(Arsip majalah Berita Buku, Januari 1996).
Oleh Budiman S. Hartoyo
Ia belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret di tanah dari teman sepermainan. "Membolos" terus sampai di hari tuanya, ia sangat keras mendidik diri sendiri. Ia "mengunyah" buku apa saja, sampai mampu menguasai beberapa bahasa asing. Akhirnya tampil sebagai sastrawan, kolomnis dan penerjemah andal. Contoh baik tentang pendidikan lewat buku yang sangat berhasil.
ANDA niscaya akan membelalakkan mata, berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan kepala mengetahui bahwa lelaki yang namanya terkenal sebagai sastrawan, intelektual dan penerjemah andal ini ternyata tidak tamat madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar. Ia bahkan pernah menjadi ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) dan pembantu rektor sebuah perguruan tinggi. Kini bahkan masih aktif sebagai dosen. Dulu, di madrasah ia begitu badung sehingga sempat dikerangkeng oleh gurunya. Maka sejak lepas dari hukuman itu, ia tidak pernah lagi "makan sekolahan" -- sampai di hari tuanya.
Pada tahun 1930-an, pada zaman kolonial Belanda itu, ia hanya sempat belajar huruf Latin dari kawan-kawan sepermainan. "Saya belajar membaca dan menulis dengan mencoret-coret huruf di tanah sambil main gundu," tuturnya. Selebihnya, ia bermain layang-layang atau mandi di kali seperti layaknya anak-anak bengal. Tapi, kemauan belajarnya keras. Ia belajar sendiri, "mengunyah" buku apa saja. Meski lahir dari keluarga berdarah Arab, untuk dapat menguasai Bahasa Arab yang baik, di zaman Jepang ia merasa perlu mengambil kursus tertulis Soember Pengetahoean, Bandung.
Ia adalah Ali Audah, yang 15 Juli lalu (1995) genap berusia 71 tahun. Niscaya tak seorang pun peminat sastra Indonesia modern yang tak mengenal namanya, baik sebagai sastrawan, maupun penerjemah. Karya terjemahan unggulannya yang belum lama ini terbit ialah Abu Bakar as-Siddiq, Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi – alihbahasa dari karya wartawan dan sastrawan Mesir terkenal, Dr. Muhammad Husain Haekal (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1995, 391 halaman).
Sebelumnya, ia meluncurkan buku Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya karya mufasir terkenal, Abdullah Yusuf Ali, dua jilid (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, masing-masing 750 halaman) hasil terjemahannya. Salah satu karya masterpiece-nya ialah Konkordansi Qur’an, Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1991, 861 halaman). Ide menyusun konkordansi itu muncul ketika beberapa dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) mengeluh sangat sulit mancari ayat Al-Quran karena mereka kurang mengenal Bahasa Arab. Konkordansi Ali Audah ini memang sangat memudahkan bagi orang awam sekalipun untuk mencari ayat Al-Quran.
Dari tangannya juga telah lahir karya terjemahan yang mendapat pujian banyak kalangan, dan juga laku di pasaran buku, yaitu Sejarah Hidup Muhammad, juga karya Muhammad Husain Haikal (Litera AntarNusa, Bogor-Jakarta, 1992, 697 halaman). Pertama kali terbit pada 1992, buku itu sudah dicetak ulang sampai 15 kali. Pada 1995 ini mungkin sudah dicetak ulang lagi beberapa kali.
Sebagai sastrawan (dan intelektual) Ali Audah tidak pernah menerima pesanan untuk menerjemahkan sembarang buku. "Saya hanya menerjemahkan karya-karya besar yang saya nilai bermutu dan bermanfaat," katanya. Pengarang dan penerjemah jenis begini lazimnya memang sama sekali tidak memperhitungkan apakah kelak bukunya laku dan menghasilkan untung. Ia semata-mata hanya memikirkan mutu sebuah karya. Ali Audah, misalnya, menerjemahkan novel Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir pertama penerima Hadiah Nobel, yang diterjemahkan dengan judul Lorong Midaq (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991, 421 halaman), biarpun pembelinya mungkin hanya segelintir peminat sastra saja.
