Tuesday, December 18, 2007

KETIKA JUSUF KALLA "BERBESAR HATI"


Ada wartawan yang tidak kritis: langsung mengutip ucapan pejabat, padahal salah.

SAYA tersenyum kecut karena jengkel, sembari geleng-geleng kepala lalu mencampakkan koran, ketika membaca Harian Kompas dan Koran TEMPO edisi 3 November 2007. Di halaman 1 Kompas menulis sebaris judul mencolok: Wapres Minta Nurdin Halid Besar Hati soal Putusan FIFA.

Padahal, di halaman 31, Kompas mengutip ucapan Ketua Komite Olahraga Nasional, Rita Subowo, yang “meminta kebesaran jiwa para pengurus PSSI,” dan ucapan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Adyaksa Dault, bahwa “Nurdin Halid harus berjiwa besar.”


Sementara Koran TEMPO di halaman A3 juga mengutip ucapan Jusuf Kalla, “Saya yakin Nurdin Halid akan berbesar hati untuk mengikuti ketentuan-ketentuan itu.” Berbesar hati atau berbesar jiwa?

Ucapan Jusuf Kalla yang salah itu, besar hati, dikutip seperti apa adanya oleh wartawan Kompas (INU/JOY) dan wartawan Koran TEMPO (Rafly Wibowo/Sutarto/Fanny Febiana). Repotnya, redaktur kedua koran itu juga tidak kritis.

Padahal, yang benar ialah besar jiwa (lapang dada, legowo), bukan besar hati (gembira, girang, senang). Sudah sebulan lebih ucapan itu disiarkan, tapi tidak diralat oleh jurubicara kepresidenan, juga tidak oleh redaktur koran yang bersangkutan.

Kesalahan sama dilakukan oleh sutradara dan bintang film Rano Karno ketika mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Selembar poster ditempel pada salah satu mobilnya, Sekali-kali jadi Wakil Gubernur.... Yang benar ialah sekali-sekali (sewaktu-waktu), bukan sekali-kali (sama sekali tidak).

Itu adalah salah kaprah dalam berbahasa. Salah kaprah (ungkapan dalam bahasa Jawa) ialah kesalahan yang biasa dilakukan, tapi telanjur dianggap benar. Celakanya, baik orang awam maupun pejabat, bahkan juga pers, sering kejangkitan penyakit salah kaprah dalam berbahasa.

Misalnya, kalimat ini: Redaktur menugaskan reporter meliput pertandingan olahraga (salah kaprah). Yang benar, Redaktur menugasi reporter (untuk) meliput pertandingan olahraga. Atau, redaktur menugaskan peliputan pertandingan olahraga kepada reporter (tapi kurang lazim).

Yang agak rumit ialah memenangkan dan memenangi dalam kalimat berikut: PSSI memenangkan pertandingan sepakbola (salah kaprah). Siapa yang menang? Yang menang ialah “pertandingan sepakbola”, bukan PSSI. Tapi, kalimat PSSI memenangi pertandingan sepakbola -- benar, tapi terlalu dipaksakan. Menurut hemat saya, lebih baik PSSI menang (unggul) dalam pertandingan sepakbola.

Kasus yang hampir sama terjadi pada kata membawahi dan membawahkan. Yang benar, Presiden membawahkan para menteri, bukan Presiden membawahi para menteri (salah kaprah). Sebab, Presiden membawahi para menteri, berarti presiden memposisikan diri (berada) di bawah menteri.

Bandingkan membawahi dan melayani. Kalimat Presiden melayani para menteri, tidak logis, sebab menteri adalah pembantu atau bawahan presiden. Tapi, Presiden mengatasi persoalan (benar), bukan mengataskan (tidak lazim).

Ada ketentuan tatabahasa yang dalam penggunaannya mengalami salah kaprah. Ketentuan itu: semua kata dasar yang berhuruf awal k, p, t, dan s, jika mendapat awalan me atau pe dan akhiran kan atau an, maka huruf awal itu harus luluh. Tapi, dalam praktik keempat huruf itu tidak luluh.


Pertama, kata kaji; mestinya mengaji, pengajian. Tapi, dalam praktik, mengkaji, pengkajian, kecuali jika pengertiannya mengaji atau pengajian Al-Quran. Padahal, mempelajari teknologi mestinya juga termasuk pengajian, bukan pengkajian. Apa salahnya kita menggunakan mengaji atau pengajian teknologi?

Kedua, kata pesona mestinya memesona, tapi salah kaprah menjadi mempesona. Atau kata perkara seharusnya memerkarakan, tapi salah kaprah menjadi memperkarakan. Kata jadian untuk peduli seharusnya memedulikan, tapi salah kaprah menjadi mempedulikan. Anehnya, kata jadian putus bukan memputuskan melainkan memutuskan. Adapun mempunyai, benar, sebab kata dasarnya bukan punya, tapi empunya.

Ketiga, kata tunduk dan tambah, kata jadiannya menundukkan dan menambahkan, sesuai dengan ketentuan, yakni huruf pertama luluh, tidak mengalami salah kaprah.

Keempat, kata sukses mestinya menjadi menyukseskan, tapi salah kaprah menjadi mensukseskan. Bahkan ada yang membacanya mengacu pada kata success dalam bahasa Inggris: mensakseskan. Sebaliknya, kata sabar yang kata jadiannya menyabarkan (benar). Jika mengacu pada mensukseskan, mengapa kata jadian sabar bukan mensabarkan?

Yang menarik ialah tiga kata dasar yang terdiri dari satu suku kata, seperti sah, cat dan cap. Jika ketiga kata itu mendapat awalan me atau pe dan atau akhiran an atau kan, maka kata jadiannya menjadi mengesahkan, mengecat, mengecap, karena mendapat sisipan huruf sengau ng. Selama ini masyarakat kita sudah menggunakan kata jadian tersebut.

Baik. Tapi, jika kita analisa, kata dasar ketiga kata itu hilang atau berubah, bahkan aneh. Lihatlah: pengesahan (pe-ng-esah-an), kata dasar yang seharusnya sah berubah menjadi esah, atau kesah. Begitu pula pengecapan (pe-ng-ecap-an), kata dasar yang seharusnya cap menjadi ecap, atau kecap. Dan pengecatan (pe-ng-ecat-an), kata dasar yang mestinya cat menjadi ecat, atau kecat.

Aneh bin ajaib.

Budiman S. Hartoyo

Tuesday, December 11, 2007

LAPORAN SAMPAH, LAPORAN BASAH; LAPORAN KERING, LAPORAN BERDAGING


Oleh Budiman S. Hartoyo *)



SETIAP akhir pekan, para wartawan TEMPO dilanda stres. Bahan berjibun, deadline pun mengancam di pucuk ubun-ubun. Nasi dan lauk pauk beraneka selera untuk makan malam yang terhidang di pinggir ruang redaksi, dan dingin AC yang menggigit, tak mampu mengusir rasa gelisah. Kantuk adalah musuh nomor satu, begadang bukan lagi kebiasaan langka. Setiap akhir pekan, sebagian besar wartawan (dan redaktur) menginap di kantor, melemparkan tubuh barang sejenak di kolong meja. Begitu yang terekam dalam kenangan saya lebih dari seperempat abad silam.


Jangan ganggu Fikri Jufri. Ia tengah mengedit naskah, sebuah laporan ekonomi tentang skandal korupsi di perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Tubuhnya yang tambun bisa terguncang setiap kali ia jengkel membaca laporan wartawan yang tak layak. “Setan! Ini laporan apa? Brengsek! Laporan sampah! Bull shit!” teriaknya menyumpah-nyumpah sembari bangkit dari kursi menuju toilet. Ia melepas hajat kecil, lalu merogoh saputangan dari kantung celana, menyergah ingus. Jam dinding yang bulat menunjuk angka 02:25 dinihari. Tegang! Tapi ah, peduli amat! Setiap orang toh sibuk dengan urusan masing-masing.


Jika ia gusar, naskah di tangan kanannya bisa dibanting. Atau sekedar dikibas-kibaskannya ke bibir meja. Dan sambil terus ngedumel, ia ngeloyor. “Hhh, hhh, hhh! Sialan!” ia bersungut-sungut. Hidung mancung Arab-nya kembang-kempis. Kepalanya mendongak sambil matanya yang berkacamata minus melirik sinis ke kiri-kanan. Tapi, tak selamanya redaktur senior itu mengumbar sumpah serapah. Ia justru lebih banyak bercanda sambil sesekali melontarkan joke diseling cas-cis-cus bahasa Inggeris. Jika hatinya lagi enak, nah, suasana kerja pun terasa ringan. Orang tergelak setiap kali ia ngeledek seorang kawan dengan jenaka.


“Hei, Bung! Ha, Emir David, how are you?” suaranya memecah kebekuan menyapa Amir Daud, redaktur senior yang sangat concern dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, sambil menghampiri meja saya dia nyerocos dengan logat Betawi: “Nah, ini die nyang namenye laporan basah, bedaging. Ndak kering. Gampang kite ngejaitnye.” Sekilas tercium aroma bir meruap dari mulutnya. Esoknya, pada hari kedua deadline, hidungnya yang besar dan mancung itu masih saja mengancam wartawan yang laporannya “kering tak berdaging”. Tapi, orang-orang sudah melupakannya. Terutama setelah Susanto Pudjomartono, dengan gaya Jawa dan candanya, membujuknya. Ia memang lihay menengahi setiap muncul percik konflik kecil antar redaksi.


Tak jarang pula, suasana di ruang redaksi di lantai ketujuh sebuah gedung jangkung di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Pusat, itu lengang. Semua tenggelam dalam kerja. Atau lelap tertidur. Sesekali terdengar dengkur satu dua orang. Tak ada yang peduli. Kecuali jika suatu saat, ketika di tengah malam yang senyap itu, terdengar katepak-ketepik suara sepatu. Nah, ini dia: Isma Sawitri ngeloyor ke salah satu meja tempat hidangan malam. Tapi ia tak menyentuh nasi atau sayur asem. Biasanya hanya mengambil dua butir jeruk. Peletak-peletik, peletak peletik, memecah kesunyian malam.


Laporan sampah, laporan basah; laporan kering, laporan berdaging. Para wartawan yang pernah “hidup sekandang” dengan FJ ingat betul istilah-istilah khas itu keluar dari mulutnya. FJ adalah inisial untuk Fikri Jufri, sebagaimana GM untuk Goenawan Mohamad, SP untuk Susanto Pudjomartono, IS untuk Isma Sawitri, BHM untuk Bambang Harymurti, atau Bambu untuk Bambang Bujono – yang lebih dari seperempat abad silam diperkenalkan oleh Amir Daud alias AD – yang oleh FJ kadang diledek sebagai Emir David. Memang, hanya laporan basah atau berdaging yang mampu mempertahankan trade mark majalah TEMPO, sehingga “enak dibaca dan perlu.”


Saya tak tahu persis kapan redaktur TEMPO atau bagian iklan (dugaan saya malah GM sendiri!) menciptakan slogan yang singkat, padat, pas, dan kena, seperti “enak dibaca dan perlu” itu. Juga sejumlah slogan untuk pemasaran, seperti Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan bersayap lainnya untuk menggambarkan rubrik-rubrik TEMPO: “nasional tapi bukan politik; ilmu tapi bukan teknologi; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran; agama tapi bukan khotbah.” Yang paling populer: Tak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu – yang dengan sangat tepat mengungkapkan gaya laporan TEMPO yang khas.


Mengapa “enak dibaca”? Karena laporan ditulis secara populer, menggambarkan suasana atau profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara bertutur, naratif, yang menurut FJ “harus dijahit secara cerdas” oleh redaktur, berdasarkan “belanjaan reporter” di lapangan. Mengapa “dan perlu”? Karena setiap usulan berita harus diseleksi terlebih dahulu, didiskusikan dalam rapat, sehingga benar-benar “layak TEMPO”. Sejak awal, ketika pertama kali TEMPO terbit pada 1971, salah satu teks iklan (yang saya yakin dirancang oleh GM) menggambarkan karakter laporan TEMPO, yaitu ramuan antara “ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra”.


Menurut saya, sejak TEMPO terbit itulah sesungguhnya pers Indonesia mengenal apa yang sekarang disebut sebagai “jurnalisme sastra”. Atau yang belakangan, pada tahun 200-an, ditabalkan oleh Jurnal Pantau sebagai “jurnalisme sastrawi”. Dua penamaan yang menurut saya kurang tepat, dibanding misalnya “jurnalisme literair”, mengacu pada literary journalism. Sebagai wartawan – yang sebagian terbesar “masa berguru”-nya sebagai reporter di TEMPO (1972-1995) – selama itu pula saya belum pernah membaca Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946). Sebab, selama di TEMPO saya langsung menulis tanpa tengok kiri-kanan. Saya malah heran, belakangan ada yang bilang, gaya tulisan saya dan tulisan beberapa kawan yang lain – dinilai sebagai jurnalisme literair.


Sesunguhnya TEMPO sangat beruntung – atau memang dirancang oleh GM, yang “terpanggil” oleh sejarah sebagai pendiri TEMPO dan pelopor “jurnalisme baru” di Indonesia – karena di sana ada sejumlah sastrawan: Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Isma Sawitri, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Usamah, Martin Aleida, dan belakangan si kembar Noorca Marendra dan Yudhistira Massardi, serta Amarzan Lubis, yang nama aslinya Amarzan Ismail Hamid. Tapi, juga sangat terbantu berkat kerja keras para reporter andal seperti Fikri Jufri, Susanto Pudjomartono, Toeti Kakiailatoe, fotografer hebat Ed Zoelverdi, editor bahasa Slamet Djabarudi, dan jangan lupa guru para wartawan: Amir Daud.


