Tuesday, December 11, 2007
LAPORAN SAMPAH, LAPORAN BASAH; LAPORAN KERING, LAPORAN BERDAGING
Oleh Budiman S. Hartoyo *)
SETIAP akhir pekan, para wartawan TEMPO dilanda stres. Bahan berjibun, deadline pun mengancam di pucuk ubun-ubun. Nasi dan lauk pauk beraneka selera untuk makan malam yang terhidang di pinggir ruang redaksi, dan dingin AC yang menggigit, tak mampu mengusir rasa gelisah. Kantuk adalah musuh nomor satu, begadang bukan lagi kebiasaan langka. Setiap akhir pekan, sebagian besar wartawan (dan redaktur) menginap di kantor, melemparkan tubuh barang sejenak di kolong meja. Begitu yang terekam dalam kenangan saya lebih dari seperempat abad silam.
Jangan ganggu Fikri Jufri. Ia tengah mengedit naskah, sebuah laporan ekonomi tentang skandal korupsi di perusahaan minyak milik negara, Pertamina. Tubuhnya yang tambun bisa terguncang setiap kali ia jengkel membaca laporan wartawan yang tak layak. “Setan! Ini laporan apa? Brengsek! Laporan sampah! Bull shit!” teriaknya menyumpah-nyumpah sembari bangkit dari kursi menuju toilet. Ia melepas hajat kecil, lalu merogoh saputangan dari kantung celana, menyergah ingus. Jam dinding yang bulat menunjuk angka 02:25 dinihari. Tegang! Tapi ah, peduli amat! Setiap orang toh sibuk dengan urusan masing-masing.
Jika ia gusar, naskah di tangan kanannya bisa dibanting. Atau sekedar dikibas-kibaskannya ke bibir meja. Dan sambil terus ngedumel, ia ngeloyor. “Hhh, hhh, hhh! Sialan!” ia bersungut-sungut. Hidung mancung Arab-nya kembang-kempis. Kepalanya mendongak sambil matanya yang berkacamata minus melirik sinis ke kiri-kanan. Tapi, tak selamanya redaktur senior itu mengumbar sumpah serapah. Ia justru lebih banyak bercanda sambil sesekali melontarkan joke diseling cas-cis-cus bahasa Inggeris. Jika hatinya lagi enak, nah, suasana kerja pun terasa ringan. Orang tergelak setiap kali ia ngeledek seorang kawan dengan jenaka.
“Hei, Bung! Ha, Emir David, how are you?” suaranya memecah kebekuan menyapa Amir Daud, redaktur senior yang sangat concern dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, sambil menghampiri meja saya dia nyerocos dengan logat Betawi: “Nah, ini die nyang namenye laporan basah, bedaging. Ndak kering. Gampang kite ngejaitnye.” Sekilas tercium aroma bir meruap dari mulutnya. Esoknya, pada hari kedua deadline, hidungnya yang besar dan mancung itu masih saja mengancam wartawan yang laporannya “kering tak berdaging”. Tapi, orang-orang sudah melupakannya. Terutama setelah Susanto Pudjomartono, dengan gaya Jawa dan candanya, membujuknya. Ia memang lihay menengahi setiap muncul percik konflik kecil antar redaksi.
Tak jarang pula, suasana di ruang redaksi di lantai ketujuh sebuah gedung jangkung di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Pusat, itu lengang. Semua tenggelam dalam kerja. Atau lelap tertidur. Sesekali terdengar dengkur satu dua orang. Tak ada yang peduli. Kecuali jika suatu saat, ketika di tengah malam yang senyap itu, terdengar katepak-ketepik suara sepatu. Nah, ini dia: Isma Sawitri ngeloyor ke salah satu meja tempat hidangan malam. Tapi ia tak menyentuh nasi atau sayur asem. Biasanya hanya mengambil dua butir jeruk. Peletak-peletik, peletak peletik, memecah kesunyian malam.
Laporan sampah, laporan basah; laporan kering, laporan berdaging. Para wartawan yang pernah “hidup sekandang” dengan FJ ingat betul istilah-istilah khas itu keluar dari mulutnya. FJ adalah inisial untuk Fikri Jufri, sebagaimana GM untuk Goenawan Mohamad, SP untuk Susanto Pudjomartono, IS untuk Isma Sawitri, BHM untuk Bambang Harymurti, atau Bambu untuk Bambang Bujono – yang lebih dari seperempat abad silam diperkenalkan oleh Amir Daud alias AD – yang oleh FJ kadang diledek sebagai Emir David. Memang, hanya laporan basah atau berdaging yang mampu mempertahankan trade mark majalah TEMPO, sehingga “enak dibaca dan perlu.”