Tokoh kita ini berpembawaan tenang dan pendiam. Sifat itu pula agaknya yang berpengaruh atas perjalanan karirnya sebagai sastrawan. Sebagaimana terungkap dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (Pustaka Grafiti, Jakarta), ia berhasil mengangkat namanya di gelanggang sastra tidak dengan cara yang meletup-letup, sementara popularitasnya juga ajeg. Itu tak berarti tak ada frustrasi dalam diri tokoh novelnya, Jalan Terbuka.
Bahkan ada kritikus sastra yang cenderung menggolongkan novel tersebut – juga novel-novel Indonesia lainnya yang terbit antara tahun 1950-1966, seperti Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis dan Royan Revolusi karya Ramadhan KH – sebagai cerminan rasa frustrasi kaum intelektual terhadap kehidupan sosial dan politik. Itu artinya, Ali Audah, si anak yang hanya kelas I SD – tapi "membanting otak" untuk belajar sendiri dengan sangat keras itu – belakangan mampu mempersoalkan problem kejiwaan kaum intelektual Indonesia.
Bayangkan, betapa keras Ali Audah mendidik diri sendiri sepanjang umurnya. Biarpun ia "membolos" sampai di hari tuanya, ia mampu menguasai berbagai bahasa asing dengan baik: Arab, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda. Bukan hanya bercakap-cakap, membaca dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, tapi juga menguasai seluk-beluk tata bahasanya, terutama Bahasa Arab dan Inggris. Ia sering bertandang ke Singapura, Malaysia, beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa, untuk menghadiri konperensi atau seminar kebudayaan.
Tentu saja ia harus menulis makalah dalam bahasa asing. Biasanya dalam Bahasa Arab atau Inggris. Kalau kini ia merupakan seorang dari sangat sedikit penerjemah yang andal, bisa dipahami betapa baiknya ia menguasai bahasa asing. Tentu saja ia juga menguasai Bahasa Indonesia. Bukan hanya lantaran ia orang Indonesia, lebih dari itu ia juga menguasai tata bahasa dan seluk beluknya. Ia dikenal sebagai penulis kolom yang baik dan sastrawan yang kreatif, dengan Bahasa Indonesia yang terpelihara.
Sejak mampu membaca dan menulis di usia SD, Ali Audah kecil rupanya penasaran. Ia belajar sendiri dengan "mengunyah" apa saja. "Saya baca apa saja, mulai dari kertas koran pembungkus kue atau gula pasir, sampai majalah bekas dan buku-buku pelajaran atau bacaan anak-anak sekolah kawan sepermainan," tuturnya. Ia sendiri sudah lupa mengapa tertarik pada sastra. Tapi, yang pertama kali ia baca antara lain karya pengarang Merajoe Soekma dari Banjarmasin. Di usia remaja, di Bondowoso, Jawa Timur, mula-mula ia gemar melukis. Belakangan menulis puisi dan naskah drama.
Pada tahun 1940-an, ia mendapat hadiah pertama dan kedua dalam lomba menulis puisi dan drama se Jawa Timur. Dan untuk pertama kali, puisinya dimuat di majalah Sastrawan, Malang, di awal revolusi. Karena tertarik pada karya-karya pengarang Muhammad Dimjati, ia pun berusaha mencari dan berkenalan dengan wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal di tahun 1950-an itu di Solo. "Saya banyak belajar dan mendapat dorongan semangat dari Pak Dim yang tinggal di sebuah rumah sederhana di perkampungan batik di Laweyan," tuturnya lagi. Ia pun lantas menetap di Solo.