Percaya atau tidak, selama sembilan tahun, TEMPO tak pernah menggelar in-house training bagi para wartawannya. Maka, ketika menerbitkan buku panduan buat para redaktur, Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979), dalam kata pengantarnya GM mengakui, bahwa para wartawan TEMPO generasi pertama “tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali.” Bahkan ia berterus-terang, “Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya”. Dan “prosa sebagaimana mestinya” itu menurut GM ialah prosa yang “tidak ruwet”.


Karena itu, tulis GM, perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi (teknik) penulisan di TEMPO. GM, yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair dan eseis, juga mengaku, “Prosa yang baik ternyata tidak mudah, dan selalu perlu diperbaiki terus-menerus. Para penulis, yang paling berpengalaman pun, selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya”. Dari pengakuan GM itulah, tradisi jurnalisme literair dimulai di Indonesia – setidaknya, sekali lagi, menurut saya. Maksud saya, sekian tahun sebelum Jurnal Pantau terbit dan cenderung mengklaim sebagai “pelopor jurnalisme sastrawi”. Kala itu, saya memastikan bahwa GM sudah mengikuti perkembangan jurnalisme literair di Amerika.


Perlu dicatat, bahwa sekitar 10 tahun sebelum GM untuk pertama kalinya menerbitkan EKSPRES pada 1970, kemudian TEMPO pada 1971, jurnalisme literair baru mulai menggeliat di Amerika. Dua nama yang pertama kali boleh disebut, misalnya, Gay Talese dan Tom Wolfe. Dan belakangan muncul sejumlah penulis lain, termasuk yang paling saya gemari, John Hersey. Tapi, GM tak pernah bercerita kepada kami, setidaknya kepada saya, mengenai gaya menulis yang “basah dan berdaging” -- sebagaimana yang dimuat di Esquire, Atlantic, Harper’s, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, The New Yorker.


Yang pasti, sejak semula para redaktur TEMPO sudah menyajikan tulisan yang “basah dan berdaging”. Itu tak berarti bahwa mereka sudah mengerti apa itu jurnalisme literair. Sebab, baru pada 1979 mereka dikasih tahu bagaimana menulis yang baik, yang “layak TEMPO”, dalam sebuah buku kecil, Misalkan Anda Wartawan TEMPO – yang 17 tahun kemudian berganti judul menjadi Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Nah, bagi para wartawan yang mau belajar menulis dengan gaya jurnalisme literair, wajib hukumnya membaca buku Seandainya Saya Wartawan TEMPO saduran (alm) Slamet Djabarudi dari buku Feature Writing for the Newspapers, dan sepintas lalu boleh juga membuka-buka buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Santana Kurnia (Gramedia, Jakarta, 2002).


Oleh karena itu, jika kini ada orang bilang bahwa jurnalisme literair merupakan trend baru dalam pers Indonesia, sungguh saya tidak setuju! Bahkan saya berani bilang, bahwa sesungguhnya tak terlalu tepat jika Gay Talese, Tom Wolf, dan konco-konconya, disebut sebagai pelopor jurnalisme literair. Sebab, 10 tahun sebelumnya, pada 1953, tiga serangkai wartawan pendekar, yaitu S. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, sudah menulis jurnalisme literair dan dibukukan dalam sebuah buku Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik.


Bahkan jauh sebelumnya, 1926-1927, salah seorang perintis pers nasional Adi Negoro, sudah menulis laporan dengan gaya jurnalisme literair di majalah Pandji Poestaka, yang kemudian diterbitkan oleh Balai Poestaka (1939, tiga jilid), tapi baru dikoleksi oleh HB Jassin pada 1945. Ketika mewawancarai K.H. Abu Bakar Ba’asyir dan mereportase Pondok Pesantren Ngruki (Solo) untuk Jurnal Pantau (Mei 2000), saya menemukan sebuah buku di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari, Solo. Buku dalam bahasa dan huruf Jawa yang diterbitkan oleh Balai Poestaka (1921), yang ketika itu masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur, lebih dari 600 halaman.


Buku yang kemudian saya beli seharga Rp 300 ribu itu berjudul Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana (Perjalanan KPA Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia). Semula saya menduga, buku itu merupakan laporan perjalanan jurnalistik kedua setelah laporan R.M. Sosrokartono (yang punya nama samaran “Mandor Kloengsoe”) untuk koran New York Time. Ketika itu, kakak kandung R.A. Kartini tersebut meliput berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (1914-1918). Tapi, karena ternyata Sosrokartono kemudian lebih menekuni dunia kebatinan ketimbang jusnalisme, ia pun tak menulis laporan perjalanan jurnalistik. Lain halnya dengan Pangeran Koesoemadiningrat. Meskipun ia bukan jurnalis, catatan perjalanannya niscaya merupakan laporan perjalanan (keliling dunia!), yang pertama kali disusun oleh orang Indonesia.


Laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra seperti itulah yang saya maksud dengan jurnalisme literair. Tapi, itu tak berarti tulisan tersebut lantas bisa bernilai sebagai hasil sastra. Sebab, jurnalisme literair tetaplah karya jurnalisme, hanya cara atau gaya menulisnya “agak mendekati” gaya penulisan yang literair. Lebih dari itu, jurnalisme literair lebih mengutamakan deskripsi, penggambaran segala sesuatu secara detil, ditulis dengan konfirmasi yang seimbang. Sebagai contoh, tak usahlah jauh-jauh mencari sampai ke Amerika. Jurnalisme literair karya wartawan Indonesia cukup banyak. Bahkan, tak usah menengok ke belakang terlalu jauh sampai ke masa Perang Dunia I. Karya jurnalisme literair para wartawan Indonesia di tahun-tahun mutakhir juga cukup banyak. Misalnya, Dari Gunung ke Gunung (1950-an) oleh A. Damhoeri, laporan tentang suka duka para pemimpin dan pendukung PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat.


Mau yang lain? Sebutlah: Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tanri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Ibu Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan KH; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang kesenian tradisional di berbagai daerah; Selamat Tinggal Hindia (1993) oleh Pans Schomper, otobiografi anak Belanda di sekitar runtuhnya Hindia Belanda. Juga karya-karya Rosihan Anwar seperti Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi (1977); Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-I (1979); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986).


Adapun buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Kurnia bagus sebagai referensi, atau sebagai pelengkap bagi para pembaca buku Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Namun, buku yang dikemas apik oleh Penerbit Gramedia itu bukan tanpa cacat. Selain melupakan jejak sejarah jurnalisme literair di Indonesia, Septiawan juga keliru ketika menyebutkan nama penulis puisi tentang Nyi Eroh, wanita petani di Pasirkadu, Ciamis, Jawa Barat, yang berhasil membuat saluran air dengan memangkas bukit, dan akhirnya mendapat anugerah Kalpataru (TEMPO, 16 Juli 1988). Menurut Septiawan, puisi tersebut “laporan Isma Sawitri” (halm.180), padahal itu adalah puisi yang saya tulis berdasarkan laporan wartawan TEMPO Biro Bandung, Aji Abdul Gofar.


Kekurangan lain buku susunan dosen Unisba Bandung itu: hampir tak ada contoh karya jurnalisme literarir dalam pers di Indonesia masa kini. Padahal beberapa tulisan di Jurnal Pantau bisa dijadikan contoh. Begitu pula beberapa laporan TEMPO, terutama edisi lama. Meski tanpa deskripsi yang penuh warna atau basah, tulisan GM tentang meninggalnya Jack Lesmana (TEMPO, 23 Juli 1988), sangat bagus. Begitu pula tulisan tentang Titiek Puspa (TEMPO, 12 Nopember 1977). GM bahkan merekomendasi tulisan Jim Supangkat, sebuah resensi pameran lukisan, sebagai tulisan yang layak dicontoh, dan karena itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja redaksi.


Bacalah pula misalnya beberapa tulisan dalam rubrik Tamu Kita di majalah TEMPO. Misalnya, tulisan mengenai Goesti Poetri Mangkoenagoro VIII (TEMPO, 17 Mei 1975): Di Pracimosono, tiada suara pagi itu. Hening seperti biasa. Dari ruang khusus untuk menerima tamu pribadi itu hanya terdengar cericit burung. Lewat taman yang terpelihara apik di tengah balairung, cahaya matahari yang lunak menimpa sepertiga bagian permadani tebal yang terhampar di lantai berbunga....


Salah satu ciri jurnalisme literair ialah reportase yang deskriptif, penuturan yang naratif, penggambaran profil yang lengkap dan detil. Pendeknya, kemampuan reporter melukiskan suasana di sekitar tokoh atau suatu kejadian sebagai pendukung tulisan. Tapi, deskripsi tidak selamanya harus berupa kalimat, apalagi yang berpanjang-panjang. Seorang penulis yang baik ialah yang menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.


Masih sekitar tulisan tentang Irma Hardisurya, Ratu Indonesia 1975, di rubrik Tamu Kita, yang menarik ialah lead-nya yang dimulai hanya dengan satu kata: Pagi. Lalu diikuti kalimat pendek yang hanya terdiri dari empat kata saja: Matahari Bandung baru sepenggalah. Perhatikan, betapa penulisnya berusaha melukiskan suasana ketika ia sedang melakukan wawancara. Dan cukup dengan satu kata: Pagi. Perhatikan pula betapa ia – sebagaimana generasi lama TEMPO yang lain – berusaha menggunakan ungkapan lama yang ketika itu sudah sangat jarang digunakan: sepenggalah.


TEMPO memang berjasa menghidupkan kembali kosakata lama. GM mempopulerkan ujar, Bur Rasuanto memperkenalkan kosakata dari kampung halamannya, Palembang, santai. Putu Wijaya gemar menggunakan kata-kata yang sangat ekspresif, menggebrak, menggojlok, menonjok, menggebu; sedangkan Ed Zoelverdi, fotografer yang suka menulis dengan gaya yang sangat lucu itu, gemar menggunakan kosakata jenaka seperti kudu, melejit, nungging, dan ending sebuah cerita yang juga terdiri dari satu kata, diambil dari dialek bahasa lisan Betawi: Begitu. Kecintaan kepada bahasa, kegemaran berinovasi, dan kemampuan menggunakannya secara kreatif imajinatif, merupakan salah satu kekuatan jurnalisme literair.


Celakanya, kini sebagian terbesar wartawan, secara tak sadar, telah kejangkitan virus yang disebarkan oleh sebuah harian besar yang terbit di Jakarta. Tanpa merasa berdosa, dengan enteng mereka menggunakan kosakata yang salah: jelasnya, tandasnya, terangnya, akunya, bahkan juga batinnya atau batinku, sebagai pengganti katanya atau ujarnya. Barangkali mereka ingin membuat variasi. Padahal, orang Inggris saja hanya menggunakan say, says, said, tell, told – dan sama sekali tak berkeinginan membuat variasi.
Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas terjun melakukan reportase adalah goblok.***


---------------------------------------------------


*) Budiman S. Hartoyo, dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO, yang sampai berusia 69 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebutnya -- praktis selama hampir seperempat abad bekerja di TEMPO, sejak 1972 (setahun setelah pertama kali terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995. Sebelumnya ia bekerja di RRI Surakarta, dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI).
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia, majalah D&R, majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta, dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai redaktur eksekutif majalah dwipekan alKiah. Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998).
Selain sebagai wartawan profesional -- yang sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Namun, ia bukanlah penyair yang produktif. Dua puisinya, terakhir kali dimuat di majalah sastra Horison, Januari 2007. Ia baru menerbitkan dua kumpulan puisi: Sebelum Tidur (1972, sudah empat kali cetak ulang) dan Puisi-puisi Haji (bersama penyair Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri). Belakangan, ia sempat melakukan re-writing dua buku otobiografi: Marsekal Madya (Purn) Sri Bimo Ariotedjo dan pengusaha nasional Basyiruddin Rahman Motik.***

Tuesday, December 04, 2007

PUTU WIJAYA: "MENGARANG ITU BERJUANG!"

(Arsip majalah Berita Buku, Oktober/November 1995)

/ Budiman S. Hartoyo

Ia adalah seniman yang "berjuang" untuk hidup dari mengarang. Baginya, waktu harus digenggam, disiasati, agar bisa "dimainkan" hingga produktif. Begitu pula tema cerita dan lakon yang ditulisnya. Imajinasinya begitu liar, hingga tokoh-tokoh ceritanya "hidup" tak terkendali. Kreativitas yang luar biasa.

SIAPA pun akan kaget dan merasa terteror berhadapan dengan Putu Wijaya. Padahal, ia bukan garong atau teroris. Meskipun semua orang mngenalnya sebagai seniman, Putu tidak menampakkan diri sebagai "seniman" dengan rambut gondrong dan pakaian lusuh. Wajahnya tidak kuyu pucat karena kurang tidur atau lantaran terlalu banyak minum kopi dan merokok. Ia selalu tampil segar, dan gagah. Bahkan bisa dijamin ia akan tertawa ngakak terbahak-bahak jika orang menyebutnya lebih mirip seorang "jagoan". Atau pemuda masa kini.

