Ada wartawan yang tidak kritis: langsung mengutip ucapan pejabat, padahal salah.
Ucapan Jusuf Kalla yang salah itu, besar hati, dikutip seperti apa adanya oleh wartawan Kompas (INU/JOY) dan wartawan Koran TEMPO (Rafly Wibowo/Sutarto/Fanny Febiana). Repotnya, redaktur kedua koran itu juga tidak kritis.
Padahal, yang benar ialah besar jiwa (lapang dada, legowo), bukan besar hati (gembira, girang, senang). Sudah sebulan lebih ucapan itu disiarkan, tapi tidak diralat oleh jurubicara kepresidenan, juga tidak oleh redaktur koran yang bersangkutan.
Kesalahan sama dilakukan oleh sutradara dan bintang film Rano Karno ketika mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Selembar poster ditempel pada salah satu mobilnya, Sekali-kali jadi Wakil Gubernur.... Yang benar ialah sekali-sekali (sewaktu-waktu), bukan sekali-kali (sama sekali tidak).
Itu adalah salah kaprah dalam berbahasa. Salah kaprah (ungkapan dalam bahasa Jawa) ialah kesalahan yang biasa dilakukan, tapi telanjur dianggap benar. Celakanya, baik orang awam maupun pejabat, bahkan juga pers, sering kejangkitan penyakit salah kaprah dalam berbahasa.
Misalnya, kalimat ini: Redaktur menugaskan reporter meliput pertandingan olahraga (salah kaprah). Yang benar, Redaktur menugasi reporter (untuk) meliput pertandingan olahraga. Atau, redaktur menugaskan peliputan pertandingan olahraga kepada reporter (tapi kurang lazim).
Yang agak rumit ialah memenangkan dan memenangi dalam kalimat berikut: PSSI memenangkan pertandingan sepakbola (salah kaprah). Siapa yang menang? Yang menang ialah “pertandingan sepakbola”, bukan PSSI. Tapi, kalimat PSSI memenangi pertandingan sepakbola -- benar, tapi terlalu dipaksakan. Menurut hemat saya, lebih baik PSSI menang (unggul) dalam pertandingan sepakbola.
Kasus yang hampir sama terjadi pada kata membawahi dan membawahkan. Yang benar, Presiden membawahkan para menteri, bukan Presiden membawahi para menteri (salah kaprah). Sebab, Presiden membawahi para menteri, berarti presiden memposisikan diri (berada) di bawah menteri.
Bandingkan membawahi dan melayani. Kalimat Presiden melayani para menteri, tidak logis, sebab menteri adalah pembantu atau bawahan presiden. Tapi, Presiden mengatasi persoalan (benar), bukan mengataskan (tidak lazim).
Ada ketentuan tatabahasa yang dalam penggunaannya mengalami salah kaprah. Ketentuan itu: semua kata dasar yang berhuruf awal k, p, t, dan s, jika mendapat awalan me atau pe dan akhiran kan atau an, maka huruf awal itu harus luluh. Tapi, dalam praktik keempat huruf itu tidak luluh.
Pertama, kata kaji; mestinya mengaji, pengajian. Tapi, dalam praktik, mengkaji, pengkajian, kecuali jika pengertiannya mengaji atau pengajian Al-Quran. Padahal, mempelajari teknologi mestinya juga termasuk pengajian, bukan pengkajian. Apa salahnya kita menggunakan mengaji atau pengajian teknologi?
Kedua, kata pesona mestinya memesona, tapi salah kaprah menjadi mempesona. Atau kata perkara seharusnya memerkarakan, tapi salah kaprah menjadi memperkarakan. Kata jadian untuk peduli seharusnya memedulikan, tapi salah kaprah menjadi mempedulikan. Anehnya, kata jadian putus bukan memputuskan melainkan memutuskan. Adapun mempunyai, benar, sebab kata dasarnya bukan punya, tapi empunya.
Ketiga, kata tunduk dan tambah, kata jadiannya menundukkan dan menambahkan, sesuai dengan ketentuan, yakni huruf pertama luluh, tidak mengalami salah kaprah.
Keempat, kata sukses mestinya menjadi menyukseskan, tapi salah kaprah menjadi mensukseskan. Bahkan ada yang membacanya mengacu pada kata success dalam bahasa Inggris: mensakseskan. Sebaliknya, kata sabar yang kata jadiannya menyabarkan (benar). Jika mengacu pada mensukseskan, mengapa kata jadian sabar bukan mensabarkan?
Yang menarik ialah tiga kata dasar yang terdiri dari satu suku kata, seperti sah, cat dan cap. Jika ketiga kata itu mendapat awalan me atau pe dan atau akhiran an atau kan, maka kata jadiannya menjadi mengesahkan, mengecat, mengecap, karena mendapat sisipan huruf sengau ng. Selama ini masyarakat kita sudah menggunakan kata jadian tersebut.
Baik. Tapi, jika kita analisa, kata dasar ketiga kata itu hilang atau berubah, bahkan aneh. Lihatlah: pengesahan (pe-ng-esah-an), kata dasar yang seharusnya sah berubah menjadi esah, atau kesah. Begitu pula pengecapan (pe-ng-ecap-an), kata dasar yang seharusnya cap menjadi ecap, atau kecap. Dan pengecatan (pe-ng-ecat-an), kata dasar yang mestinya cat menjadi ecat, atau kecat.
Aneh bin ajaib.
Budiman S. Hartoyo