Barangkali lantaran mendambakan suasana tenang dan sejuk untuk menulis, maka di awal 1950-an ia pindah ke Bogor. Dan memang, bahkan sampai sekarang pun, Ali Audah hanya hidup dari menulis, dan "berkantor" di rumahnya. Sejak itu dari tangannya meluncur sejumlah karya berupa cerita pendek, esai, kritik sastra, beberapa artikel mengenai berbagai masalah kebudayaan dan kesenian. Ia juga menerjemahkan karya-karya sastra dan buku-buku agama karya para sastrawan dan penulis terkenal.
Selain itu, ia juga menulis artikel atau kolom mengenai berbagai hal – terutama mengenai kebudayaan dan agama – di berbagai harian seperti Pedoman, Abadi, Indonesia Raya, Kompas, Sinar Harapan, dan beberapa majalah seperti Kiblat, Gema Islam, Panji Masyarakat, Optimis, TEMPO. Sebelumnya, ia pernah menjadi penulis tetap di Harian KAMI (1966-1973). Karya-karya sastranya, berupa cerita pendek, esai, maupun karya terjemahan, dimuat di beberapa majalah sastra dan budaya terkemuka, seperti Mimbar Indonesia, Siasat, Zenith, Indonesia, Kisah, Cerita, Sastra, Budaya Jaya, Horison.
Karya sastra aslinya, antara lain, Malam Bimbang (Nusantara, Medan, 1961) dan Icih (Pustaka Jaya, Jakarta, 1972), keduanya kumpulan cerpen; serta novel Jalan Terbuka (Litera, Jakarta, 1971). Buku lainnya, Ibn Khaldun, Sebuah Pengantar (studi biografi); Konkordansi Qur’an (referensi, 1991). Beberapa karya terjemahan, antara lain, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam karya Muhammad Allamah Iqbal (bersama Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad); Dua Tokoh, Abu Bakar dan Umar; serta Hari-hari Berlalu, keduanya karya sastrawan Mesir, Thaha Husain. Selain itu juga Lampu Minyak Abu Hasyim karangan Yahya Haqqi, juga sastrawan Mesir terkenal.
Ia juga menerjemahkan kumpulan cerpen pengarang Arab modern, Kleopatra dalam Konperensi Perdamaian (Mahmud Taymur) dan Genta Daerah Wadi (1967); karya sastrawan Mesir seperti Suasana Bergema (kumpulan cerpen pengarang Mesir A. Hamid G. As-Sahar, Balai Pustaka, 1957); Kisah-kisah dari Mesir (1977); Murka (drama, Mustafa Hallaj); Sejarah Hidup Muhammad (Muhammad Hussein Heikal) dan Lorong Midaq (Najib Mahfuz). Karya sastrawan Aljazair, misalnya, Peluru dan Asap (Alma’arif, Bandung, 1972); Jembatan Gantung (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1980). Selain itu juga Oedipus dan Theseus, keduanya karya Andre Gide; Marie Antoinette (Stefan Zweig).
Adalah sastrawan dan sutradara Asrul Sani yang mula pertama menganjurkannya menerjemahkan karya-karya sastra Timur Tengah. Ketika itu Ali Audah tengah menerjemahkan karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. "Menurut Asrul, saya lebih menguasai Bahasa Arab," katanya. Maka ketika di tahun 1960-an sastrawan Pramoedya Ananta Toer menuduh novel Tenggelamnya Kapan v/d Wijck karya Hamka sebagai jiplakan roman Majdulin karya sastrawan Mesir Luthfi al-Manfaluthi, ia menanggapi persoalan tersebut, kemudian menerbitkan terjemahan Majdulin.
Ali Audah dan sastra Arab seperti pertemuan jodoh. Setelah mendengar anjuran Asrul itu ia lantas berpikir: penerjemah sastra Barat sudah banyak, yang belum ada ialah penerjemah sastra Arab. Kalaupun ada, mereka lazimnya menerjemahkan buku-buku agama, bukan karya sastra. Ia lantas memutuskan untuk mengkhususkan diri sebagai penerjemah karya sastra Arab. Suatu hari ketika ia ke toko kitab Salim Nabhan di Surabaya, ditemukannya seabrek buku sastra yang berdebu, tidak laku. "Dan ternyata nilai sastranya tinggi. Lalu saya borong, kebetulan buku-buku itu dijual dengan harga murah, karena sudah lama numpuk tidak laku," katanya lagi sambil tertawa.