Bayangkan. Tubuhnya yang tinggi kekar, dengan kulit sawo matang dan wajah keras itu, dibalut kaus oblong (lebih sering berwarna gelap, terkadang bergambar seperti kesukaan anak muda), celana jins (impor atau bikinan Cihampelas, Bandung), dan sepatu boot produksi Cibaduyut, atau sepatu kets seperti anak-anak muda. Dan di kepalanya selalu bertengger sebiji Baretta warna gelap, krem atau putih. Entah kenapa. Mungkin, siapa tahu, sebagai trade mark. Atau sekedar untuk menutupi kepalanya yuang botak berambut tipis itu.....

Tapi banyak orang, juga Putu sendiri, tidak ambil posing. Sebab, ia sudah "telanjur" dikenal sebagai seniman serba bisa dengan banyak ketrampilan: penulis cerita pendek, naskah drama, cerita dan skenario sinetron dan film, novel, essai, sutradara teater dan film. Bahkan pernah pula sebagai wartawan. Keistimewaan bangsawan Bali ini bukan hanya lantaran penampilan dan ketrampilannya, tapi juga tekadnya untuk menjadikan profesi kepengarangan sebagai sumber kehidupan.

Dan dia berjuang keras untuk itu. Tentu dengan tetap mempertahankan nilai sastra, tanpa tergelincir pada komersialisme. Ia tidak setuju pada pernyataan yang pernah dilontarkan oleh penulis lain, yang juga sangat produktif, Arswendo Atmowiloto, bahwa "mengarang itu gampang" – sebuah "rumus" mengarang yang sempat dibukukan, yang belakangan menjadi semacam panduan bagi para pemula. "Itu omong kasong," teriak Putu Wijaya dengan kening berkerut. Selama ini, Putu harus berjuang manaklukkan diri, waktu dan imajinasi untuk menulis.

Anda dikenal sebagai seniman serba bisa yang sangat disiplin dengan waktu, hingga sangat produktif.

Begini. Saya kan pernah bekerja di TEMPO. Ketika pertama kali bekerja di majalah itu, 1971, ada yang heran bahwa saya menjadi wartawan olahraga. Tapi justru di TEMPO itulah saya mendapat pelajaran berharga. Di sana saya dilatih oleh "budaya pers". Sebelum di TEMPO, untuk menyelesaikan sebuah cerita pendek, saya memerlukan waktu berhari-hari. Sebab, ketika itu menulis cerita pendek hanya sebagai kesenangan, menunggu datangnya inspirasi, tanpa target waktu. Ketika itu saya belum mengenal istilah dead line yang lazim di kalangan pekerja pers.

Kalau inspirasi macet atau sebuah kalimat patah, saya sulit melanjutkannya. Selama di TEMPO saya selalu ditekan dengan "batas waktu" yang disebut dead line itu. Saya belajar bekerja dengan "tekanan" untuk mengejar dead line, momok yang menakutkan itu. Walaupun bidang olahraga tidak saya sukai, tapi saya anggap sebagai tugas untuk mencari nafkah. Redaktur Pelaksananya Usamah, kebetulan juga wartawan dan dramawan. Dia selalu mengejar-ngejar saya agar segera menyelesaikan tugas tepat pada waktunya.

Dan di situ saya belajar menulis sesuatu yang semula tidak saya ketahui, menyusun persoalan, belajar bekerja dalam "tekanan" waktu. Jadi saya berlatih menghargai waktu. Tapi barangkali saya memang sudah punya "bakat" untuk berdisplin. Waktu kecil dulu, ayah selalu mengajarkan saya menghargai waktu. Beliau memuja tokoh-tokoh dunia yang berdisiplin keras, seperti Hitler, Napoleon, Roosevelt. Karena sangat menghargai waktu, beliau makan cepat sekali, sebab katanya hidup ini berkejaran dengan waktu.

Beliau mendidik saya bangun pagi-pagi, jangan sampai kedahuluan matahari. Memang saya tidak harus jadi tentara. Beliau ingin saya jadi dokter. Mungkin beliau kecewa, tapi saya tidak mampu. Sebenarnya beliau tidak terlalu memaksa saya juga. Kalau tidak berhasil ya tidak apa-apa, tapi yang penting disiplin dalam belajar, misalnya. Beliau itu tuan tanah, tapi gaya hidupnya sangat sederhana. Mungkin karena semangat disiplin tadi. Walaupun bungsu dari lima bersaudara, saya tidak menikmati kemanjaan. Saya harus hidup disiplin.

Sejak kecil saya juga terbiasa hidup dalam suasana kompetisi, tapi tidak sampai berkelahi. Dengan latar belakang seperti itulah, maka ketika bekerja di TEMPO saya jadi terbiasa dengan "tekanan" batas waktu itu. Selain itu, saya juga belajar memformat pikiran dalam bentuk yang sangat saya senangi – seperti pernah saya diskusikan dengan Goenawan Mohamad – yaitu mengungkapkan sesuatu dengan gaya "orang bodoh". Jadi, yang lebih bodoh bisa memahami, yang lebih pintar tidak tersinggung karena tidak merasa digurui. Jadi enak dibaca.

Saya juga belajar menulis laporan jurnalisme denga gaya sastra, belajar mencari idiom baru dalam mengungkapkan pikiran, memilih kata yang tepat, menghindari pengulangan kata. Tapi terkadang pengulangan juga diperlukan untuk memberi tekanan. Saya juga belajar mendengarkan orang lain. Kalau mengarang karya sastra kan tidak mendengarkan orang lain. Tapi jurnalisme kelompok TEMPO mengharuskan interpiu berbagai pihak, bothside coverage. Saya belajar menetukan angle dengan keterangan dari berbagai pihak, hingga imbang.

Lantas bagaimana Anda membagi waktu dan membagi perhatian terhadap beberapa kegiatan, seperti menulis, latihan teater, dan sebagainya?

Saya ini aktor. Nah, seorang aktor yang terbiasa dengan akting kan terbiasa pula "berteman" atau "mempermainkan" perasaan-perasaan. Secara sadar saya bisa mengendalikan perasaan saya: marah dulu, lalu dua menit kemudian berhenti, lalu tertawa. Keaktoran inilah yang membantu sekali. Lalu, saya juga sutradara yang biasa mengatur atau bekerja sama dengan orang lain. Di lain pihak, saya juga penulis yang bercerita kepada oprang lain. Tiga hal itu membentuk disiplin tersendiri dalam proses kreatif saya.

Bagaimana "mempermainkan" perasaan itu, contohnya begini. Suatu hari isteri saya keguguran di Bandung, Maret 1994. Lalu saya ke rumah Harry Roesli untuk mencari teman ngobrol. Tapi dia tidak ada, lalu saya tinggalkan surat. Setelah itu saya ke Jakarta menulis skenario sinetron komedi Warung Tegal untuk TPI. Malam itu ibu dan bapaknya Harry Roesli menelepon, menasihati saya agar bersabar. Saya terharu dan menangis. Setelah itu saya kembali ke komputer menerusklan menulis skenario komedi. Sementara air mata saya bercucuran, saya menulis komedi yang harus lucu. Pahit dan manis sekaligus, saya nikmati.....

Jadi saya bisa menunda atau mempercepat perasaan. Akrobatik perasaan seperti itu bukan berarti mengurasi rasa simpati terhadap suatu musibah, tapi semata-mata agar bisa survive dan bisa tetap menulis. Jadi semacam kiat untuk mengatur waktu dan perasaan dalam menghadapi situasi yang berbeda. Seperti misalnya ketika ayah saya wafat, 1970. Ketika itu saya sedang menulis mengenai sebuah diskotik. Saya tentu saja sedih, tapi kesedihan itu saya tunda sebentar, sekitar dua jam, untuk menulis suasana diskotik yang meriah dan gembira.

Saya bisa mengatur diri dan waktu. Misalnya, saya sedang menulis lalu merasa capai, saya lantas beristirahat, tidur 10 menit. Itu cukup. Karena saya terbiasa disiplin, maka 10 menit kemudian saya benar-benar bisa bangun, kembali segar, dan kembali bekerja lagi. Saya tidak pernah telanjur pulas hingga pekerjaan terbengkelai. Metabolisme saya tidak seperti orang normal yang perlu tidur selama delapan jam. Kalau ada waktu saya tidur, tapi kalau tidak ada waktu untuk tidur, ya bekerja terus. Tapi jam enam sore kalau tidak ada yang dikerjakan ya ngantuk. Jadi, tidur itu bisa dicicil....

Saya bisa "berdamai" dengan kehidupan dan pekerjaan. Dewi, isteri saya, sering menyetop saya bekerja dan menyuruh saya istirahat. Tapi saya harus berhenti pada saat dan momentum yang tepat, yaitu ketika inspirasi sedang jalan. Saya teringat pada buku Mochtar Lubis di tahun 1960-an dulu, Tehnik Mengarang, yang sangat menyenangkan. "Kalau kau meninggalkan tulisan pada saat kau sedang bergairah menulis, maka kau akan mudah kembali pada tulisan tersebut." Berhenti sebentar, mengendapkan gagasan, lalu kembali menulis hingga bisa nyambung lagi. Jadi, jangan berhenti menulis pada saat inspirasi kita macet. Itu berbahaya sekali. Tulisan itu akan jadi batu.


PUTU Wijaya cukup "kejam" terhadap diri sendiri. Selain istrerinya, Dewi, menjaga kesehatannya dengan ketat, ia juga berusaha mendisiplinkan diri. Ia tidak merokok dan selalu minum air putih. "Minum sebagai kebutuhan tubuh, bukan hanya karena haus saja," katanya. Masakan sehari-harinya tidak dibumbui dengan vetsin. Dan dengan cermat Dewi mampu makanan yang berkolesterol dan yang tidak. Tapi ia tidak jogging. "Itu kan membuang-buang waktu saja. Apalagi udara di sekitar kita sekarang ini kan sudah tercemar," katanya.

Dulu pernah yoga, kini Putu melakukan olah pernafasan "segi tiga". Satu menit menarik nafas, satu menit menahan nafas, satu menit menghembuskan nafas. Perlahan-lahan dan sangat halus. Mula-mula bisa selama dua-tiga detik, lama kelamaan diperpanjang sampai satu menit. Berapa kali? "Sampai capai, sampai badan terasa panas dan berkeringat. Itu efektif sekali," katanya. Selain itu, begitu bangun pagi ia melakukan sit up dan push up sebanyak 60 kali, lalu lari di tempat. Luar biasa. Bayangkan, tubuh Putu Wijaya yang tegap kekar itu berleleran keringat....

Anda juga menulis repertoire drama absurd. Ini sebagai pilihan, ataukah memang dengan sendirinya Anda tumbuh sebagai penulis naskah absurd?

Begini. Banyak orang mengira saya ini tegang terus, karena hidup penuh disiplin dan sangat efisien menggunakan waktu. Padahal tidak. Saya ini hidup teratur, dan cukup santai. Pendeknya, hidup ini di tangan saya, dan bisa saya mainkan semau saya. Jadi lebih enak. Mungkin karena hidup saya yang teratur inilah, terasa ada sesuatu yang hilang. Dan yang hilang itu ternyata muncul dalam imajinasi saya. Imajinasi itu liar sekali. Bukan imajinasi yang dicari-cari atau direnung-renungkan, tapi muncul dengan sendirinya.

Tentu orang tidak percaya bahwa saya tidak dipengaruhi atau belum pernah membaca Iwan Simatupang atau Bertolt Brecht. Saya membaca Iwan dan Brecht, dan pengaruh para seniman besar itu memang tak mungkin dihindari. Tapi saya ini hidup dan berkarya seperti "menggelinding" saja, tidak terlalu takut pada pengaruh. Lagi pula tidak mungkin pengaruh itu bisa menggerakkan kita untuk berkarya. Sebab, kalau hanya karena pengaruh, orang tidak mungkin menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi besar.

Kembali pada imajinsi. Imajinasi saya banyak sekali, dan bergerak sangat liar. Saya tidak merasa heran karena saya bisa menikmatinya. Imajinasi itu bergerak tanpa batas-batas ukuran manusia yang normal. Hal itu bagi saya normal saja, karena saya anggap sebagai karunia Tuhan kepada saya. Tapi kadang-kadang, di tengah "menikmati" imajinasi yang liar itu, rasio saya meloncat dan bertanya kaget, "Lho maksudnya apa ini?" Tapi lantas saya biarkan saja. Itu sebabnya saya takut membaca karya yang sudah jadi. Lebih baik menulis karya yang baru.

Dalam menghidupkan imajinasi itu, ada banyak hal yang tidak kita sadari, tidak logis. Imajinasi jalan dan bergerak terus. Dan kadang-kadang saya tidak mengerti, kehilangan jejak. Setelah dicari-cari sebabnya atau urutannya, kadang-kadang ketemu kadang-kadang tidak. Kalau tidak ketemu ya saya biarkan saja. Kalau itu bagus, saya biarkan. Tapi kalau tidak bagus, saya mengubahnya. Tapi terkadang setelah diingat-ingat, ketemu juga. Pernah suatu naskah berjudul Lho saya coba hilangkan "aku"-nya. Setelah diikut-sertakan dalam sayembara, jurinya memaki-maki, "Gila! Naskah apaan ini?"

Bertahun-tahun kemudian saya membacanya lagi dan mengubahnya. Saya kembalikan "aku"-nya, dan jadilah seperti sekarang. Satu lagi, naskah novel berjudul Merdeka, bertahun-tahun saya membiarkannya. Belakangan saya baca lagi, dan saya ingin mengubahnya. Tapi kemudian saya putuskan untuk tidak mengubahnya, lalu saya kirimkan ke Balai Pustaka. Ternyata diterima, dan diterbitkan. Novel ini unik dan liar sekali. Sampai-sampai sastrawan Satyagraha Hoerip, mengkritik saya. Katanya, saya tidak bisa membedakan antara "bablas", "liar", dan "merdeka".

