau Basuki Abdullah yang naturalis, bahkan berkali-kali harus studi atau berlatih menggambar anatomi tubuh manusia.
Misalnya, wujud tangan kanan mulai dari pergelangan tangan dan lima jari-jarinya yang sedang mencengkeram, atau wajah seorang perempuan yang sedang meringis atau menangis – tampak guratan urat dan kerut-merut kulitnya. Persis dan detil! Barulah setelah itu ia boleh mencoba melukis dengan gaya modern, abstrak atau ekspresionistis. Pendeknya, seorang wartawan yang bermaksud belajar menulis news feature dan literary journalism, terlebih dahulu wajib memahami basic journalism. Ya, wajib!
Jurnalisme literair sesungguhnya dimulai pada tahun 1970-an, ketika Tom Wolfe – seorang jurnalis di New York, Amerika Serikat -- memperkenalkan gaya penulisan dalam pers yang sama sekali baru yang ia sebut “new journalism.” Namun, saya kurang sepakat dengan pendapat, bahwa jurnalisme literair di Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam sebuah kursus di Jakarta pada bulan Juli 2001. Menurut saya, secara lebih luas, jurnalisme literair di Indonesia dimulai dengan terbitnya Majalah Berita Mingguan TEMPO, terutama ketika pemimpin redaksinya, Goenawan Mohamad – seperti halnya Tom Wolfe -- memperkenalkan apa yang ia sebut “jurnalisme baru”.
Menurut GM, gaya TEMPO yakni menulis berita secara bertutur (deskriptif), adalah kombinasi antara ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian bersastra. Memang, gaya TEMPO seperti itu diakui berkat “cipratan” inspirasi dari gaya penulisan berita TIME Weekly Newsmagazine. Tapi, jauh sebelumnya sudah ada para wartawan senior yang menulis dengan gaya jurnalisme literair, seperti M. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar yang menulis laporan perjalanan Dari Rumah ke Barat. Bahkan jauh sebelumnya, Adinegoro sudah menulis jurnal perjalanan Melawat ke Barat yang dimuat berseri di majalah Pandji Poestaka (Baca: Laporan Basah Laporan Sampah, Laporan Kering Laporan Berdaging; http://www.budimanshartoyo.multiply.com/).
SELAIN secara teknis sudah harus memahami apa itu straight news, metode piramida terbalik, persyaratan 5-W 1-H, dan tentang news feature, seorang wartawan yang ingin menulis dengan gaya jurnalisme literair harus memenuhi beberapa persyaratan penting lainnya. Pertama, ia harus punya wawasan luas karena sering dan banyak membaca buku. Seorang wartawan memang harus banyak membaca buku. Tentu saja buku yang berkaitan dengan bidang minatnya. Tapi, membaca buku apa saja, itu penting. Dengan membaca buku, pengetahuan dan wawasan kita menjadi luas.
Dengan wawasan yang luas, pemilihan terhadap topik-topik yang akan kita tulis bisa beragam dan selektif. Selain itu ketika melakukan wawancara, pertanyaan yang kita ajukan tidak monotone (datar), bahkan bisa berkembang menjadi diskusi kecil. Ketika si wartawan melakukan reportase, ia mampu melihat situasi yang berbeda dibanding hasil reportase wartawan lain. Demikian pula ketika si wartawan melakukan riset untuk memperkaya bahan wawancara atau reportasenya; ia dapat menemukan bahan-bahan yang lebih kaya. Bahkan ketika menyusun outline dan menulis, ia mampu mempertimbangkan mana yang bagus untuk dimanfaatkan, dan mana yang lebih baik dibuang.
Berkat wawasan yang luas itu pula, ia mampu memiliki kepekaan dalam mengendus berita, memiliki nose of news. Ia mampu memilih mana kasus atau topik yang menarik atau layak untuk ditulis dan mana yang tidak. Ini sangat penting, sebab sebuah news feature yang ditulis dengan gaya jurnalisme literair tidak hanya harus menarik dari segi gaya penulisannya, melainkan juga tergantung dari menarik tidaknya kasus atau topik yang ditulis. Berkat nose of news (kemampuan mengendus berita) itulah ia mampu menentukan atau memilih mana kasus atau topik yang magnitude atau bobotnya besar sehingga layak untuk kita tulis.