Bukan hanya menulis, Ali Audah juga aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia intelektual, kebudayaan dan perbukuan. Ia, misalnya, pernah menjadi Direktur Utama Penerbit Tintamas, Jakarta (1961-1978), anggota Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra bergengsi Horison (1968-1993), ikut serta menggagas penerbitan majalah sastra Horison dan menjadi anggota dewan redaksi, Dekan Fakultas Syari’ah (1966-1977) kemudian Pembantu Rektor II (1971-1982), lalu Pembantu Rektor I (1982-1985) Universitas Ibn Khaldun, Bogor.
Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1971-1980), tenaga pengajar Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kemudian bernama Institut Kesenian Jakarta (1971-1980), ketua Perhimpunan Penerjemah Indonesia (1974-1984), wakil ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (1978-1984), anggota Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional Departemen P dan K (1978-1985), tenaga pengajar di Institut Pertanian Bogor (sejak 1978), wakil ketua Yayasan Amal Mulia (sejak 1984).
Berkat karya-karyanya, ia sering diminta menjadi konsultan penulisan skripsi para mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Indonesia (Jakarta) dan Universitas Padjadjaran (Bandung). Ia juga sering diundang berceramah dan mengikuti seminar mengenai penerjemahan Bahasa Arab. Sehari-hari ia "berkantor" di rumah. Kecuali menghadiri seminar atau diskusi di dalam atau luar negeri, atau mengajar, ia menghabiskan waktunya di rumah. Usai shalat Shubuh ia mendengarkan warta berita dari radio, kemudian berolah raga jalan kaki selama satu-dua jam, lalu pulang untuk sarapan pagi, mandi.
Sekitar pukul 09:00 ia mulai "bekerja", yaitu membaca atau menulis di ruang kerjanya di lantai atas, sampai pukul 21:00 WIB. Berbagai ensiklopaedi dan kamus berderet di beberapa rak di kamar kerjanya. Koleksi buku di perpustakaan pribadinya cukup lengkap. Tentu diseling istrirahat, baca koran atau majalah, makan, shalat, tidur siang dan bercengkerama dengan sang isteri. Kini Ali Audah tengah merevisi transliterasi karya terjemahannya, Sejarah Hidup Muhammad. Ia juga merevisi dua karya aslinya, Malam Bimbang dan Jalan Terbuka.
Berikut wawancara Berita Buku dengan Ali Audah di rumahnya, Kompleks Perumahan Bogor Baru yang sejuk, tenang dan nyaman.
Bagaimana sesungguhnya terjemahan yang bagus?
Terjemahan yang bagus ialah yang tidak verbatim atau harfiah, tapi juga tidak parafrase atau terlalu bebas. Tengah-tengahlah, sehingga kita tahu bahwa ini terjemahan, dan tanpa mengurangi gaya asli pengarang. Malah gaya asli si pengarang bisa kita ambil. Orang yang tidak tahu mengira, bahwa "gaya" ini harfiah. Tidak. Jadi, terjemahan yang baik itu begitu. Terjemahan yang verbatim atau harfiah, jelas tidak bagus. Kita sering baca terjemahan seperti itu, tapi nggak ngerti apa maksudnya. Sedang terjemahan yang parafrase, kadang-kadang dilakukan karena si penerjemah tidak bisa menangkap pikiran si pengarang, tidak bisa menangkap bahasanya, kemudian dia tulis pikiran dia sendiri.
Kalau terjemahan itu kita cocokkan dengan aslinya, tidak bisa dilacak. Penerjemah itu bikin kalimat sendiri, paragraf sendiri, dan seterusnya. Ini sangat berbahaya, karena konsep, pikiran dan gaya – bahkan nuansa pikiran pengarang – tidak bisa ditangkap dan diungkapkan. Dalam terjemahan seperti ini, mungkin si penerjemah tidak bisa menangkap bahasa atau pikiran si pengarang. Kalau penerjemah mengalami kesulitan dan tidak bisa mengatasi, ia harus menyertakan catatan kaki, misalnya begini, "Kalimat atau alinea yang ini sulit diterjemahkan, dan inilah terjemahan yang paling mendekati."