Seharusnya ia tahu, bahwa omongan atau pendapat tokoh dalam karya saya kan bukan pendapat saya. Kalau ada anggapan seperti itu kan lucu sekali, dan juga sangat berbahaya. Tokoh saya itu mencari apa arti kemerdekaan. Mula-mula sebagai "keliaran", lalu "kebablasan", lalu dia mencari dan mencari terus apa arti kemerdekaan itu. Kalau saya sendiri sih, tentu tahu apa arti kemerdekaan. Tapi tokoh saya kan tidak tahu? Jadi, kehadiran tokoh itu tidak selalu mewakili pengarang. Setelah saya jelaskan begitu, mas Oyik bisa paham.


MAS Oyik adalah panggilan akrab untuk sastrawan (alm) Satyagraha Hoerip. Adapun (alm) Iwan Simatupang adalah sastrawan yang karya-karya novelnya dinilai absurd oleh beberapa kritikus sastra. Seperti, Kering, Ziarah, Merahnya Merah, Koong, Tegak Lurus dengan Langit. Banyak kritikus, antara lain Goenawan Mohamad, membandingkan Putu dengan Iwan. Ia menulis, "Seperti halnya cerita-cerita pendek Putu, fiksi Iwan juga memeriahkan yang mustahil dan ganjil sebagai bagian sehari-hari dari alam dan manusia, di mana (khususnya bila kita ingat novel pendeknya, Koong), pergantian antara gila dan geli acap kali tidak menempuh garis batas yang tegas -- sebuah pergantian nang mungkin hanya sekedar satu plesetan kosmis. Tetapi karya-karya Iwan seperti Merahnya Merah atau Ziarah atau Kering adalah cerita-cerita dengan hero yang gagah, tunggal, final. Dengan kata lain, sebuah kehadiran yang tak pernah terganggu-gugat, bahkan suatu tauladan stabilitas. Fiksi Iwan adalah ‘hero sentris’, fiksi Putu Wijaya nyaris tidak memilih satu sentrum manapun."

Anda menulis sejak duduk di sekolah menengah?

Sebenarnya sejak masih di SD saya sudah menulis. Saya selalu mendapat nilai bagus untuk pelajaran mengarang. Saya senang kalau disuruh oleh guru bercerita di depan kelas. Suatu hari saya bercerita sangat lancar dan kawan-kawan sekelas tertawa terbahak-bahak. Saya bercerita terus sampai bel berbunyi, tidak menyadari bahwa jam pelajaran sudah usai. Secara serius saya menulis ketika duduk di kelas III SMP. Cerita pendek saya yang pertama dimuat di harian Suluh Indonesia edisi Denpasar, dan kemudian di rubrik remaja majalah Mimbar Indonesia (Jakarta) yang bernama Fajar Menyingsing.

Sejak itu saya merasa bisa mereka-reka, dan ingin menulis buku, menjadi pengarang. Tapi ketika itu masih sangat sulit untuk menyusun kata-kata. Suka macet. Kemudian saya bertemu dengan Kirdjomuljo. Pengarang senior dari Yogya ini sering ke Bali. Ketika itu saya bersekolah di Singaraja. Malah dia juga diminta oleh kepala sekolah saya, Ibu Gedong, untuk melatih anak-anak bermain drama. Saya main dalam lakon Badak karya Anton Chekov terjemahan Nasjah Djamin. Ketika mempersiapkan pementasan, Kirdjo berkenalan dengan teman saya, anak orang kaya. Dia bilang, "Kalau saya jadi temanmu, punya mobil, punya mesin tulis, saya akan berjuang."

Saya heran, apa hubungan atara mengarang dan berjuang? Mengarang kok berjuang? Mengapa mengarang harus berjuang? Ketika itu yang disebut "berjuang" kan perang atau revolusi. Ternyata maksud Kirdjo, kalau sudah punya mesin tulis dan sebagainya, tidak dengan sendirinya kita bisa menjadi pengarang. "Kau harus berjuang untuk menjadi pengarang." Kata-kata Kirdjo itu benar-benar menusuk saya. Sejak itu, konsep "mengarang itu berjuang" benar-benar merasuk, mempengaruhi jiwa saya. Jadi, kreativitas itu harus diciptakan, kita harus bekerja keras untuk melahirkannya, bukan sekedar menunggu ilham.

Jadi, saya harus bekerja keras. Menubruk kesempatan apa pun. Ada sayembara mengarang, saya tubruk. Ada kesempatan menulis di majalah atau koran, saya tubruk. Saya benar-benar bekerja keras untuk menulis buku. Kalau perlu saya bacakan supaya orang mau membacanya pula. Tapi, saya tidak pernah berhasil menulis puisi. Puisi saya tidak pernah dimuat. Ketika itu Umbu Landu Paranggi sudah berkibar sebagai penyair. Saya menulis surat perkenalan kepadanya, tapi tidak dibalas. Kurang ajar! Sekarang dia di Bali, tapi tidak tahu di mana. Misterius sekali dia itu.

Minat saya mengarang barangkali karena ketemu dengan Kirdjo itu. Tapi, sebelumnya saya memang suka membaca. Ayah saya punya koleksi buku yang lumayan. Saya membaca komik Mahabharata dan Ramayana-nya RA Kosasih, cerita Winnetouw-nya Karl May. Saya juga membaca koleksi buku abang saya. Yang paling mngesan ialah Komedi Manusia-nya William Saroyan, juga Dongeng-dongeng Anderson terjemahan Darmawidjaja. Sampai sekarang sudah sekitar 500 cerita pendek saya tulis. Buku sekitar 30-an, terdiri dari novel dan kumpulan cerita pendek. Yang akan terbit kumpulan esei yang belum dipublikasikan.

Penyair Sapardi Djoko Damono tertarik pada kumpulan esei itu, karena katanya, merupakan "gabungan" antara puisi, cerita pendek dan esei. Judulnya Zat, segera akan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus. Juga akan terbit kumpulan cerita pendek saya, Yel, judulnya sama dengan naskah drama saya. Naskah drama saya yang berjudul Zat juga ada. Skenario film sekitar 15, tapi yang jadi film hanya beberapa. Skenario sinetron banyak. Ada Pas sebanyak 52 seri, ada None 39 biji, Warung Tegal 20 buah, yang terakhir Jari-jari Cinta, baru selesai tiga seri. Semuanya hampir 100 naskah.

Banyak orang berpendapat sastra kita lesu. Bagaimana pendapat Anda?

Tidak lesu, ah. Pengarang menulis terus, buku terbit terus. Cuma publlikasinya yang kurang, sering kali buku-buku sastra tidak terpampang di toko-toko buku. Selain itu, masyarakat kita lebih banyak memperhatikan hal-hal lain, seperti sinetron atau film di televisi, meski sejak dulu pun perhatian orang pada sastra memang sedikit. Apalagi sekarang perhatian masyarakat sudah jauh lebih kompleks. Dan banyak pengarang yang tidak menganggap mengarang sebagai pekerjaan. Setelah kawin dan punya pekerjaan lain, mereka tidak mengarang lagi. Karena mereka menganggap, mengarang itu tidak bisa menjadi sumber penghasilan.

Meskipun buku laris, pengarang masih sulit hidup karena pajaknya sangat besar, 15%. Sementara royaltinya cuma 10%. Ini kan cilaka! Karya sastra yang mencerdaskan bangsa dan memperhalus budi pekerti mestinya dipajak 0 prosen. Celakanya, karena pajak yang sangat besar itu, penerbit terpaksa menekan pengarang. Juga karena tidak ada jaminan bahwa buku akan laku. Karya sastra mestinya mendapat subsidi berupa keringanan pajak atau harga kertas untuk buku-buku sastra diturunkan. Atau buku-buku itu diborong oleh pemerintah. Dan jangan lupa: pelajaran sastra di sekolah harus digalakkan.

Di lain pihak, mengapa majalah sastra sulit hidup?

Tidak hanya di Indonesia, di mana-mana majalah sastra itu sulit hidup. Kesepian, miskin, dan honorariumnya paling kecil. Menurut saya, sastra itu janganlah dikapling-kapling. Sastra harus "bergerilya" masuk ke semua sektor kehidupan. Sebenarnya kesenian kita itu kan menyatu dengan kehidupan rakyat. Hanya kemudian karena pengaruh cara berpikir orang Barat, kita lantas mengkapling sastra, lalu ada majalah sastra. Mula-mula ketika dinobatkan, sastra menjadi "raja" di kapling itu, tapi lama kelamaan tidak berharga karena tidak ada kaitannya dengan kehidupan.

Karya sastra tidak harus dimuat di majalah sastra. Majalah sastra boleh saja ada, tapi kalau hidupnya Senin-Kemis ya jangan disesali. Lebih baik sastra muncul di berbagai media massa seperti sekarang. Di harian Pos Kota pun saya pernah menulis cerita pendek. Dan di media massa seperti itu belum tentu mutu cerita pendeknya jelek. Malah yang di majalah sastra ada cerita pendek yang mutunya lebih buruk. Jadi, sastra mustri "menyerbu" dan "bergerilnya" di mana-mana. Tidak harus terpuruk di sebuah kapling yang namanya majalah sastra.

Anda hidup dari mengarang. Bagaimana caranya?

Dulu saya mendapat nafkah ketika bekerja di TEMPO, sehingga bisa bebas mengarang. Saya tidak memberi beban apa-apa kepada karangan saya. Lain halnya kalau semata-mata hanya mengarang sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Itu mungkin bisa. Dengan begitu saya memberi dua tugas kepada karangan saya: memberi hidup kepada saya dan memberi kehidupan kepada karangan itu sendiri. Dengan bekerja keras dan disiplin, saya kira kita bisa hidup dari mengarang. Meskipun hidup sederhana. Tapi, kalau kita menginginkan hidup yang lebih enak lagi, ya harus bekerja lebih keras lagi.

Artinya, kita harus menganggap mengarang sebagai pekerjaan. Seminggu dua kali menulis cerita pendek, saya kira bisa menghidupi pengarang. Apalagi kalau kita juga menulis berbagai skenario sinetron atau film. Mengerjakan film satu kali setahun kan sama dengan bekerja di TEMPO selama setahun. Jadi klop. Apalagi sinetron kan merupakan kelipatan sekian kali dari film. Nah, di tengah kesibukan bekerja kreatif seperti itu kita harus selalu "terjaga". Tapi, dalam keadaan kepepet dan terpaksa pun, kita harus waspada dengan mutu.

Jadi, saya tidak pernah merasa hina menulis di majalah pop seperti Aktuil yang terbit tahun 1970-an di Bandung, atau di harian Pos Kota atau Sinar Pagi (keduanya terbit di Jakarta), seperti halnya saya juga menulis di majalah wanita seperti Femina atau majalah sastra Horison. Dan gaya saya tetap saja terjaga. Masih seperti dulu ketika saya menulis untuk TEMPO, bisa dibaca oleh semua orang, dari menteri sampai tukang becak, "enak dibaca dan perlu". Semua orang bisa mengerti, bisa paham. Seperti motto majalah Minggu Pagi yang terbit tahun 1950-an di Yogya, "enteng berisi." Nah. Tapi, justru itulah yang sulit.

Anda lahir sebagai orang Bali, tapi tampil sebagai pengarang garda depan dengan karya-karya absurd. Jangan-jangan ada yang bilang Anda bukan orang Bali lagi karena sudah kehilangan akar radisi.

Banyak orang tak punya referensi tentang Bali sehingga yang dilihatnya hanyalah Bali yang fisik saja. Tapi, kalau Anda baca karya-karya saya, dan Anda tahu tentang Bali, ya itulah Bali. Orang Bali yang membaca tulisan saya bisa merinding. Ada naskah drama saya, Awas (1979). Suatu hari saya ketemu orang Bali di Yogya yang sempat menyaksikan drama itu. Ia merinding karena imaji-imajinya yang khas Bali. Beberapa waktu lalu ketika saya bawa drama ke Brunei Darussalam, ada orang Bali yang nonton merasa seperti mendengar kidung Bali, gending Bali. Padahal drama itu abstrak dan modern sekali. Dan secara fisik atau formal tidak ada "Bali"-nya.


PUTU Wijaya lahir dan besar di Bali. Dan ternyata tetap berakar di sana. Imajinasinya yang liar, yang suka aneh-aneh seperti tampak pada karya-karyanya, agaknya tak lepas dari "roh Bali" yang oleh sebagian orang dinilai absurd. Gending, kidung, tarian, atau kehidupan yang menyatu dengan kesenian, barangkali juga absurditas itu sendiri. Seperti lukisan tradisional Bali yang tanpa fokus, yang "liar" dan campur aduk: ada upacara ngaben, pemujaan di pura, skuter lewat, anak-anak bermain, atau adegan humor lainnya.

Sastrawan berdarah bangsawan itu bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Ia lahir di Puri Anom, Saren, Kangin, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Ia anak ketiga, bungsu, dari pasangan I Gusti Ngurah Raka (wafat 1970) dan Mekel Erwati (wafat 1992). Resminya ia bergelar sarjana hukum dari Jurusan Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1969, juga pernah kuliah di ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film) selama tiga tahun, dan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) selama setahun, semuanya di Yogyakarta. Menulis sejak masih duduk di bangku SMP, cerita pendeknya yang pertama berjudul Etsa, dimuat di harian Suluh Indonesia edisi Denpasar.