Selain itu ia juga cukup cermat ketika melakukan wawancara, reportase atau riset untuk memperkaya bahan tulisan. Cermat, juga dalam pengertian mampu memilih bahan (hasil wawancara, reportase dan riset) mana yang perlu dan mana yang tidak perlu. Ia tidak sembarangan, tidak asal-asalan. Juga dalam proses menulis, ia cermat mengikuti alur outline, tidak melenceng, tetap setia dengan angle dalam jalur “garis pendulum” sebagaimana telah ia tentukan dalam outline (kerangka tulisan) sebagai dasar acuan untuk membuat struktur tulisan menjadi lebih baik. Struktur tulisan ini sangat penting. Apa yang disebut outline, angle (sudut pandang tulisan) dan “garis pendulum”, lihat tulisan saya, Bagaimana Menulis Feature? dalam blog saya, http://www.budimanshartoyo.multiply.com/.
Lebih dari semua itu, ia harus tangguh secara fisik maupun psikis. Mengapa? Sebab, proses penulisan news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair memang memerlukan waktu yang cukup lama. Terutama dalam pengumpulan bahan (wawancara, reportase, riset) dan proses menuliskannya. Proses pengumpulan bahan bisa berlangsung lebih dari satu atau dua bulan, sedangkan proses penulisannya bisa makan waktu selama satu sampai dua minggu. Untuk itu tentu diperlukan dana operasional yang cukup dan memadai – di luar honorarium.
Hanya wartawan yang memiliki “jam terbang” cukup lamalah yang mempunyai kemampuan tangguh, punya nose of news, dan mampu “menjahit” atau “memasak” segenap bahan “belanjaan” dari lapangan, meskipun semuanya itu bisa dilatih. Pengertian “jam terbang” di sini tidak hanya mencakup faktor senioritas – yakni lamanya seorang wartawan bergulat di dunia pers – melainkan juga menyangkut kedewasaan (maturity) psikologisnya.
Khusus mengenai “jam terbang”, sekali lagi yang dimaksud bukan sekedar faktor senioritas, melainkan bobot prestasi seorang wartawan/redaktur selama lima atau 10 tahun ia menjalani karir. Jika selama itu ia tidak banyak membaca – yang dibuktikan dengan kemampuannya menyebutkan beberapa buku sebagai referensi – dan tidak menghasilkan karya tulis yang berbobot, janganlah sekali-kali berani mengklaim sebagai “wartawan senior yang profesional dengan jam terbang yang cukup”. Ia tak lebih hanyalah seorang kerani, jurutulis, tukang ketik!
BAGAIMANA proses menulis news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair? Kini sampailah kita pada pokok diskusi kita. Pertama-tama, hendaknya terlebih dulu Anda memilih kasus atau topik yang layak untuk ditulis, yang magnitude-nya cukup besar, yang sangat berkaitan dengan kepentingan khalayak ramai (public), apalagi yang dramatis dan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Saya paling suka memberi contoh TPA (Tempat Penampungan Akhir) Sampah di Kecamatan Bantargebang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Beberapa waktu lalu di TPA tersebut terjadi tragedi kemanusiaan yang sangat dramatis. Kisah “anak manusia” yang sangat tragis, atau sebuah tragedi kemanusiaan yang dramatis, tapi juga gambaran kehidupan yang cukup kontradiktif sekaligus mengharukan, memilukan! Ketika itu, tumpukan sampah yang menggunung -- benar-benar menggunung karena ukurannya yang menyamai tinggi pohon nyiur itu – mendadak sontak runtuh. Jangan tanya lagi betapa busuk baunya!
Nah, sampah yang menggunung itu tiba-tiba ambruk menimpa para pemulung, sehingga ada yang meninggal. Bayangkanlah, di negeri yang sudah merdeka selama 60 tahun ini ada sejumlah warganegara yang mengais-ngais nafkah di pusat pembuangan sampah dan meninggal gara-gara tertimpa tumpukan barang-barang bekas – yang adalah juga sekaligus nafkah mereka!
Kini, susunlah outline berdasarkan kasus tersebut, dengan angle tragedi kemanusiaan yang sangat tragis. Pertimbangkan outline tersebut sebaik-baiknya sebelum Anda melangkah ke tahap wawancara, reportase dan riset. Setelah Anda merasa mantap dengan outline, tibalah saatnya Anda bertugas sebagai wartawan yang profesional..