Saya tak tahu persis kapan redaktur TEMPO atau bagian iklan (dugaan saya malah GM sendiri!) menciptakan slogan yang singkat, padat, pas, dan kena, seperti “enak dibaca dan perlu” itu. Juga sejumlah slogan untuk pemasaran, seperti Jangan peluk dunia, baca TEMPO. Atau slogan bersayap lainnya untuk menggambarkan rubrik-rubrik TEMPO: “nasional tapi bukan politik; ilmu tapi bukan teknologi; kesehatan tapi bukan ilmu kedokteran; agama tapi bukan khotbah.” Yang paling populer: Tak semua berita perlu dibaca. TEMPO, enak dibaca dan perlu – yang dengan sangat tepat mengungkapkan gaya laporan TEMPO yang khas.
Mengapa “enak dibaca”? Karena laporan ditulis secara populer, menggambarkan suasana atau profil seseorang secara deskriptif, menceritakan kejadian secara bertutur, naratif, yang menurut FJ “harus dijahit secara cerdas” oleh redaktur, berdasarkan “belanjaan reporter” di lapangan. Mengapa “dan perlu”? Karena setiap usulan berita harus diseleksi terlebih dahulu, didiskusikan dalam rapat, sehingga benar-benar “layak TEMPO”. Sejak awal, ketika pertama kali TEMPO terbit pada 1971, salah satu teks iklan (yang saya yakin dirancang oleh GM) menggambarkan karakter laporan TEMPO, yaitu ramuan antara “ketrampilan jurnalisme dan kepiawaian sastra”.
Menurut saya, sejak TEMPO terbit itulah sesungguhnya pers Indonesia mengenal apa yang sekarang disebut sebagai “jurnalisme sastra”. Atau yang belakangan, pada tahun 200-an, ditabalkan oleh Jurnal Pantau sebagai “jurnalisme sastrawi”. Dua penamaan yang menurut saya kurang tepat, dibanding misalnya “jurnalisme literair”, mengacu pada literary journalism. Sebagai wartawan – yang sebagian terbesar “masa berguru”-nya sebagai reporter di TEMPO (1972-1995) – selama itu pula saya belum pernah membaca Hiroshima-nya John Hersey (The New Yorker, 31 Agustus 1946). Sebab, selama di TEMPO saya langsung menulis tanpa tengok kiri-kanan. Saya malah heran, belakangan ada yang bilang, gaya tulisan saya dan tulisan beberapa kawan yang lain – dinilai sebagai jurnalisme literair.
Sesunguhnya TEMPO sangat beruntung – atau memang dirancang oleh GM, yang “terpanggil” oleh sejarah sebagai pendiri TEMPO dan pelopor “jurnalisme baru” di Indonesia – karena di sana ada sejumlah sastrawan: Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Isma Sawitri, Putu Wijaya, Syu’bah Asa, Usamah, Martin Aleida, dan belakangan si kembar Noorca Marendra dan Yudhistira Massardi, serta Amarzan Lubis, yang nama aslinya Amarzan Ismail Hamid. Tapi, juga sangat terbantu berkat kerja keras para reporter andal seperti Fikri Jufri, Susanto Pudjomartono, Toeti Kakiailatoe, fotografer hebat Ed Zoelverdi, editor bahasa Slamet Djabarudi, dan jangan lupa guru para wartawan: Amir Daud.
Percaya atau tidak, selama sembilan tahun, TEMPO tak pernah menggelar in-house training bagi para wartawannya. Maka, ketika menerbitkan buku panduan buat para redaktur, Misalkan Anda Wartawan TEMPO (1979), dalam kata pengantarnya GM mengakui, bahwa para wartawan TEMPO generasi pertama “tak sedikit yang belum pernah bersintuhan dengan teori dasar jurnalistik sama sekali.” Bahkan ia berterus-terang, “Setelah beberapa belas tahun, baru setelah bekerja di TEMPO, saya merasa mulai dapat mengarang prosa sebagaimana mestinya”. Dan “prosa sebagaimana mestinya” itu menurut GM ialah prosa yang “tidak ruwet”.