Pertama kali ia bermain drama ketika masih duduk di bangku SMA dalam lakon Badak terjemahan Nasjah djamin dari karya dramawan Rusia kaliber dunia, Anton P. Chekov, disutradarai oleh penyair Kirdjomuljo. Sebelum bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan WS Rendra (Yogya, 1967-69), ia sudah mendirikan kelompok teater sendiri. Belakangan ia hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Teater Kecil-nya Arifin C. Noer. Sempat bermain sekali dengan Terater Populer-nya Teguh Karya, selanjutnya ia mendirikan grup sendiri, Teater Mandiri (1971). Sejak itu, setiap tahun Teater Mandiri mementaskan naskah-naskah karya Putu di Taman Ismail Marzuki dan Gedung Kesenian Jakarta.

Pernah bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres dan TEMPO, kemudian pemimpin redaksi majalah Zaman, pengalaman kerja keseniannya di luar negeri sangat beragam. Ia pernah tujuh bulan bekerja di lingkungan masyarakat komunal petani di Itoen (Kyoto, Jepang) yang menganggap kerja sebagai ibadah, juga sempat mengikuti International Writing Program selama delapan bulan di Iowa, Amerika Serikat, kemudian bermain drama di Festival Teater Nancy, Prancis. Belakangan ia kembali ke AS sebagai dosen dan sutradara tamu atas undangan Yayasan Fulbright (1985-88).
Ketika itu ia mementaskan naskah Gerrr di Madison, Connecticut, dan Aum di LaMaMa, New York. Ia juga membawa Yell bermain keliling AS dalam rangka program KIAS (Kebudayaan Indonesia – Amerika Serikat, 1991). Tahun berikutnya ia mendapat professional fellowship dari The Japan Foundation untuk menulis novel sekaligus sebagai dosen tamu di Center for Southeast Asian Studies, Universitas Kyoto, Jepang. Prestasinya di dunia film pun cukup meyakinkan. Ia menyutradarai tiga film (Cas-Cis-Cus, Zig-Zag, Plong), tiga sinetrion serial (Pas, None, Warteg), dan menggondol tiga Piala Citra untuk skenario film layar lebar (Perawan Desa, Kembang Kertas, Ramadhan dan Ramona).
Selain mendapat SEA Write Award (Bangkok, 1980), ia juga mendapat Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1991). Beberapa karyanya (cerita pendek, novel, drama) telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, antara lain, Arab, Belanda, Jepang, Jerman, Prancis, Rusia, Thai, Inggris. Menurut penyair dan budayawan Goenawan Mohamad, cerita Putu bisa memikat karena pembaca "terpaksa" ingin menguntitnya terus, tak tahu ke mana tiba-tiba ia akan berbelok. Atau berkelit ke arah yang tidak terduga.
Selanjutnya mantan pemimpin redaksi Majalah Berita Mingguan TEMPO itu menulis dalam kata pengantarnya untuk kumpulan cerita pendek Blok: "Ia tak hanya berkecamuk di dataran dunia di luar kesadaran. Ini terutama nampak setelah Bila Malam Bertambah Malam, sebuah drama tetapi juga sebuah novel pendek tentang sengketa keluarga, dan dalam arti batas tertentu juga Pabrik, sebuah cerita dengan beberapa tokoh dalam satu latar sosial yang kecil. Pada perkembangan berikutnya, fiksi Putu Wijaya – dan ini dengan kuat mulai nampak dalam Telegram, sebuah novel – adalah catatan kesadaran yang berdenyut, berpusar dan menendang, seakan-akan tanpa awal dan tanpa akhir. Pada gilirannya, yang hadir adalah multiplisitas. Mengasyikkan: bersama dan di dalam sang cerita kita pun bergerak, naik turun, di pelbagai lipatan, tak putus-putusnya."
Blok adalah kumpulan 57 cerita pendek, tebal 520 halaman, terbitan PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994. Buku ini cukup istimewa, dikumpulkan oleh Dewi Pramunawati, sang isteri, untuk memperingati ulangtahun ke-50 sang suami. Blok juga sebagai tanda syukur dalam menunggu kehadiran bayi pertama setelah mereka menikah selama sembilan tahun. Sayang, yang ditunggu-tunggu keguguran pada hari Lebaran 1994. Isteri Putu Wijaya yang pertama (kemudian berpisah) ialah artis Renny Djajusman, dengan seorang putri yang kini sudah dewasa, Yuka Mandiri. Kumpulan cerita pendek ini merupakan retrospeksi dari sekitar 500 cerita pendek yang berserakan di berbagai media massa. Ada yang ditulis ketika Putu baru saja pindah ke Jakarta (Ini Sebuah Surat, 1969), ketika masih bujangan dan bekerja di TEMPO (Budak), ketika berada di AS (Keris), ketika di Kyoto (RRT), Juga ada yang belum dipublikasikan (Babu, 1994).
Selain Blok, kumpulan cerita pendek Putu yang lain, Es, Bom, Gres, Protes. Putu juga menulis beberapa novel, antara lain, Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Stasion, Keok, Sobat, MS, Ratu, Tak Cukup Sedih, Tiba-tiba Malam, Lho, Pol, Perang, Nyali, Merdeka. Novel Lho berangkat dari "sensasi pikiran" yang timbul secara mendadak untuk membunuh. Dengan ekstrim Putu menarik berbagai pikiran tokoh-tokohnya hingga kewarasan dan kegilaan menyatu. Dan ketika sang tokoh sadar dan berdamai dengan kenyataan kehidupan, ia menemukan dirinya terbaring di sebuah ranjang sebuah rumah sakit jiwa: "Lho".
"Membaca cerita pendek Putu – yang diperluas kandungan setiap kata-katanya – tak ubahnya membaca roman yang panjang (dwilogi, trilogi, atau tetralogi), karena cerita-cerita pendek itu seperti halnya perjalanan kehidupan manusia," tulis kritikus sastra H.B. Jassin untuk kumpulan cerita pendek Blok. "Bukan saja dalam abad tempat ia hidup, akan tetapi juga dalam hidupnya di masa silam, sementara ia mengejar abad yang berlari ke masa depan yang tiada bertepi dan tiada berakhir," lanjutnya.
Setelah membaca cerita pendek Putu, misalnya yang dikunmpulkan dalam Protes, kesan yang umumnya timbul ialah, karya-karya itu kaya imajinasi dan simbol, sugestif dan dinamis. Kerap kali seperti protes terhadap bentuk pengucapan literer yang konvensional. Dalam cerita-cerita pendek itu, Putu sesekali memang melontarkan kritik sosial, tapi tetap konsisten dengan konsep "teror mental"-nya yang menggemaskan. Protes semakin mempertegas sosok Putu sebagai seniman garda depan yang serba bisa, enerjik dan produktif.
Tapi, apa kaitan cerita pendek dengan "teror"? Dalam sebuah eseinya berjuduil Cepen, Putu Wijaya menulis:

Sebuah cerita pendek bagaikan mimpi baik atau buruk. Tidak terlalu penting urutan atau jalinannya, karena kadang-kadang ada, kadang kala tidak. Yang utama, pekabaran yang dibawanya, daya pukau, daya magis, tamsil, ibarat, tikaman jiwa, firasat dan berbagai efek yang diberondong menyerang siapa yang mengalami mimpi. Ia bisa gamblang, jelas, mendetil dan persis melukiskan apa yang akan terjadi, tetapi ia juga bisa buram sama sekali sebagai ramalan yang memerlukan tafsir. Cerita pendek adalah teror mental kepada manusia.

Bacalah bagaimana Putu Wijaya membuka ceritanya. Misalnya, ketika ia memulai bercerita dalam Merdeka, dalam kumpulan cerita pendeknya Protes. Ia menulis pergulatan batin tokohnya dengan gamblang dan menarik:

Di dalam penjara, Bandot bermimpi tentang kebebasan. Kemerdekaan, kenikmatan, keleluasaan, keadilan yang lebih baik, kebahagiaan, kepuasan, dan pembalasan dendam. Ia telah melakukan serentetan kejahatan yang menyebabkan alat negara menyeretnya ke meja hijau dan kemudian palu hakim menendangnya ke bilik jeruji besi. Tetapi, setiap malam ia bukannya merasa telah membayar dosanya, ia justru menganggap dibusukkan secara sewenang-wenang. Jiwa raganya berontak, berang, dan semakin mendendam.....

***

Friday, November 23, 2007

SOEBAGIJO I.N.: PEMBURU PARA TOKOH

(Arsip majalah Berita Buku, Agustus 1996).


/ Budiman S. Hartoyo


JAGAT perbukuan Indonesia niscaya tak asing dengan nama Soebagijo I.N. Demikian pula para wartawan dan pengarang senior. Selama tak kurang dari setengah abad, Soebagijo Ilham Notodidjojo (begitu nama lengkapnya) dikenal sebagai penulis biografi sejumlah tokoh nasional. Dan, sampai di hari tuanya, bapak enam anak dan kakek tujuh cucu ini tetap setia dengan profesinya sebagai wartawan dan pengarang. Ia lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 5 Juli 1924.


Bahkan, inilah yang mengagumkan, selama ini ia menghidupi keluarganya hanya dengan hasil goresan penanya belaka. Sampai sekarang! Dengan bangga, dan tentu disertai rasa syukur, ia menyatakan bisa hidup dari menulis. Dan semua anak-anaknya sudah mentas alias “jadi orang”. Cucu pertamanya bahkan sudah menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi. Rumahnya di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, ukuran 22 X 12 meter persegi, juga dibeli dan dibangun dengan penghasilannya sebagai penulis.


Sampai di hari tuanya kini, meski harus cukup berhati-hati lantaran penyakit vertigo yang diidapnya, Pak Bagijo masih tampak sehat. Agaknya “kamus pikun” sama sekali tak dikenalnya. Gerak-geriknya masih lincah, cara bicaranya masih renyah, ingatannya masih jernih. Usai shalat Shubuh, ia masih rutin olah raga jalan kaki di sekitar rumahnya selama kurang lebih 15 menit. Ia lebih banyak berada di rumah: membaca, mengkliping koran, menulis. Kadang-kadang juga menerima tamu, termasuk beberapa wartawan yang menginterviunya.


Akan tetapi ia juga masih berusaha menyempatkan diri menghadiri seminar, diskusi atau pertemuan-pertemuan yang dianggapnya penting, yang umumnya berkaitan dengan sejarah atau pers. Uniknya, sampai saat ini ia masih menulis dengan mesin ketik, bukan komputer. “Saya sering diledek oleh anak-anak dan cucu saya. Mereka bilang saya sudah kuno, karena masih menggunakan mesin tulis,” katanya sembari tertawa terkekeh-kekeh. Namun, tak kalah dengan penulis yang menggunakan komputer, sampai kini sudah puluhan buku lahir dari tangannya. Sebagian besar berupa biografi para tokoh nasional, politisi atau negarawan pelaku sejarah. Selebihnya buku mengenai masalah lain, baik berupa terjemahan atau hasil suntingan.


Beberapa biografi itu, antara lain, Wilopo 70 Tahun (1969), Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang (1980), Sudiro, Pejuang Tanpa Henti (1981), S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa (1982), K.H. Masjkur, Sebuah Biografi (1982), K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia (1982), Mr. Sudjono, Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942 (1983), Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah (1985), Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia (1987).


Biografi pertama yang ia tulis ialah mengenai Nyoman Idayu, ibunda Bung Karno, Pengoekir Djiwa Soekarno (1949). Belakangan ia juga menulis biografi Bung Karno dalam bahasa Jawa, Boeng Karno saka Soekamiskin tekan Istana Merdeka (cetakan ke-5, 1960). Buku lainnya kebanyakan mengenai pers. Misalnya, Lima Windu Antara, Sejarah dan Perjuangannya (1978), atau biografi singkat para pelopor pers nasional, Jagat Wartawan Indonesia (1981), yang pernah diresensi di harian Asahi Shimbun, Tokyo, edisi 23 Juli 1981.


Ada satu hal yang mendorong Pak Bagijo tertarik menulis biografi para tokoh nasional. Ia beruntung, gairahnya sebagai wartawan mulai marak di masa awal revolusi bersenjata, ketika bangsa Indonesia tengah merebut kemerdekaan. Dalam usia menjelang 30 tahun itu, ia mengenal dari dekat para the founding fathers Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agoes Salim, Wondoamiseno, Soekiman, Natsir, Kasman Singodimedjo, Wilopo, Tan Malaka, Alimin, Ki Hadjar Dewantara, Amir Sjarifuddin, Arudji Kartawinata. Dan masih banyak lagi.


Selain itu ada tiga tokoh pers dan sastra yang mendorong semangatnya untuk meneruskan minatnya sebagai penulis biografi. Misalnya, Ayat Djajadiningrat. Pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Ekspres, yang terbit di Surabaya ini, sekitar tahun 1950-an sempat memuji dan mendorongnya untuk menulis biografi para tokoh nasional. “Kalau bisa juga tokoh-tokoh lain, termasuk para pengusaha, dan sebagainya. Kelak hasilnya bisa untuk bekal sesudah pensiun, “ kata Ayat ketika itu.


Dalam perjalanan keliling Amerika Serikat atas undangan lembaga penerangan AS, USIS (1957), Djamaluddin Adinegoro – seniornya yang kelak diakui sebagai salah seorang perintis pers nasional – menyatakan kepada Soebagijo, agar selain menjadi wartawan juga berusaha keras menjadi pengarang. Belakangan, sastrawan dan sejarawah Prof.Dr.Brigjen Nugroho Notosusanto pun – yang sering ditemuinya untuk mencari bahan penulisan biografi para pelaku sejarah – juga mendorongnya agar meneruskan profesinya sebagai penulis biografi.