Seorang penerjemah tidak bisa menerjemahkan karya ilmiah atau agama hanya dengan mengandalkan ensiklopaedi atau kamus. Ia juga harus menggunakan buku-buku referensi. Kalau tidak, saya khawatir terjemahan itu meleset. Untuk menerjemahkan buku sejarah, dia harus membaca pula buku sejarah karya pengarang lain. Kalau menerjemahkan buku biografi, ia harus membaca biografi lain. Dia tidak bisa ingin cepat-cepat selesai menerjemahkan hingga terburu-buru. Sedang untuk menerjemahkan novel, harus dilihat pula latar belakang budayanya.
Bagaimana komentar Anda mengenai terjemahan buku-buku agama yang kebanyakan terlalu harfiah?
Sekarang ini sudah mulai banyak terjemahan buku-buku agama dari Bahasa Arab yang lebih maju. Sudah umayan bagus dibanding terjemahan di tahun-tahun 1940 atau 1950-an dulu. Dulu, mungkin para penerjemah sangat berhati-hati karena masalah agama dianggapnya sangat sakral, sehingga terjemahannya harfiah sekali. Mereka mengikuti saja gaya atau ungkapan Bahasa Arab. Kalimat Bahasa Arab itu kan mula-mula dinafikan atau negatif, baru kemudian anak kalimatnya positif. Nah, penerjemah mengikuti saja hingga terjemahannya terasa aneh.
Sekarang sudah banyak terjemahan yang agak baik. Cuma masih ada yang saya sesalkan, misalnya, masih ada penerjemah yang melompati kalimat atau alinea tertentu. Entah sengaja atau tidak, tapi kadang-kadang kalau ada kalimat yang sukar lalu dilompati atau ditinggalkan begitu saja. Saya tidak ingat buku apa, tapi ada. Saya tidak tahu apa sebabnya. Kalau ada kesulitan seperti ini, mestinya penerjemah memberi pengantar atau catatan kaki. Ini bukan kritik, hanya sekedar perbandingan saja.
Jadi karya terjemahan sebenarnya bukan hanya karya "kelas dua"?
Ya, karya terjemahan yang baik sesungguhnya juga sebuah karya kreatif, tidak kurang berharganya dibanding karya asli. Sekarang ini ada bermacam-macam persepsi di masyarakat terhadap karya terjemahan. Ada yang menyukai karya terjemahan yang baik, ada pula yang arogan tidak mau membaca karya terjemahan. Mereka lebih bangga membaca karya asli. Ada pula orang yang mau membaca karya terjemahan, tapi kalau menulis dan menyebutnya sebagai referensi – untuk catatan kaki atau bibliografi, misalnya – ia menyebutkan karya aslinya. Padahal yang ia baca terjemahannya...
Saya sendiri dalam menulis artikel, misalnya, kalau memang perlu menyebut sebuah buku sebagai sumber referensi, dan kebetulan sudah ada terjemahannya, saya sebut saja karya terjemahan itu sebagai sumber. Tidak usah lagi kita baca aslinya, apalagi kalau terjemahannya memang bagus. Kan sama saja, cuma lain bahasa. Kecuali kalau memang ada yang kurang jelas, biasanya lalu saya cek ke karya aslinya. Itu pun kalau kebetulan saya punya aslinya. Tapi kalau tidak, cukup terjemahannya. Sebab, terjemahan itu sesungguhnya juga merupakan sebuah karya tersendiri.
