Oleh Budiman S. Hartoyo
LEBIH dari 30 tahun saya jadi wartawan. Meski hingga kini hidup tetap saja pas-pasan, saya punya kebanggaan tersendiri. Di tahun 1963, ketika tabloid belum mewabah seperti sekarang, ketika orang pers belum berpikir tentang community paper, saya sudah magang di sebuah penerbitan lokal di Solo, Jawa Tengah, yang namanya mengambil “nama alias” tempat tabloid mingguan itu diterbitkan: Surakarta. Saya belajar kepada (alm) Nurman Sahli, pemimpin redaksinya, dan (alm) Achmad Ds, wartawan seniornya. Ketika itu, di kalangan para wartawan Jawa Tengah ada anggapan bahwa mereka adalah “orang-orang PSI” hanya karena keduanya mengaku sebagai “murid” dan respek kepada Haji Wa’ang alias Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman dan “guru” banyak wartawan itu.
Antara lain berkat Achmad Ds pula saya mengenal para sastrawan di Solo seperti Armaya, Ds Mulyanto, Mansur Samin, Elanda Rosi Ds. Tak heran jika di tahun 1971, ketika TEMPO diterbitkan oleh penyair Goenawan Mohamad, serta-merta saya pun “tersedot” sampai akhirnya saya pensiun – setahun sebelum majalah berita mingguan tempat saya banyak ngangsu ngelmu itu dibreidel pada tahun 1994 oleh Menteri Penerangan Harmoko, wartawan yang “tersesat” jadi politikus itu.
Tapi, kebanggaan sebagai wartawan itu kadang terasa pahit. Bukan karena usia sudah 60 tahun, dan sepertinya tak laku bekerja di media massa yang kini rata-rata didominasi para wartawan muda yang post graduate, tapi lantaran ada ganjalan yang sejak dulu sudah sering saya rasakan. Betapa tidak. Sampai kini, ketika kebebasan pers yang sejak lama kita impikan itu terwujud, masih saja ada anggapan bahwa pers, khususnya wartawan, identik dengan “amplop” sehingga ada julukan tak resmi: “wartawan amplop”.
Yang dimaksud tentu amplop yang biasa digunakan untuk memberi uang kepada seseorang dengan cara halus, sopan, agar tak menyinggung perasaan. Lama-kelamaan, karena sudah terbiasa atau “membudaya”, konotasi “amplop” tidak lagi berkaitan dengan sopan-tak-sopan, melainkan identik dengan sogok-menyogok. Bahkan bagi sebagian (kecil) wartawan yang sudah (maaf) “berbudaya amplop”, kalau mereka tidak menerima (atau bahkan meminta) amplop perasaan mereka konon kabarnya malah tersinggung. Wah, kok sudah terbolak-balik jadinya.
Maka dengarlah keluhan Kabag Humas Dinas Tata Pemakaman DKI Jakarta, Eddy Supriatna, yang hampir setiap hari menghadapi orang-orang yang mengaku sebagai wartawan. Mereka tidak memburu berita tapi meminta uang, bahkan ada di antaranya yang mengancam. “Sepanjang hari kerja mereka hanya menganggu. Bahkan setelah beberapa hari dicek, tidak satu pun masalah yang ditanyakan itu dimuat di suratkabar. Korannya saja tak ada di pasaran,” keluh Edy kepada Media Indonesia (19/6/2000).
Di Bekasi lain lagi ceritanya. Tiga kaca pintu gedung Pengadilan Negeri Bekasi pecah menyusul kekisruhan dalam pembayaran pesangon bagi pekerja PT Kong Tai Indonesia yang terkena PHK, Sabtu 10/6. Kekisruhan tersebut bermula dari adanya oknum wartawan yang meminta “jatah” dari petugas bendahara (Pikiran Rakyat, 12/6/2000). Sebelumnya, 8/6/2000, koran terbitan Bandung itu menulis, oknum-oknum wartawan itu minta “jatah transpor dan uang makan” sebanyak Rp 7,5 juta kepada Mel Murad, Bendahara Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SPTSK), Rp 2,5 juta di antaranya diterima oleh Aidil Y. Matondang, Ketua PWI Perwakilan Bekasi. Maksudnya PWI-Orde Baru, bukan PWI-Reformasi, karena PWI-Reformasi justru berusaha mendidik wartawan agar menjauhi “amplop”.
Masih banyak cerita lain mengenai “wartawan bodrex” – meskipun saya tak tahu persis mengapa wartawan gadungan itu mendapat julukan “bodrex”. Yang pasti mereka bukan anggota “Pasukan Bodrex” berseragam merah pimpinan artis dan judoka Dede Yusuf yang suka nampang di layar kaca itu. Tapi, mereka memang ada yang punya “pasukan” sebagaimana pernah diberitakan oleh Media Indonesia edisi Minggu (MIM) beberapa waktu lalu. Mereka biasa bergerombol di Bursa Efek Jakarta atau Jakarta Design Center – meski tentu banyak pula wartawan profesional di kedua tempat tersebut. Menurut MIM, ketika satu atau dua anggota “pasukan bodrex” itu berhasil melakukan “wawancara” (baca: minta duit) kepada seorang narasumber, kontan menghamburlah “pasukan” itu ikut pula “wawancara”.
Harian Kompas pernah pula memberitakan betapa si “bodrex” tertangkap basah minta “uang transpor” kepada salah seorang gubernur yang tengah mengikuti Rapat Kerja Gubernur di Departemen Dalam Negeri. Bahkan DetikCom suatu kali menayangkan berita mengenai “seorang wartawan” yang minta jatah “uang makan” kepada seorang anggota DPRD Jawa Timur di Surabaya, kemudian diusir oleh para wartawan beneran. Selidik punya selidik, oknum-oknum yang mencemarkan nama baik korps wartawan itu rata-rata memang WTS alias “wartawan tanpa suratkabar” atau “pengacara” – pengangguran cari-cari acara.