Kekagumannya terhadap seorang tokoh juga merupakan salah satu motivasi yang mendorongnya untuk menulis biografi. Di masa remajanya, suatu hari di tahun 1941, ketika belajar di sekolah guru HIK Muhammadiyah Yogyakarta, ia shalat Jumat di masjid Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ketika itu kebetulan yang berkhotbah ialah K.H. Mas Mansur, ketua umum PP Muhammadiyah, yang juga salah seoarng tokoh nasional yang disejejarkan dengan Soekarno dan Hatta.


Jumat siang hari itu, cuaca sangat panas. Dan Soebagijo datang terlambat, karena itu ia hanya kebagian tempat di luar masjid. Ketika shalat dimulai, dan sang imam membaca surah Al-Fatihah, Soebagijo terguguk, airmatanya meleleh. “Ketika itu suara Kiai Mas Mansur mengalun, sungguh-sungguh menyentuh perasaan, menunsuk jantung di rongga dada saya. Senar-senar jiwa yang paling halus bergetar. Dan begitulah yang terjadi, saya menangis terisak-isak. Ya, shalat sambil menangis terisak-isak,” tulisanya dalam prawacana untuk buku biografi K.H. Mas Mansur .


Lalu tulisnya lagi, “Nama Mas Mansur terkenal di mana-mana, sebagai seorang pemimpin yang tidak berambisi, seorang yang polos, seorang alim, seorang organisator dari pesantren yang mampu bergerak di kalangan terpelajar atau intelektual. Masih nampak selalu di pelupuk mata, bagaimana wajah raut mukanya, cara dia berjalan, berbicara, mengucapkan pidatonya, caranya berpakaian, yang semuanya menggambarkan serba kesederhanaan.”


Dan 40 tahun kemudian, setelah Jumat siang yang berurai air mata itu, Soebagijo menulis biografi orang besar itu.


KARIR Soebagijo dimulai sebagai sastrawan yang menuliskan karyanya dalam bahasa Jawa. Cerita pendeknya, Nyuwun Pamit, Kyai (Mohon Pamit, Kyai), yang bercerita tentang pergulatan batin seorang anggota Hizbullah – lasykar rakyat yang beranggotakan para pemuda pejuang Islam di awal perjuangan kemerdekaan – dimuat di majalah Pandji Poestaka, Maret 1945. Sedangkan karya geguritan atau puisinya, Gegambaran (Perumpamaan) dimuat di majalah Api Merdeka, Januari 1946, terbitan Ikatan Pelajar Indonesia, Yogyakarta.


Dua karya Pak Bagijo itu belakangan dimuat dalam antologi karya sastra berbahasa Jawa, Javanese Literature since Independence, an Anthology (1979) dengan kata pengantar Dr. J.J. Ras, guru besar universitas Leiden, Belanda, yang juga pakar bahasa dan sastra Jawa. Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (1985) itu, Pak Bagijo disebut sebagai salah seorang “pelopor generasi penulis cerita pendek dari masa sesudah perang.”


Sebelumnya, masih di bangku sekolah di masa pendudukan Jepang, ia sudah menulis di majalah Indonesia Merdeka terbitan Djawa Hookoo Kai, sebuah lembaga kebudayaan bentukan Jepang. Dan di awal masa kemerdekaan, ia menjadi pemimpin redaksi majalah Api Merdeka (PB IPI) dan Djiwa Islam terbitan PP Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Yogyakarta. “Ketika itu saya belum profesional. Baru setelah menjadi wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara pada 1946, saya mulai profesional,” ujarnya. Dan sejak itulah ia mengenal dari dekat para tokoh nasional.


Pengalamannya sebagai wartawan ia ceritakan dalam sebuah artikel berjudul Menjadi Wartawan “Antara” Setengah Abad Yang Lampau yang dimuat dalam buku Mengabdi kepada Republik melalui Kantor Berita Antara (1985). Dalam buku yang disuntingnya itu, dimuat pula sejumlah pengalaman para pensiunan wartawan, markonis dan pegawai Antara lainnya. Masih segar dalam ingatan, tugasnya pada minggu pertama magang sebagai wartawan yunior. Kala itu, ia meliput pertemuan Sri Sultan HB IX dengan para bupati di seluruh Yogyakata, 1946, untuk konsolidasi Republik.


Ketika itu, dalam setiap kesempatan, misalnya dalam rapat-rapat umum, para artawan mendapat kehormatan luar biasa. Bayangkan pengalaman Pak Bagijo kala itu: meski cuma berpakaian sederhana dan mengendarai sepeda alias “kereta angin” ia – bersama wartawan yang lain – mendapat tempat duduk di pentas, sejajar dengan para pembesar seperti presiden, wakil presiden, panglima besar, menteri. Padahal, teman-teman sekolah, termasuk para gurunya, berjubel di lapangan yang siang itu panas terik....


Menurut Pak Bagijo, dibanding dunia pers sekarang, “dulu kami lebih bebas menulis.” Lagi pula, ketika itu, para wartawan sangat akrab dengan para pemimpin nasional. Pak Bagijo, misalnya, di akhir tahun 1948 pernah diajak oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam satu mobil. Ia duduk di jok belakang, mendengarkan beberapa hal mengenai situasi kemiliteran saat itu. Ia sendiri, sehari-hari memang sering bertemu dengan sang jenderal dalam pengajian Perserikatan Muhammadiyah di belakang Masjid Agung, Kauman, Yogyakarta.


Padahal, ketika itu ia baru dua tahun menjalani magang sebagai wartawan yunior. Di tahun itu pula, ketika Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem, kembali dari Kaliurang setelah berunding dengan Belanda, Pak Bagijo mencegat dan mewawancarainya sambil jalan kaki di Jalan Pakuningratan, Yogyakarta. Bahkan ia juga sempat berkenalan dengan para anggota delegasi RI itu. Ketika itu, tutur Pak Bagijo, para menteri hidup sederhana, kalau perlu jalan kaki jadilah. Ketika itu mobil penjemput Mr. Roem kebetulan mogok....


Tiga tahun menimba pengalaman di kantor berita, Pak Bagijo ingin mencoba berdiri sendiri. Belakangan, ia tampil sebagai wakil pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat, Surabaya. Akan tetapi akhirnya, 1957, ia kembali menjadi wartawan Antara, kali ini di kantor pusat Jakarta. Di sanalah ia menduduki jabatan yang cocok dengan minatnya sebagai penulis biografi yang membutuhkan bahan dokumentasi, yaitu Kepala Perpustakaan dan Riset (1982). Ia juga sempat menjadi kepala perwakilan LKBN Sntara di Beograd, Yugoslavia (1966-1968).


Di tengah kesibukannya sebagai wartawan dan penulis buku, ia masih sempat menjadi penulis lepas mengenai berbagai hal di sejumlah media massa, terutama sejarah pers nasional. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Jawa. Bisa dimaklum, sebab di tahun 1950-an, selain menjadi redaksi Panjebar Semangat, ia juga mengasuh Taman Putra (lembaran anak-anak), Tjrita Tjekak (lembaran cerita pendek) dan Poestaka Roman (lembaran untuk novel), semuanya dalam bahasa Jawa.


Sejak tahun 1950-an pula, sampai 10 tahun kemudian, Pak Bagijo (dengan nema samaran “Haji SIN”) terkenal sebagai penulis kisah serial di majalah Minggoe Pagi, Yogyakarta. Rubrik yang sangat disukai oleh para pembaca itu ialah Spionage contra Spionage, yang kemudian dilanjutkan pemuatannya selama beberapa tahun di harian Berita Buana, Jakarta. Dengan mudah ia menulis kisah spionage di masa Perang Dunia I dan II itu, sebab memiliki koleksi sejumlah buku mengenai hal tersebut.


Menurut catatan Djojosantosa dalam bukunya, Taman Sastrawan (CV Aneka Ilmu, Semarang, 1990), sejumlah media yang memuat tulisan Soebagijo I.N. sejak tahun 1950-an, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, antara lain, Menara Merdeka (Kediri), Panjebar Semangat, Djaja Baja, Soerabaja Post, Soeara Oemoem (Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Nasional, Mekarsari, Minggu Pagi (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang), Kompas, Berita Buana, Warna Sari (Jakarta). Selain menggunakan nama asli, Pak Bagijo beberapa kali juga menggunakan nama samaran, seperti Pak SIN, Haji SIN, Satrio Wibowo, Anggajali, Damajanti, dan Endang Moerdiningsih.


Selain menulis, Pak Bagijo juga suka berorganisasi. Sejak masih anak-anak, ia sudah menjadi anggota kepanduan Muhammadiyah, Hizboel Wathan, sementara di masa remaja ia menjadi anggota staf Pengurus Besar Ikaran Peladjar Indonesia (PB IPI), dan sebagai pemuda ia aktif sebagai anggota Pengurus Besar Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PB GPII), keduanya berkantor pusat di Yogyakarta. Ikut mendirikan Himpunan Pernerjemah Indonesia (1970), belakangan ia menjadi ketua HPI Komisariat Jakarta Raya. Setelah pensiun dari Antara (1981), bersama para pensiunan Antara yang lain, ia mendirikan Kerukunan Purnantara (kemudian berganti menjadi Penantara), dan ia terpilih sebagai wakil ketua III (1986).


Walhasil, masyarakat perbukuan -- tentu saja juga pers Indonesia -- sangat menghargai jerih payah dan goresan pena Pak Bagijo. Akan tetapi secara formal, ia pernah menerima penghargaan yang memang layak dan pantas diterimanya. Pertama, Hadiah Buku Utama, penghargaan sebagai penulis buku terbaik dari Yayasan Buku Utama (1989), dan kedua Hadiah Sastra Jawa dari Yayasan Rancage (1994), atas jasanya yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan sastra berbahasa daerah, dalam hal ini bahasa Jawa.


***

Saturday, January 27, 2007

ALI AUDAH, SASTRAWAN YANG TIDAK "MAKAN SEKOLAHAN"

(Arsip majalah Berita Buku, Januari 1996).


Oleh Budiman S. Hartoyo


Ia belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret di tanah dari teman sepermainan. "Membolos" terus sampai di hari tuanya, ia sangat keras mendidik diri sendiri. Ia "mengunyah" buku apa saja, sampai mampu menguasai beberapa bahasa asing. Akhirnya tampil sebagai sastrawan, kolomnis dan penerjemah andal. Contoh baik tentang pendidikan lewat buku yang sangat berhasil.


ANDA niscaya akan membelalakkan mata, berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala mengetahui bahwa lelaki yang namanya terkenal sebagai sastrawan, intelektual dan penerjemah andal ini ternyata tidak tamat madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar. Ia bahkan pernah menjadi ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) dan pembantu rektor sebuah perguruan tinggi. Kini bahkan masih aktif sebagai dosen. Dulu, di madrasah ia begitu badung sehingga sempat dikerangkeng oleh gurunya. Maka sejak lepas dari hukuman itu, ia tidak pernah lagi "makan sekolahan" -- sampai di hari tuanya.


Pada tahun 1930-an, pada zaman kolonial Belanda itu, ia hanya sempat belajar huruf Latin dari kawan-kawan sepermainan. "Saya belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret huruf di tanah sambil main gundu," tuturnya. Selebihnya, ia bermain layang-layang atau mandi di kali seperti layaknya anak-anak bengal. Tapi, kemauan belajarnya keras. Ia belajar sendiri, "mengunyah" buku apa saja. Meski lahir dari keluarga berdarah Arab, untuk dapat menguasai Bahasa Arab yang baik, di zaman Jepang ia merasa perlu mengambil kursus tertulis Soember Pengetahoean, Bandung.


Ia adalah Ali Audah, yang 15 Juli lalu (1995) genap berusia 71 tahun. Niscaya tak seorang pun peminat sastra Indonesia modern yang tak mengenal namanya, baik sebagai sastrawan, maupun penerjemah. Karya terjemahan unggulannya yang belum lama ini terbit ialah Abu Bakar as-Siddiq, Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi – alihbahasa dari karya wartawan dan sastrawan Mesir terkenal, Dr. Muhammad Husain Haekal (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1995, 391 halaman).


Sebelumnya, ia meluncurkan buku Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya karya mufasir terkenal, Abdullah Yusuf Ali, dua jilid (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, masing-masing 750 halaman) hasil terjemahannya. Salah satu karya masterpiece-nya ialah Konkordansi Qur’an, Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1991, 861 halaman). Ide menyusun konkordansi itu muncul ketika beberapa dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) mengeluh sangat sulit mancari ayat Al-Quran karena mereka kurang mengenal Bahasa Arab. Konkordansi Ali Audah ini memang sangat memudahkan bagi orang awam sekalipun untuk mencari ayat Al-Quran.


Dari tangannya juga telah lahir karya terjemahan yang mendapat pujian banyak kalangan, dan juga laku di pasaran buku, yaitu Sejarah Hidup Muhammad, juga karya Muhammad Husain Haikal (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1992, 697 halaman). Pertama kali terbit pada 1992, buku itu sudah dicetak ulang sampai 15 kali. Pada 1995 ini mungkin sudah dicetak ulang lagi beberapa kali.