Cari tahu bagaimana kasus itu terjadi. Anda harus tinggal di sana selama seminggu -- tentu saja menginap. Anda wawancara dengan berbagai pihak: para pemulung, keluarga mereka, majikan sampah, sopir truk sampah, tetangga sekitar TPA, lurah setempat, Pemda Bekasi. Lakukan reportase selengkap mungkin. Bukan hanya peristiwa runtuhnya tumpukan sampah yang menggunung, tapi juga rumah tangga para pemulung, warung kopi tempat mereka ngrumpi, berbagai sudut TPA, dan seterusnya. Tentu saja Anda harus melakukan riset kepustakaan, baik di Pemda Bekasi maupun di Pemda DKI Jakarta, atau di tempat lain. Jangan lupa: kumpulkan kliping majalah maupun koran yang memuat kasus TPA Bantargebang tersebut.
Ketika semua “belanjaan di lapangan” sudah Anda anggap cukup, ada baiknya jika sekali lagi Anda baca ulang ouline dan semua bahan “belanjaan di lapangan” yang Anda catat dengan cermat dan rinci. Sebab, outline yang telah Anda susun dengan rapih dan susah payah itu mungkin harus diubah, setelah menemukan fakta dan data baru begitu Anda melakukan wawancara, reportase, riset. Juga untuk mencocokkan hasil “belanjan di lapangan“ dengan alur outline.
Jika Anda sudah benar-benar merasa mantap, silakan duduk di depan komputer setelah menyiapkan semua bahan “belanjaan di lapangan”. Siapkan diri secara fisik dan mental.
Mula-mula Anda akan mengalami kesulitan ketika mulai menulis lead. Ini hal yang biasa, apalagi bagi wartawan pemula. Lead yang paling bagus ialah menggambarkan (melukiskan, mengisahkan secara deskriptif) suasana di TPA Bantargebang ketika “gunung sampah” itu runtuh. Deskripsikan suasana ketika itu: malam, pagi, subuh, siang. Bagaimana suasana alam atau cuaca ketika itu: panas sedang, panas terik, mendung, hujan lebat, gerimis, angin berembus lembut, cuaca dingin atau sejuk.
Lukiskan pula bagaimana aroma sampah yang sangat menyengat, memabukkan, bikin muntah. Betapa dramatis ketika “gunung sampah” itu runtuh. Lukiskan suaranya, jerit dan teriakan orang-orang di sekitarnya, gambarkan pula pemulung yang menjadi korban. Mereka sedang apa, posisinya bagaimana, akibatnya apa, dan seterusnya.
Dari lead pembuka itu, kita meluncur ke body text yang menceritakan, misalnya, tentang profil (para) korban sedetil mungkin. Panjangnya mungkin bisa sampai 10 alinea, tergantung jumlah bahan yang Anda miliki. Mengapa mereka mencari nafkah di tempat yang “tidak layak” itu? Karena faktor kemiskinan -- kutip hasil riset Anda mengenai angka kemiskinan di Jakarta dan Bekasi, juga di daerah asal si pemulung yang naas itu.
Dari sini Anda bisa menulis secara deskriptif tentang suasana TPA Bantargebang. Anda bisa menulis panjang lebar berdasarkan hasil reportase dan wawancara Anda di sana. Setelah itu dilanjutkan dengan profil TPA Bantargebang secara keseluruhan. Bahannya: hasil reportase di lapangan, wawancara dengan warga Bantargebang dan para pejabat serta hasil riset kepustakaan (dan sejumlah kliping) mengenai TPA tersebut.
Teruskanlah menulis sesuai dengan alur cerita yang sudah Anda gariskan dalam outline, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang Anda miliki: hasil wawancara, reportase, riset kepustakaan dan kliping. Cuma, jangan sekali-kali melenceng dari angle, dan harus setia pada garis lurus pendulum. Tapi ingat, sebuah news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair bukan saja memerlukan waktu pengumpulan bahan yang cukup lama, menuliskannya pun tidak bisa dalam waktu singkat. Mungkin bisa makan waktu sampai satu dua minggu. Dan panjangnya pun minimal 10 halaman majalah. Jika satu halaman majalah 4000 karakter, maka panjang tulisan Anda bisa mencapai 40 ribu karakter.