Karena itu, tulis GM, perlu dirumuskan bagaimana terus menggosok rapi (teknik) penulisan di TEMPO. GM, yang ketika itu sudah terkenal sebagai penyair dan eseis, juga mengaku, “Prosa yang baik ternyata tidak mudah, dan selalu perlu diperbaiki terus-menerus. Para penulis, yang paling berpengalaman pun, selalu perlu diingatkan lagi kekurangan-kekurangannya”. Dari pengakuan GM itulah, tradisi jurnalisme literair dimulai di Indonesia – setidaknya, sekali lagi, menurut saya. Maksud saya, sekian tahun sebelum Jurnal Pantau terbit dan cenderung mengklaim sebagai “pelopor jurnalisme sastrawi”. Kala itu, saya memastikan bahwa GM sudah mengikuti perkembangan jurnalisme literair di Amerika.
Perlu dicatat, bahwa sekitar 10 tahun sebelum GM untuk pertama kalinya menerbitkan EKSPRES pada 1970, kemudian TEMPO pada 1971, jurnalisme literair baru mulai menggeliat di Amerika. Dua nama yang pertama kali boleh disebut, misalnya, Gay Talese dan Tom Wolfe. Dan belakangan muncul sejumlah penulis lain, termasuk yang paling saya gemari, John Hersey. Tapi, GM tak pernah bercerita kepada kami, setidaknya kepada saya, mengenai gaya menulis yang “basah dan berdaging” -- sebagaimana yang dimuat di Esquire, Atlantic, Harper’s, New York Magazine, Life, New York Herald Tribune, The New Yorker.
Yang pasti, sejak semula para redaktur TEMPO sudah menyajikan tulisan yang “basah dan berdaging”. Itu tak berarti bahwa mereka sudah mengerti apa itu jurnalisme literair. Sebab, baru pada 1979 mereka dikasih tahu bagaimana menulis yang baik, yang “layak TEMPO”, dalam sebuah buku kecil, Misalkan Anda Wartawan TEMPO – yang 17 tahun kemudian berganti judul menjadi Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Nah, bagi para wartawan yang mau belajar menulis dengan gaya jurnalisme literair, wajib hukumnya membaca buku Seandainya Saya Wartawan TEMPO saduran (alm) Slamet Djabarudi dari buku Feature Writing for the Newspapers, dan sepintas lalu boleh juga membuka-buka buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Santana Kurnia (Gramedia, Jakarta, 2002).
Oleh karena itu, jika kini ada orang bilang bahwa jurnalisme literair merupakan trend baru dalam pers Indonesia, sungguh saya tidak setuju! Bahkan saya berani bilang, bahwa sesungguhnya tak terlalu tepat jika Gay Talese, Tom Wolf, dan konco-konconya, disebut sebagai pelopor jurnalisme literair. Sebab, 10 tahun sebelumnya, pada 1953, tiga serangkai wartawan pendekar, yaitu S. Tasrif, Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar, sudah menulis jurnalisme literair dan dibukukan dalam sebuah buku Ke Barat dari Rumah, Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik.
Bahkan jauh sebelumnya, 1926-1927, salah seorang perintis pers nasional Adi Negoro, sudah menulis laporan dengan gaya jurnalisme literair di majalah Pandji Poestaka, yang kemudian diterbitkan oleh Balai Poestaka (1939, tiga jilid), tapi baru dikoleksi oleh HB Jassin pada 1945. Ketika mewawancarai K.H. Abu Bakar Ba’asyir dan mereportase Pondok Pesantren Ngruki (Solo) untuk Jurnal Pantau (Mei 2000), saya menemukan sebuah buku di pasar buku loak di belakang Taman Sriwedari, Solo. Buku dalam bahasa dan huruf Jawa yang diterbitkan oleh Balai Poestaka (1921), yang ketika itu masih bernama De Commissie voor de Volkslectuur, lebih dari 600 halaman.