Sebagai sastrawan (dan intelektual) Ali Audah tidak pernah menerima pesanan untuk menerjemahkan sembarang buku. "Saya hanya menerjemahkan karya-karya besar yang saya nilai bermutu dan bermanfaat," katanya. Pengarang dan penerjemah jenis begini lazimnya memang sama sekali tidak memperhitungkan apakah kelak bukunya laku dan menghasilkan untung. Ia semata-mata hanya memikirkan mutu sebuah karya. Ali Audah, misalnya, menerjemahkan novel Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir pertama penerima Hadiah Nobel, yang diterjemahkan dengan judul Lorong Midaq (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, 421 halaman), biarpun pembelinya mungkin hanya segelintir peminat sastra saja.


Tokoh kita ini berpembawaan tenang dan pendiam. Sifat itu pula agaknya yang berpengaruh atas perjalanan karirnya sebagai sastrawan. Sebagaimana terungkap dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (Pustaka Grafiti, Jakarta), ia berhasil mengangkat namanya di gelanggang sastra tidak dengan cara yang meletup-letup, sementara popularitasnya juga ajeg. Itu tak berarti tak ada frustrasi dalam diri tokoh novelnya, Jalan Terbuka.


Bahkan ada kritikus sastra yang cenderung menggolongkan novel tersebut – juga novel-novel Indonesia lainnya yang terbit antara tahun 1950-1966, seperti Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis dan Royan Revolusi karya Ramadhan KH – sebagai cerminan rasa frustrasi kaum intelektual terhadap kehidupan sosial dan politik. Itu artinya, Ali Audah, si anak yang hanya kelas I SD – tapi "membanting otak" untuk belajar sendiri dengan sangat keras itu – belakangan mampu mempersoalkan problem kejiwaan kaum intelektual Indonesia.


Bayangkan, betapa keras Ali Audah mendidik diri sendiri sepanjang umurnya. Biarpun ia "membolos" sampai di hari tuanya, ia mampu menguasai berbagai bahasa asing dengan baik: Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda. Bukan hanya bercakap-cakap, membaca dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, tapi juga menguasai seluk-beluk tata bahasanya, terutama Bahasa Arab dan Inggris. Ia sering bertandang ke Singapura, Malaysia, beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa, untuk menghadiri konperensi atau seminar kebudayaan.


Tentu saja ia harus menulis makalah dalam bahasa asing. Biasanya dalam Bahasa Arab atau Inggris. Kalau kini ia merupakan seorang dari sangat sedikit penerjemah yang andal, bisa dipahami betapa baiknya ia menguasai bahasa asing. Tentu saja ia juga menguasai Bahasa Indonesia. Bukan hanya lantaran ia orang Indonesia, lebih dari itu ia juga menguasai tata bahasa dan seluk beluknya. Ia dikenal sebagai penulis kolom yang baik dan sastrawan yang kreatif, dengan Bahasa Indonesia yang terpelihara.


Sejak mampu membaca dan menulis di usia SD, Ali Audah kecil rupanya penasaran. Ia belajar sendiri dengan "mengunyah" apa saja. "Saya baca apa saja, mulai dari kertas koran pembungkus kue atau gula pasir, sampai majalah bekas dan buku-buku pelajaran atau bacaan anak-anak sekolah kawan sepermainan," tuturnya. Ia sendiri sudah lupa mengapa tertarik pada sastra. Tapi, yang pertama kali ia baca antara lain karya pengarang Merajoe Soekma dari Banjarmasin. Di usia remaja, di Bondowoso, Jawa Timur, mula-mula ia gemar melukis. Belakangan menulis puisi dan naskah drama.


Pada tahun 1940-an, ia mendapat hadiah pertama dan kedua dalam lomba menulis puisi dan drama se Jawa Timur. Dan untuk pertama kali, puisinya dimuat di majalah Sastrawan, Malang, di awal revolusi. Karena tertarik pada karya-karya pengarang Muhammad Dimjati, ia pun berusaha mencari dan berkenalan dengan wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal di tahun 1950-an itu di Solo. "Saya banyak belajar dan mendapat dorongan semangat dari Pak Dim yang tinggal di sebuah rumah sederhana di perkampungan batik di Laweyan," tuturnya lagi. Ia pun lantas menetap di Solo.


Barangkali lantaran mendambakan suasana tenang dan sejuk untuk menulis, maka di awal 1950-an ia pindah ke Bogor. Dan memang, bahkan sampai sekarang pun, Ali Audah hanya hidup dari menulis, dan "berkantor" di rumahnya. Sejak itu dari tangannya meluncur sejumlah karya berupa cerita pendek, esai, kritik sastra, beberapa artikel mengenai berbagai masalah kebudayaan dan kesenian. Ia juga menerjemahkan karya-karya sastra dan buku-buku agama karya para sastrawan dan penulis terkenal.


Selain itu, ia juga menulis artikel atau kolom mengenai berbagai hal – terutama mengenai kebudayaan dan agama – di berbagai harian seperti Pedoman, Abadi, Indonesia Raya, Kompas, Sinar Harapan, dan beberapa majalah seperti Kiblat, Gema Islam, Panji Masyarakat, Optimis, TEMPO. Sebelumnya, ia pernah menjadi penulis tetap di Harian KAMI (1966-1973). Karya-karya sastranya, berupa cerita pendek, esai, maupun karya terjemahan, dimuat di beberapa majalah sastra dan budaya terkemuka, seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Indonesia, Kisah, Cerita, Sastra, Budaya Jaya, Horison.


Karya sastra aslinya, antara lain, Malam Bimbang (Nusantara, Medan, 1961) dan Icih (Pustaka Jaya, Jakarta, 1972), keduanya kumpulan cerpen; serta novel Jalan Terbuka (Litera, Jakarta, 1971). Buku lainnya, Ibn Khaldun, Sebuah Pengantar (studi biografi); Konkordansi Qur’an (referensi, 1991). Beberapa karya terjemahan, antara lain, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Muhammad Allamah Iqbal (bersama Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad); Dua Tokoh, Abu Bakar dan Umar; serta Hari-hari Berlalu, keduanya karya sastrawan Mesir, Thaha Husain. Selain itu juga Lampu Minyak Abu Hasyim karangan Yahya Haqqi, juga sastrawan Mesir terkenal.


Ia juga menerjemahkan kumpulan cerpen pengarang Arab modern, Kleopatra dalam Konperensi Perdamaian (Mahmud Taymur) dan Genta Daerah Wadi (1967); karya sastrawan Mesir seperti Suasana Bergema (kumpulan cerpen pengarang Mesir A. Hamid G. As-Sahar, Balai Pustaka, 1957); Kisah-kisah dari Mesir (1977); Murka (drama, Mustafa Hallaj); Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Hussein Heikal) dan Lorong Midaq (Najib Mahfuz). Karya sastrawan Aljazair, misalnya, Peluru dan Asap (Alma’arif, Bandung, 1972); Jembatan Gantung (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1980). Selain itu juga Oedipus dan Theseus, keduanya karya Andre Gide; Marie Antoinette (Stefan Zweig).


Adalah sastrawan dan sutradara Asrul Sani yang mula pertama menganjurkannya menerjemahkan karya-karya sastra Timur Tengah. Ketika itu Ali Audah tengah menerjemahkan karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. "Menurut Asrul, saya lebih menguasai Bahasa Arab," katanya. Maka ketika di tahun 1960-an sastrawan Pramoedya Ananta Toer menuduh novel Tenggelamnya Kapan v/d Wijck karya Hamka sebagai jiplakan roman Majdulin karya sastrawan Mesir Luthfi al-Manfaluthi, ia menanggapi persoalan tersebut, kemudian menerbitkan terjemahan Majdulin.


Ali Audah dan sastra Arab seperti pertemuan jodoh. Setelah mendengar anjuran Asrul itu ia lantas berpikir: penerjemah sastra Barat sudah banyak, yang belum ada ialah penerjemah sastra Arab. Kalaupun ada, mereka lazimnya menerjemahkan buku-buku agama, bukan karya sastra. Ia lantas memutuskan untuk mengkhususkan diri sebagai penerjemah karya sastra Arab. Suatu hari ketika ia ke toko kitab Salim Nabhan di Surabaya, ditemukannya seabrek buku sastra yang berdebu, tidak laku. "Dan ternyata nilai sastranya tinggi. Lalu saya borong, kebetulan buku-buku itu dijual dengan harga murah, karena sudah lama numpuk tidak laku," katanya lagi sambil tertawa.


Bukan hanya menulis, Ali Audah juga aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia intelektual, kebudayaan dan perbukuan. Ia, misalnya, pernah menjadi Direktur Utama Penerbit Tintamas, Jakarta (1961-1978), anggota Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra bergengsi Horison (1968-1993), ikut serta menggagas penerbitan majalah sastra Horison dan menjadi anggota dewan redaksi, Dekan Fakultas Syari’ah (1966-1977) kemudian Pembantu Rektor II (1971-1982), lalu Pembantu Rektor I (1982-1985) Universitas Ibn Khaldun, Bogor.


Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1971-1980), tenaga pengajar Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kemudian bernama Institut Kesenian Jakarta (1971-1980), ketua Perhimpunan Penerjemah Indonesia (1974-1984), wakil ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (1978-1984), anggota Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional Departemen P dan K (1978-1985), tenaga pengajar di Institut Pertanian Bogor (sejak 1978), wakil ketua Yayasan Amal Mulia (sejak 1984).


Berkat karya-karyanya, ia sering diminta menjadi konsultan penulisan skripsi para mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Padjadjaran (Bandung). Ia juga sering diundang berceramah dan mengikuti seminar mengenai penerjemahan Bahasa Arab. Sehari-hari ia "berkantor" di rumah. Kecuali menghadiri seminar atau diskusi di dalam atau luar negeri, atau mengajar, ia menghabiskan waktunya di rumah. Usai shalat Shubuh ia mendengarkan warta berita dari radio, kemudian berolah raga jalan kaki selama satu-dua jam, lalu pulang untuk sarapan pagi, mandi.


Sekitar pukul 09:00 ia mulai "bekerja", yaitu membaca atau menulis di ruang kerjanya di lantai atas, sampai pukul 21:00 WIB. Berbagai ensiklopaedi dan kamus berderet di beberapa rak di kamar kerjanya. Koleksi buku di perpustakaan pribadinya cukup lengkap. Tentu diseling istrirahat, baca koran atau majalah, makan, shalat, tidur siang dan bercengkerama dengan sang isteri. Kini Ali Audah tengah merevisi transliterasi karya terjemahannya, Sejarah Hidup Muhammad. Ia juga merevisi dua karya aslinya, Malam Bimbang dan Jalan Terbuka.


Berikut wawancara Berita Buku dengan Ali Audah di rumahnya, Kompleks Perumahan Bogor Baru yang sejuk, tenang dan nyaman.


Bagaimana sesungguhnya terjemahan yang bagus?


Terjemahan yang bagus ialah yang tidak verbatim atau harfiah, tapi juga tidak parafrase atau terlalu bebas. Tengah-tengahlah, sehingga kita tahu bahwa ini terjemahan, dan tanpa mengurangi gaya asli pengarang. Malah gaya asli si pengarang bisa kita ambil. Orang yang tidak tahu mengira, bahwa "gaya" ini harfiah. Tidak. Jadi, terjemahan yang baik itu begitu. Terjemahan yang verbatim atau harfiah, jelas tidak bagus. Kita sering baca terjemahan seperti itu, tapi nggak ngerti apa maksudnya. Sedang terjemahan yang parafrase, kadang-kadang dilakukan karena si penerjemah tidak bisa menangkap pikiran si pengarang, tidak bisa menangkap bahasanya, kemudian dia tulis pikiran dia sendiri.


Kalau terjemahan itu kita cocokkan dengan aslinya, tidak bisa dilacak. Penerjemah itu bikin kalimat sendiri, paragraf sendiri, dan seterusnya. Ini sangat berbahaya, karena konsep, pikiran dan gaya – bahkan nuansa pikiran pengarang – tidak bisa ditangkap dan diungkapkan. Dalam terjemahan seperti ini, mungkin si penerjemah tidak bisa menangkap bahasa atau pikiran si pengarang. Kalau penerjemah mengalami kesulitan dan tidak bisa mengatasi, ia harus menyertakan catatan kaki, misalnya begini, "Kalimat atau alinea yang ini sulit diterjemahkan, dan inilah terjemahan yang paling mendekati."


Seorang penerjemah tidak bisa menerjemahkan karya ilmiah atau agama hanya dengan mengandalkan ensiklopaedi atau kamus. Ia juga harus menggunakan buku-buku referensi. Kalau tidak, saya khawatir terjemahan itu meleset. Untuk menerjemahkan buku sejarah, dia harus membaca pula buku sejarah karya pengarang lain. Kalau menerjemahkan buku biografi, ia harus membaca biografi lain. Dia tidak bisa ingin cepat-cepat selesai menerjemahkan hingga terburu-buru. Sedang untuk menerjemahkan novel, harus dilihat pula latar belakang budayanya.


Bagaimana komentar Anda mengenai terjemahan buku-buku agama yang kebanyakan terlalu harfiah?


Sekarang ini sudah mulai banyak terjemahan buku-buku agama dari Bahasa Arab yang lebih maju. Sudah umayan bagus dibanding terjemahan di tahun-tahun 1940 atau 1950-an dulu. Dulu, mungkin para penerjemah sangat berhati-hati karena masalah agama dianggapnya sangat sakral, sehingga terjemahannya harfiah sekali. Mereka mengikuti saja gaya atau ungkapan Bahasa Arab. Kalimat Bahasa Arab itu kan mula-mula dinafikan atau negatif, baru kemudian anak kalimatnya positif. Nah, penerjemah mengikuti saja hingga terjemahannya terasa aneh.