Jadi, terjemahan itu tidak bisa dibilang sebagai karya "kelas dua" setelah karya asli. Sebab, kadang-kadang malah bisa jadi karya terjemahan lebih dikenal orang ketimbang karya aslinya. Seperti di Mesir, misalnya, masyarakat di sana lebih mengenal Habib Ibrahim sebagai "pengarang" Al-Buasa. Padahal itu terjemahan dari Les Miserables (1826) karya pengarang Prancis terkenal, Victor Hugo (1802 – 1885). Begitu terkenalnya Habib Ibrahim di Mesir sebagai "pengarang" Al-Buasa, hingga orang di sana tidak mengenal siapa itu Victor Hugo....
Bagaimana kegiatan terjemahan di Indonesia dibanding negeri lain?
Di negeri maju terjemahan itu sangat penting. Itu sebabnya Almarhum Soetan Takdir Alisjahbana tak jemu-jemunya menganjurkan "pengambil-alihan" ilmu pengetahuan melalui terjemahan berbagai buku ilmu pengetahuan. Bahkan beliau mengidam-idamkan penerjemahan Ensiclopaedia Britannica. Menurut majalah Pasific Friends, Jepang merupakan "kerajaan terjemahan", traslation empire. Hampir semua buku yang terbit di dunia, bahkan belum beredar, sudah diterjemahkan di Jepang. Yang mereka terjemahkan buku-buku mengenai berbagai ilmu pengetahuan, dalam disiplin ilmu apa saja.
Pentingnya terjemahan bahkan sudah terbukti ketika peradaban Islam menjadi jembatan bagi masyarakat Barat untuk mengenal peradaban Yunani melalui terjemahan buku-buku filsafat, sastra dan kedokteran. Itu terjadi kira-kira di abad ke-11 atau 12 Masehi, atau abad ke-5 atau ke-6 Hijri. Bagaimana dengan Indonesia? Menurut laporan Unesco (1970), Indonesia menempati peringkat kedua dari bawah, di atas Kamboja atau Vietnam. Nomor satu adalah Jerman, yang di tahun 1970 dalam setahun menerbitkan 5.000 buku, sementara Indonesia cuma 200-an. Untuk Asia, Jepang berada di peringkat paling atas.
Bagaimana agar peringkat Indonesia naik?
Bagaimana bisa menaikkan peringkat, kalau honorarium untuk karya terjemahan masih terlalu kecil? Karena ya itu tadi, ada anggapan bahwa karya terjemahan itu "kelas dua" setelah karya asli. Kadang-kadang naskah dibeli begitu saja, misalnya Rp 3.000 per halaman. Sebaiknya jangan dibayar dengan cara seperti itu, tapi dengan membayar royalti seperti halnya membayar pengarang yang menulis karya asli. Kalau pun dibayar dengan royalti, di sini juga masih dibedakan antara karya asli dan terjemahan. Jumlahnya pun kurang dari separo dari karya asli. Karena itu semangat menerjemahkan sangat rendah. Itu pertama.
Kedua, penguasaan bahasa asing di kalangan para pengarang kita juga sangat kurang. Mungkin mereka lancar ketika berbicara, tapi begitu menerjemahkan mereka kurang mampu. Padahal mereka itu rata-rata para sarjana yang boleh dibilang berbobot. Apalagi kalau terjemahan itu harus memenuhi persyaratan seperti yang saya uraikan tadi. Sebaiknya terjemahan itu dari tangan pertama, dari bahasa aslinya. Menerjemahkan tidak cukup hanya dengan kamus, bahkan tidak cukup hanya dengan satu kamus. Sebenarnya siapa pun bisa menerjemahkan. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa untuk menerjemahkan diperlukan bakat. Tidak. Menerjemahkan bisa dilakukan dengan latihan.
Buku-buku berbahasa Arab sebenarnya masih banyak yang sangat perlu diterjemahkan. Ada berpuluh-puluh. Tapi, saya sudah tidak mampu menanganinya, sementara untuk mencari penerjemah yang baik sangat susah. Selama ini ada penerjemah, tapi hanya melayani selera penerbit, atau menerjemahkan buku-buku agama saja. Mestinya sastrawan seperti Muhammad Fudholi (yang pernah kuliah di Mesir) bisa mengerjakannya. Tapi mana? Untung ada pendatang baru, Salman Harun dari IAIN Jakarta, yang pernah menerjemahkan kumpulan cerpen.