Buku yang kemudian saya beli seharga Rp 300 ribu itu berjudul Lampahipoen Kangdjeng Pangeran Arja Koesoemadiningrat Ngideri Bhoewana (Perjalanan KPA Koesoemadiningrat Mengelilingi Dunia). Semula saya menduga, buku itu merupakan laporan perjalanan jurnalistik kedua setelah laporan R.M. Sosrokartono (yang punya nama samaran “Mandor Kloengsoe”) untuk koran New York Time. Ketika itu, kakak kandung R.A. Kartini tersebut meliput berkecamuknya Perang Dunia I di Eropa (1914-1918). Tapi, karena ternyata Sosrokartono kemudian lebih menekuni dunia kebatinan ketimbang jusnalisme, ia pun tak menulis laporan perjalanan jurnalistik. Lain halnya dengan Pangeran Koesoemadiningrat. Meskipun ia bukan jurnalis, catatan perjalanannya niscaya merupakan laporan perjalanan (keliling dunia!), yang pertama kali disusun oleh orang Indonesia.
Laporan jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra seperti itulah yang saya maksud dengan jurnalisme literair. Tapi, itu tak berarti tulisan tersebut lantas bisa bernilai sebagai hasil sastra. Sebab, jurnalisme literair tetaplah karya jurnalisme, hanya cara atau gaya menulisnya “agak mendekati” gaya penulisan yang literair. Lebih dari itu, jurnalisme literair lebih mengutamakan deskripsi, penggambaran segala sesuatu secara detil, ditulis dengan konfirmasi yang seimbang. Sebagai contoh, tak usahlah jauh-jauh mencari sampai ke Amerika. Jurnalisme literair karya wartawan Indonesia cukup banyak. Bahkan, tak usah menengok ke belakang terlalu jauh sampai ke masa Perang Dunia I. Karya jurnalisme literair para wartawan Indonesia di tahun-tahun mutakhir juga cukup banyak. Misalnya, Dari Gunung ke Gunung (1950-an) oleh A. Damhoeri, laporan tentang suka duka para pemimpin dan pendukung PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera Barat.
Mau yang lain? Sebutlah: Revolusi di Nusa Damai (1982) oleh Ktut Tanri, otobiografi saksi mata revolusi kemerdekaan; Kuantar ke Gerbang (1981), biografi Ibu Inggit Garnasih, dan Gelombang Hidupku (1982), biografi Dewi Dja, keduanya oleh Ramadhan KH; Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1984) oleh Umar Kayam, reportase tentang kesenian tradisional di berbagai daerah; Selamat Tinggal Hindia (1993) oleh Pans Schomper, otobiografi anak Belanda di sekitar runtuhnya Hindia Belanda. Juga karya-karya Rosihan Anwar seperti Kisah-Kisah Jakarta setelah Proklamasi (1977); Kisah-Kisah Jakarta Menjelang Clash ke-I (1979); Musim Berganti (1985); Perkisahan Nusa (1986).
Adapun buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan Kurnia bagus sebagai referensi, atau sebagai pelengkap bagi para pembaca buku Seandainya Saya Wartawan TEMPO. Namun, buku yang dikemas apik oleh Penerbit Gramedia itu bukan tanpa cacat. Selain melupakan jejak sejarah jurnalisme literair di Indonesia, Septiawan juga keliru ketika menyebutkan nama penulis puisi tentang Nyi Eroh, wanita petani di Pasirkadu, Ciamis, Jawa Barat, yang berhasil membuat saluran air dengan memangkas bukit, dan akhirnya mendapat anugerah Kalpataru (TEMPO, 16 Juli 1988). Menurut Septiawan, puisi tersebut “laporan Isma Sawitri” (halm.180), padahal itu adalah puisi yang saya tulis berdasarkan laporan wartawan TEMPO Biro Bandung, Aji Abdul Gofar.
Kekurangan lain buku susunan dosen Unisba Bandung itu: hampir tak ada contoh karya jurnalisme literarir dalam pers di Indonesia masa kini. Padahal beberapa tulisan di Jurnal Pantau bisa dijadikan contoh. Begitu pula beberapa laporan TEMPO, terutama edisi lama. Meski tanpa deskripsi yang penuh warna atau basah, tulisan GM tentang meninggalnya Jack Lesmana (TEMPO, 23 Juli 1988), sangat bagus. Begitu pula tulisan tentang Titiek Puspa (TEMPO, 12 Nopember 1977). GM bahkan merekomendasi tulisan Jim Supangkat, sebuah resensi pameran lukisan, sebagai tulisan yang layak dicontoh, dan karena itu dibingkai dan dipajang di ruang kerja redaksi.