Sekarang sudah banyak terjemahan yang agak baik. Cuma masih ada yang saya sesalkan, misalnya, masih ada penerjemah yang melompati kalimat atau alinea tertentu. Entah sengaja atau tidak, tapi kadang-kadang kalau ada kalimat yang sukar lalu dilompati atau ditinggalkan begitu saja. Saya tidak ingat buku apa, tapi ada. Saya tidak tahu apa sebabnya. Kalau ada kesulitan seperti ini, mestinya penerjemah memberi pengantar atau catatan kaki. Ini bukan kritik, hanya sekedar perbandingan saja.


Jadi karya terjemahan sebenarnya bukan hanya karya "kelas dua"?


Ya, karya terjemahan yang baik sesungguhnya juga sebuah karya kreatif, tidak kurang berharganya dibanding karya asli. Sekarang ini ada bermacam-macam persepsi di masyarakat terhadap karya terjemahan. Ada yang menyukai karya terjemahan yang baik, ada pula yang arogan tidak mau membaca karya terjemahan. Mereka lebih bangga membaca karya asli. Ada pula orang yang mau membaca karya terjemahan, tapi kalau menulis dan menyebutnya sebagai referensi – untuk catatan kaki atau bibliografi, misalnya – ia menyebutkan karya aslinya. Padahal yang ia baca terjemahannya...


Saya sendiri dalam menulis artikel, misalnya, kalau memang perlu menyebut sebuah buku sebagai sumber referensi, dan kebetulan sudah ada terjemahannya, saya sebut saja karya terjemahan itu sebagai sumber. Tidak usah lagi kita baca aslinya, apalagi kalau terjemahannya memang bagus. Kan sama saja, cuma lain bahasa. Kecuali kalau memang ada yang kurang jelas, biasanya lalu saya cek ke karya aslinya. Itu pun kalau kebetulan saya punya aslinya. Tapi kalau tidak, cukup terjemahannya. Sebab, terjemahan itu sesungguhnya juga merupakan sebuah karya tersendiri.


Jadi, terjemahan itu tidak bisa dibilang sebagai karya "kelas dua" setelah karya asli. Sebab, kadang-kadang malah bisa jadi karya terjemahan lebih dikenal orang ketimbang karya aslinya. Seperti di Mesir, misalnya, masyarakat di sana lebih mengenal Habib Ibrahim sebagai "pengarang" Al-Buasa. Padahal itu terjemahan dari Les Miserables (1826) karya pengarang Prancis terkenal, Victor Hugo (1802 – 1885). Begitu terkenalnya Habib Ibrahim di Mesir sebagai "pengarang" Al-Buasa, hingga orang di sana tidak mengenal siapa itu Victor Hugo....


Bagaimana kegiatan terjemahan di Indonesia dibanding negeri lain?


Di negeri maju terjemahan itu sangat penting. Itu sebabnya Almarhum Soetan Takdir Alisjahbana tak jemu-jemunya menganjurkan "pengambil-alihan" ilmu pengetahuan melalui terjemahan berbagai buku ilmu pengetahuan. Bahkan beliau mengidam-idamkan penerjemahan Ensiclopaedia Britannica. Menurut majalah Pasific Friends, Jepang merupakan "kerajaan terjemahan", traslation empire. Hampir semua buku yang terbit di dunia, bahkan belum beredar, sudah diterjemahkan di Jepang. Yang mereka terjemahkan buku-buku mengenai berbagai ilmu pengetahuan, dalam disiplin ilmu apa saja.


Pentingnya terjemahan bahkan sudah terbukti ketika peradaban Islam menjadi jembatan bagi masyarakat Barat untuk mengenal peradaban Yunani melalui terjemahan buku-buku filsafat, sastra dan kedokteran. Itu terjadi kira-kira di abad ke-11 atau 12 Masehi, atau abad ke-5 atau ke-6 Hijri. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan Unesco (1970), Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah, di atas Kamboja atau Vietnam. Nomor satu adalah Jerman, yang di tahun 1970 dalam setahun menerbitkan 5.000 buku, sementara Indonesia cuma 200-an. Untuk Asia, Jepang berada di peringkat paling atas.


Bagaimana agar peringkat Indonesia naik?


Bagaimana bisa menaikkan peringkat, kalau honorarium untuk karya terjemahan masih terlalu kecil? Karena ya itu tadi, ada anggapan bahwa karya terjemahan itu "kelas dua" setelah karya asli. Kadang-kadang naskah dibeli begitu saja, misalnya Rp 3.000 per halaman. Sebaiknya jangan dibayar dengan cara seperti itu, tapi dengan membayar royalti seperti halnya membayar pengarang yang menulis karya asli. Kalau pun dibayar dengan royalti, di sini juga masih dibedakan antara karya asli dan terjemahan. Jumlahnya pun kurang dari separo dari karya asli. Karena itu semangat menerjemahkan sangat rendah. Itu pertama.


Kedua, penguasaan bahasa asing di kalangan para pengarang kita juga sangat kurang. Mungkin mereka lancar ketika berbicara, tapi begitu menerjemahkan mereka kurang mampu. Padahal mereka itu rata-rata para sarjana yang boleh dibilang berbobot. Apalagi kalau terjemahan itu harus memenuhi persyaratan seperti yang saya uraikan tadi. Sebaiknya terjemahan itu dari tangan pertama, dari bahasa aslinya. Menerjemahkan tidak cukup hanya dengan kamus, bahkan tidak cukup hanya dengan satu kamus. Sebenarnya siapa pun bisa menerjemahkan. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa untuk menerjemahkan diperlukan bakat. Tidak. Menerjemahkan bisa dilakukan dengan latihan.


Buku-buku berbahasa Arab sebenarnya masih banyak yang sangat perlu diterjemahkan. Ada berpuluh-puluh. Tapi, saya sudah tidak mampu menanganinya, sementara untuk mencari penerjemah yang baik sangat susah. Selama ini ada penerjemah, tapi hanya melayani selera penerbit, atau menerjemahkan buku-buku agama saja. Mestinya sastrawan seperti Muhammad Fudholi (yang pernah kuliah di Mesir) bisa mengerjakannya. Tapi mana? Untung ada pendatang baru, Salman Harun dari IAIN Jakarta, yang pernah menerjemahkan kumpulan cerpen.


Untuk mengatasi hal itu, saya kira beberapa mahasiswa atau dosen Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri), misalnya, bisa membentuk sebuah tim yang khusus menangani penerjemahan buku-buku dari Bahasa Arab. Bukan buku mengenai agama saja, tapi dari berbagai disiplin ilmu. Di lain pihak saya mengimbau kepada para penerjemah, jika mereka menerjemahkan hendaknya membiasakan diri meminta izin kepada penerbit atau pemegang hak ciptanya. Saya menduga sekitar 95% dari buku-buku yang diterjemahkan, terutama buku-buku agama, dilakukan tanpa minta izin.


Ada suka-duka sebagai penerjemah?


Dalam hal meminta izin, ada cerita menarik. Ada sebuah buku mengenai asal-usul Kitab Injil dalam Bahasa Inggris akan diterjemahkan. Meskipun bukan yang menerjemahkan, saya diminta tolong untuk memintakan izin. Maka saya tulislah surat ke penerbitnya di Inggris. Beberapa hari kemudian datanglah surat balasan yang menyebutkan bahwa pemegang hak ciptanya ialah seorang pengarang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen. Lalu saya mengirim surat kepadanya dengan alamat di Yordania. Tapi, ternyata ia tinggal di Jerman. Setelah ketemu dan ada persetujuan, langsung kedua belah pihak menekan surat kontrak, dan dia minta royalti sekian Deutche Mark.


Tapi, para pengarang Arab rata-rata baik, tidak minta bayaran, hanya berpesan agar terjemahannya amanah, jujur. Saya pernah berhubungan dengan pengarang yang tinggal di Madinah, Riyadh, atau Kairo. Mereka tidak minta royalti tapi berpesan agar terjemahannya amanah. Kalaupun mereka minta, itu wajar. Dan biasanya tidak terlalu banyak. Tapi, jika kita sudah mengirim surat minta izin dan dua tiga kali tidak dibalas, itu lain soal. Kita bisa menerbitkannya tanpa izin -- itu tidak apa-apa. Yang penting sudah ada usaha meminta izin kepada pemegang hak cipta.


Dalam hal ini saya berpegang pada ketentuan Unesco. Yaitu, kalau ada buku yang sangat penting untuk diterjemahkan, sementara untuk mendapatkan izin dari pemegang hak cipta sangat sulit, buku itu boleh diterjemahkan tapi harus melaporkannya kepada Unesco – yang nanti akan mengurus izinnya. Tapi kalau saya menganjurkan-anjurkan kepada para penerbit agar meminta izin, mereka malah protes. Alasannya, kita masih negara berkembanglah, nanti kita rugilah, ya macam-macamlah. Jadi saya pikir, mereka ini berpikir materialistis, kapitalistis.


Suka duka dalam menerjemahkan tentu ada. Kadang-kadang untuk menerjemahkan satu kata atau satu kalimat – supaya tepat dan pas betul – bisa makan waktu sapai satu-dua jam. Saya harus mencari, mencocokkan dan membandingkannya di berbagai kamus, ensiklopedi, atau buku-buku referensi lain. Kalau masih buntu juga, biasanya saya tinggalkan dulu, lalu saya membaca buku lain. Hal ini bisa kita maklumi, sebab para pengarang Arab modern tidak mau menggunakan bahasa asing. Mereka tetap menggunakan Bahasa Arab, biarpun untuk istilah-istilah teknologi.


Omong-omong, perkembangan sastra Indonesia kok lesu, kenapa?


Yah, pertama-tama karena minat baca di masyarakat kita, terutama untuk membaca buku-buku sastra, sangat kurang. Kedua, saya kira karena para penerbit tidak berani mengambil risiko rugi untuk menerbitkan buku-buku sastra. Di tahun 1950-an memang banyak buku sastra yang terbit, tapi untuk ukuran waktu itu. Untuk ukuran sekarang, mestinya lebih "ramai" lagi dibanding di tahun 1950-an. Karena jumlah penduduk sudah jauh berpipat-ganda; yang buta huruf pun sudah jauh berkurang. Jadi, produksi buku sastra mestinya 20-30 kali lipat.


Tapi, memang para pengarang kita kurang produktif. Paling-paling yang masih menulis Umar Kayam, Putu Wijaya. Sekarang ini tampaknya lebih banyak para pengarang sastra koran atau majalah. Mereka rata-rata menginginkan agar karangannya cepat terbit dan mendapat uang, tidak sabar menunggu bukunya diterbitkan, lalu menulis cerita bersambung di koran. Dulu ada nama-nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Achdiat Kartamihardja, lalu di bawahnya ada Ajip Rosidi, dan sebagainya.


Dulu muncul karya-karya besar seperti Atheis-nya Achdiat, atau Keluarga Gerilya-nya Pramoedya. Sekarang memang ada beberapa, misalnya, Para Priyayi-nya Umar Kayam atau Harimau-Harimau-nya Mochtar Lubis. Tapi, sekarang hampir tak ada karya sastra yang memecahkan problem masyarakat, yang tidak peduli diterbitkan atau tidak, namanya mau terkenal atau tidak. Para pengarang dulu sangat serius, kontemplatif, memecahkan masalah masyarakat sebagai tanggung-jawab. Dari pengarang begini akan lahir karya besar dan abadi. Novel Gone with the Wind, misalnya, masih dibaca orang sampai sekarang.


Seperti dunia kepenyairan kita sekarang, mereka ramai-ramai membaca puisi di panggung, padahal puisinya jelek. Penyair itu kan yang penting menulis puisi, dan puisinya bagus, bermutu. Kalau yang membaca puisi memang aktor seperti Rendra, saya masih bisa menikmatinya. Tapi, kalau yang membaca puisi Sapardi Djoko Damono, apalagi Goenawan Mohamad, -- meskipun puisi-puisi mereka sangat bagus – saya sama sekali tidak bisa menikmatinya. Karena mereka memang bukan aktor seperti Rendra. Apalagi penyair lain yang puisinya tidak bermutu, dan mereka bukan aktor pula.


Bagaimana dengan terjemahan buku-buku cerita populer yang sekarang banyak diterbitkan?


Itu merupakan sumbangan baik untuk menambah jumlah buku cerita, tapi bukan sumbangan bagi kekayaan khazanah sastra. Saya membaca satu-dua, tapi tidak tertarik. Terjemahannya maupun isinya. Begitu pula novel-novel pop karya Marga T, Maria W. Sardjono, La Rose, V. Lestari, menurut saya bukan karya sastra tapi novel pop. Ceritanya menarik, tapi tidak bernilai sastra, meskipun penyajian bukunya terkesan mewah. Anehnya, ada sastrawan yang memuji karya seperti itu. Misalnya dalam seminar sastra di Medan beberapa waktu lalu. Novel Ahmad Tohari atau Ashadi Siregar menurut saya lebih bagus.


Buku apa yang paling menarik minat Anda?


Buku-buku sastra, sejarah dan referensi. Untuk belanja buku, setiap bulan jumlahnya tidak bisa ditentukan. Bulan kemarin, misalnya, saya belanja buku sampai Rp200.000. Orang di rumah tentu saja mengeluh, "Kalau mau beli baju mesti berdebat dulu, tapi kalau beli buku nggak bilang-bilang." Waktu kecil dulu saya pernah dikasih uang oleh orangtua saya untuk membeli baju, karena baju saya sudah kumal dan sobek di sana-sini. Tapi, sampai di pasar saya malah membeli buku, tidak membeli baju....


***