Untuk mengatasi hal itu, saya kira beberapa mahasiswa atau dosen Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri (kini Universitas Islam Negeri), misalnya, bisa membentuk sebuah tim yang khusus menangani penerjemahan buku-buku dari Bahasa Arab. Bukan buku mengenai agama saja, tapi dari berbagai disiplin ilmu. Di lain pihak saya mengimbau kepada para penerjemah, jika mereka menerjemahkan hendaknya membiasakan diri meminta izin kepada penerbit atau pemegang hak ciptanya. Saya menduga sekitar 95% dari buku-buku yang diterjemahkan, terutama buku-buku agama, dilakukan tanpa minta izin.
Ada suka-duka sebagai penerjemah?
Dalam hal meminta izin, ada cerita menarik. Ada sebuah buku mengenai asal-usul Kitab Injil dalam Bahasa Inggris akan diterjemahkan. Meskipun bukan yang menerjemahkan, saya diminta tolong untuk memintakan izin. Maka saya tulislah surat ke penerbitnya di Inggris. Beberapa hari kemudian datanglah surat balasan yang menyebutkan bahwa pemegang hak ciptanya ialah seorang pengarang keturunan Arab-Libanon, beragama Kristen. Lalu saya mengirim surat kepadanya dengan alamat di Yordania. Tapi, ternyata ia tinggal di Jerman. Setelah ketemu dan ada persetujuan, langsung kedua belah pihak menekan surat kontrak, dan dia minta royalti sekian Deutche Mark.
Tapi, para pengarang Arab rata-rata baik, tidak minta bayaran, hanya berpesan agar terjemahannya amanah, jujur. Saya pernah berhubungan dengan pengarang yang tinggal di Madinah, Riyadh, atau Kairo. Mereka tidak minta royalti tapi berpesan agar terjemahannya amanah. Kalaupun mereka minta, itu wajar. Dan biasanya tidak terlalu banyak. Tapi, jika kita sudah mengirim surat minta izin dan dua tiga kali tidak dibalas, itu lain soal. Kita bisa menerbitkannya tanpa izin -- itu tidak apa-apa. Yang penting sudah ada usaha meminta izin kepada pemegang hak cipta.
Dalam hal ini saya berpegang pada ketentuan Unesco. Yaitu, kalau ada buku yang sangat penting untuk diterjemahkan, sementara untuk mendapatkan izin dari pemegang hak cipta sangat sulit, buku itu boleh diterjemahkan tapi harus melaporkannya kepada Unesco – yang nanti akan mengurus izinnya. Tapi kalau saya menganjurkan-anjurkan kepada para penerbit agar meminta izin, mereka malah protes. Alasannya, kita masih negara berkembanglah, nanti kita rugilah, ya macam-macamlah. Jadi saya pikir, mereka ini berpikir materialistis, kapitalistis.
Suka duka dalam menerjemahkan tentu ada. Kadang-kadang untuk menerjemahkan satu kata atau satu kalimat – supaya tepat dan pas betul – bisa makan waktu sapai satu-dua jam. Saya harus mencari, mencocokkan dan membandingkannya di berbagai kamus, ensiklopedi, atau buku-buku referensi lain. Kalau masih buntu juga, biasanya saya tinggalkan dulu, lalu saya membaca buku lain. Hal ini bisa kita maklumi, sebab para pengarang Arab modern tidak mau menggunakan bahasa asing. Mereka tetap menggunakan Bahasa Arab, biarpun untuk istilah-istilah teknologi.
Omong-omong, perkembangan sastra Indonesia kok lesu, kenapa?