Manakala merasa bahwa pekerjaan Anda sudah selesai (dan sangat capai!) janganlah keburu puas. Cobalah baca ulang beberapa kali hasil tulisan Anda yang cukup panjang itu. Konsentrasikan perhatian Anda pada hasil karya Anda ini. Jangan pedulikan yang lain. Nah, setelah membaca berulang kali, pasti Anda menemukan beberapa kekurangan. Misalnya, alinea ke-15 mungkin sebaiknya dipindah ke alinea ke-10, atau alinea ke-22 misalnya sebaiknya dipindah ke alinea ke-25, dan seterusnya. Atau mungkin profil para pemulung yang menjadi korban kurang lengkap, atau suasana di warung kopi TPA Bantargebang, atau suasana di gubuk para pemulung (terutama yang menjadi korban) kurang tergambarkan dengan detil, deskriptif dan bagus. Dan seterusnya.
Kini, sampailah kita pada ending. Bagaimana menulis ending yang baik dan enak dibaca? Banyak pilihan, tapi caranya hanya satu: pilih peristiwa, adegan, data atau ucapan (quotation) yang unik dan sangat menarik. Misalnya, suasana di warung kopi (milik siapa?) tempat para pemulung pada ngrumpi. Mungkin ada di antara mereka yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang masih bersenda gurau, atau ada suasana sedih yang sangat menekan di sana. Atau ketika seorang ibu dan anaknya masih tetap memunguti sampah plasik untuk dijual kepada majikan sampah biarpun beberapa saat sebelumnya terjadi tragedi yang sangat memilukan hati. Biarpun suaminya meninggal dengan sabngat tragis dan memilukan gara-gara kerubuhan gunung sampah, ia dan anaknya tetap saja mengais-ngais sampah demi sesuap nafkah.
Dan alangkah sangat elok jika Anda sempat mencatat ucapan si anak, misalnya, “Gua tidak takut kerubuhan sampah. Habis, gua lahir dan besar di sini. Kemana lagi cari uang sekolah kalau bukan di sini ....” Stop sampai di sini, jangan di tambah kalimat lagi. Adegan dan quotation itu sudah yang sangat mengharukan. Ini adalah salah satu contoh ending yang bagus. Untuk mendapatkan gambaran mengenai news feature yang disajikan dengan gaya jurnalisme literair, silakan baca dua tulisan berikut ini: The Ballad of Aryanti Sitepu dan Tiga Malam Menyusup di “Sarang Teroris” dalam blog saya http://www.budimanshartoyo.multiply.com/).
Jika Anda ingin menyimpulkan pembicaraan kita mengenai jurnalisme literair, maka kesimpulannya kira-kira (yang antara lain saya sarikan dari pendapat rekan saya Farid Gaban, wartawan senior TEMPO, pendiri lembaga pendidikan pers Pena Indonesia), adalah sebagai berikut:
Jurnalisme literair ialah karya jurnalisme yang ditulis sebagai creative non-fiction, bergaya sastra, dalam hal ini novel. Bedanya, jika novel mengisahkan fiksi, jurnalisme literair mengisahkan non-fiksi alias fakta. Seperti halnya sastra, jurnalisme literair pun ditulis dengan kreatif. Dengan demikian, jurnalisme literair merupakan gabungan antara teknik jurnalisme dan gaya sastra, yang mengeksplorasi alur cerita dengan narasi, mendeskripsikan suasana dan karakter secara spesifik dan detil, dengan pemilihan kata atau kalimat yang tepat dan kreatif, tapi tetap akurat dan obyektif.
Ciri lain jurnalisme literair ialah “keterlibatan” (involvement) si penulis sedemikian rupa, sehingga sang pembaca merasa “terlibat” pula dalam pasang surut cerita. Dengan teknik eksplorasi, narasi dan deskripsi serta pengelolaan mood secara kreatif, si penulis “melibatkan diri” dalam cerita sehingga ia mampu memotret bahkan melukiskan fakta atau drama yang terjadi. Itu sebabnya jurnalisme literair lazim ditulis dengan gaya “saya” atau “aku”, melukiskan suasana dan karakter secara spesifik, detil dan penuh warna (colourful), bahkan menyertakan dialog dan kilas balik (flash back). Hal lain yang membedakan jurnalisme literair dari berita biasa ialah, jika berita biasa harus obyektif tanpa opini yang bersifat subyektif, jurnalisme literair bukan tak mungkin mengandung unsur subyektivitas -- dalam derajat tertentu. Sekali lagi: subyektif dalam derajat tertentu, atau seminimal mungkin, sekedar untuk memperkaya deskripsi.
***
Tuesday, December 30, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Nah, bagaimana komentar kawan-kawan?
Post a Comment