Ketika masih (beruntung) tercatat sebagai wartawan TEMPO, dengan penuh percaya diri saya bertekad menjadi wartawan profesional, independen dengan integritas moral yang tinggi. Artinya, emoh amplop. Tentu saja, sebab ketika itu gaji saya cukup besar, dengan fasilitas dan berbagai tunjangan serta bonus. Tapi, sekarang, ketika saya sempat bertemu dengan kawan-kawan di sebagian wilayah tanah air, saya pun mengelus dada. Gaji kawan-kawan wartawan yang tinggal di daerah – tapi juga sebagian wartawan yang bekeja di Jakarta – rata-rata sangatlah kecil. Ada yang hanya Rp 250.000, bahkan ada pula yang cuma Rp 80.000.
Nah, lantas bagaimana kita mendidik wartawan agar mereka menolak “amplop”? Pendidik pers seperti Ashadi Siregar bisa saja bicara soal filosofi “panggilan hidup” dan “panggilan perut”, sementara tokoh Dewan Pers seperti Jakob Oetama boleh bicara mengenai idealisme pers ketika mereka berbicara dalam seminar mengenai Etika Jurnalistik di Jakarta yang digelar Yayasan Jurnalis Independen belum lama ini. Tapi, pernahkah terpikir oleh kita, sudah lama ada (sebagian) majikan pers yang mengupah wartawan dengan uang segobang sembari bilang: “Carilah tambahannya di luar kantor”?
Seorang wartawan muda di Medan, yang idealismenya membara, bercerita kepada saya: ada kebiasaan wartawan menyetor sebagian “amplop” kepada redaksi agar berita mereka mendapat jatah kapling di halaman tertentu. Buntut cerita itu ternyata bukan happy ending: ada (sebagian) redaktur – yang gajinya agak lebih besar – ikut pula turun ke lapangan. Buat apa, kan tugasnya di desk? Ikut berebut jatah “amplop”, dong. Artinya, masalah “amplop” tidak hanya berkait dengan faktor kemiskinan kantung wartawan, tapi juga berkelindan dengan moral yang memang bobrok.
Di era reformasi yang membuahkan kebebasan pers – ketika pers yang sejak Orde Baru jadi “pers industri” dan kini jadi komoditi yang latah, karena setiap orang bisa menerbitkan koran tanpa izin – fenomena “amplop” itu semakin mewabah. Dengan modal dengkul pun, orang bisa jadi majikan pers. Kebutuhan akan SDM yang mendesak mendorong rekrutmen wartawan yang “asal comot” tanpa in-house training. Bahkan Rosihan Anwar pun beberapa waktu lalu mengeluh di Kompas bahwa pendidikan yang selama ini ia lakukan di KLW (Kursus Latihan Wartawan), gagal. Berapa prosen pula dari puluhan ribu wartawan yang berhasil dididik oleh lembaga pendidikan yang bagus seperti LP3ES, LP3Y, LPDS, ISAI?
Selama ini (sebagian) majikan pers yang tergabung dalam Serikat Perusahaan Pers (SPS) sudah menikmati kemudahan karena pers dianggap sebagai “sarana mencerdaskan bangsa”. Mulai dari keringanan pajak impor kertas, keringanan biaya transpor pengiriman koran, ditambah penerimaan iklan. Namun, (sebagian) mereka tega memerah keringat wartawan dan alergi terhadap upaya pembentukan Dewan/Serikat Karyawan, sementara wartawan tak menyadari hak-hak mereka sebagai “kelas” pekerja alias buruh. Tak berani menggalang solidaritas, apalagi mogok, jika suatu saat hak mereka terabaikan. Apa boleh buat, karena sejak semula mereka bekerja tanpa perlindungan KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), tak ada ketentuan standar penggajian, apalagi asuransi.
Kecilnya gaji seharusnya tak menghalalkan wartawan menggadaikan harga diri untuk menerima apalagi meminta “amplop”. Namun repotnya, di satu sisi wartawan adalah buruh tapi di lain pihak orang bilang mereka profesional dan idealis. Idealnya, ia adalah agent of modernization, agent of social change, pejuang kebenaran, keadilan dan pembela rakyat kecil yang tertindas. Wartawan seharusnya memiliki wawasan luas dengan banyak membaca dan berdiskusi. Itu memang hanya bisa berarti slogan atau harapan kosong belaka. Tapi, apa yang bisa kita kerjakan dan idealkan jika hidup ini tanpa setitik harapan pun?
Memang tak mudah mengatakan, “jangan jadi wartawan kalau gaji kecil lalu menerima amplop”. Tak semudah itu. Salah satu jalan keluar – yang juga tak gampang disosialisasikan – misalnya mendorong keluarga wartawan membuka usaha sebagai agen koran. Sudah merupakan rahasia umum, bahwa penghasilan agen koran justru lebih besar ketimbang gaji wartawan. Atau membentuk Dewan/Serikat Karyawan sehingga bargaining position mereka cukup kuat untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja. Justru di masa serba terbuka seperti sekarang segala sesuatu bisa dilakukan. Kinilah saatnya para wartawan peduli akan nasib mereka sendiri, saling menempa profesionalisme dan karakter sebagai insan idealis, menggalang solidaritas untuk membela hak-hak sebagai pekerja!
***
Wednesday, May 21, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)