Yah, pertama-tama karena minat baca di masyarakat kita, terutama untuk membaca buku-buku sastra, sangat kurang. Kedua, saya kira karena para penerbit tidak berani mengambil risiko rugi untuk menerbitkan buku-buku sastra. Di tahun 1950-an memang banyak buku sastra yang terbit, tapi untuk ukuran waktu itu. Untuk ukuran sekarang, mestinya lebih "ramai" lagi dibanding di tahun 1950-an. Karena jumlah penduduk sudah jauh berpipat-ganda; yang buta huruf pun sudah jauh berkurang. Jadi, produksi buku sastra mestinya 20-30 kali lipat.
Tapi, memang para pengarang kita kurang produktif. Paling-paling yang masih menulis Umar Kayam, Putu Wijaya. Sekarang ini tampaknya lebih banyak para pengarang sastra koran atau majalah. Mereka rata-rata menginginkan agar karangannya cepat terbit dan mendapat uang, tidak sabar menunggu bukunya diterbitkan, lalu menulis cerita bersambung di koran. Dulu ada nama-nama besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, Iwan Simatupang, Achdiat Kartamihardja, lalu di bawahnya ada Ajip Rosidi, dan sebagainya.
Dulu muncul karya-karya besar seperti Atheis-nya Achdiat, atau Keluarga Gerilya-nya Pramoedya. Sekarang memang ada beberapa, misalnya, Para Priyayi-nya Umar Kayam atau Harimau-Harimau-nya Mochtar Lubis. Tapi, sekarang hampir tak ada karya sastra yang memecahkan problem masyarakat, yang tidak peduli diterbitkan atau tidak, namanya mau terkenal atau tidak. Para pengarang dulu sangat serius, kontemplatif, memecahkan masalah masyarakat sebagai tanggung-jawab. Dari pengarang begini akan lahir karya besar dan abadi. Novel Gone with the Wind, misalnya, masih dibaca orang sampai sekarang.
Seperti dunia kepenyairan kita sekarang, mereka ramai-ramai membaca puisi di panggung, padahal puisinya jelek. Penyair itu kan yang penting menulis puisi, dan puisinya bagus, bermutu. Kalau yang membaca puisi memang aktor seperti Rendra, saya masih bisa menikmatinya. Tapi, kalau yang membaca puisi Sapardi Djoko Damono, apalagi Goenawan Mohamad, -- meskipun puisi-puisi mereka sangat bagus – saya sama sekali tidak bisa menikmatinya. Karena mereka memang bukan aktor seperti Rendra. Apalagi penyair lain yang puisinya tidak bermutu, dan mereka bukan aktor pula.
Bagaimana dengan terjemahan buku-buku cerita populer yang sekarang banyak diterbitkan?
Itu merupakan sumbangan baik untuk menambah jumlah buku cerita, tapi bukan sumbangan bagi kekayaan khazanah sastra. Saya membaca satu-dua, tapi tidak tertarik. Terjemahannya maupun isinya. Begitu pula novel-novel pop karya Marga T, Maria W. Sardjono, La Rose, V. Lestari, menurut saya bukan karya sastra tapi novel pop. Ceritanya menarik, tapi tidak bernilai sastra, meskipun penyajian bukunya terkesan mewah. Anehnya, ada sastrawan yang memuji karya seperti itu. Misalnya dalam seminar sastra di Medan beberapa waktu lalu. Novel Ahmad Tohari atau Ashadi Siregar menurut saya lebih bagus.
Buku apa yang paling menarik minat Anda?
Buku-buku sastra, sejarah dan referensi. Untuk belanja buku, setiap bulan jumlahnya tidak bisa ditentukan. Bulan kemarin, misalnya, saya belanja buku sampai Rp200.000. Orang di rumah tentu saja mengeluh, "Kalau mau beli baju mesti berdebat dulu, tapi kalau beli buku nggak bilang-bilang." Waktu kecil dulu saya pernah dikasih uang oleh orangtua saya untuk membeli baju, karena baju saya sudah kumal dan sobek di sana-sini. Tapi, sampai di pasar saya malah membeli buku, tidak membeli baju....
***
Saturday, January 27, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)