Bacalah pula misalnya beberapa tulisan dalam rubrik Tamu Kita di majalah TEMPO. Misalnya, tulisan mengenai Goesti Poetri Mangkoenagoro VIII (TEMPO, 17 Mei 1975): Di Pracimosono, tiada suara pagi itu. Hening seperti biasa. Dari ruang khusus untuk menerima tamu pribadi itu hanya terdengar cericit burung. Lewat taman yang terpelihara apik di tengah balairung, cahaya matahari yang lunak menimpa sepertiga bagian permadani tebal yang terhampar di lantai berbunga....
Salah satu ciri jurnalisme literair ialah reportase yang deskriptif, penuturan yang naratif, penggambaran profil yang lengkap dan detil. Pendeknya, kemampuan reporter melukiskan suasana di sekitar tokoh atau suatu kejadian sebagai pendukung tulisan. Tapi, deskripsi tidak selamanya harus berupa kalimat, apalagi yang berpanjang-panjang. Seorang penulis yang baik ialah yang menguasai dan mencintai bahasa, sehingga ia mampu menggunakannya sebagai alat pengungkap ekspresi yang pas dan penuh warna.
Masih sekitar tulisan tentang Irma Hardisurya, Ratu Indonesia 1975, di rubrik Tamu Kita, yang menarik ialah lead-nya yang dimulai hanya dengan satu kata: Pagi. Lalu diikuti kalimat pendek yang hanya terdiri dari empat kata saja: Matahari Bandung baru sepenggalah. Perhatikan, betapa penulisnya berusaha melukiskan suasana ketika ia sedang melakukan wawancara. Dan cukup dengan satu kata: Pagi. Perhatikan pula betapa ia – sebagaimana generasi lama TEMPO yang lain – berusaha menggunakan ungkapan lama yang ketika itu sudah sangat jarang digunakan: sepenggalah.
TEMPO memang berjasa menghidupkan kembali kosakata lama. GM mempopulerkan ujar, Bur Rasuanto memperkenalkan kosakata dari kampung halamannya, Palembang, santai. Putu Wijaya gemar menggunakan kata-kata yang sangat ekspresif, menggebrak, menggojlok, menonjok, menggebu; sedangkan Ed Zoelverdi, fotografer yang suka menulis dengan gaya yang sangat lucu itu, gemar menggunakan kosakata jenaka seperti kudu, melejit, nungging, dan ending sebuah cerita yang juga terdiri dari satu kata, diambil dari dialek bahasa lisan Betawi: Begitu. Kecintaan kepada bahasa, kegemaran berinovasi, dan kemampuan menggunakannya secara kreatif imajinatif, merupakan salah satu kekuatan jurnalisme literair.
Celakanya, kini sebagian terbesar wartawan, secara tak sadar, telah kejangkitan virus yang disebarkan oleh sebuah harian besar yang terbit di Jakarta. Tanpa merasa berdosa, dengan enteng mereka menggunakan kosakata yang salah: jelasnya, tandasnya, terangnya, akunya, bahkan juga batinnya atau batinku, sebagai pengganti katanya atau ujarnya. Barangkali mereka ingin membuat variasi. Padahal, orang Inggris saja hanya menggunakan say, says, said, tell, told – dan sama sekali tak berkeinginan membuat variasi.
Wartawan yang tidak mencintai bahasa adalah bebal, wartawan yang malas terjun melakukan reportase adalah goblok.***
---------------------------------------------------
*) Budiman S. Hartoyo, dikenal sebagai salah seorang di antara sedikit wartawan senior Majalah Berita Mingguan TEMPO, yang sampai berusia 69 tahun tetap konsisten sebagai jurnalis. Ia bahkan masih dipercaya sebagai penulis dan editor tamu majalah TEMPO. Lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 5 Desember 1938, BSH -- demikian sahabat-sahabatnya sering menyebutnya -- praktis selama hampir seperempat abad bekerja di TEMPO, sejak 1972 (setahun setelah pertama kali terbit) hingga majalah tersebut dibreidel pada 1995. Sebelumnya ia bekerja di RRI Surakarta, dan menjadi koresponden beberapa media terbitan Jakarta, termasuk Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI).
Setelah TEMPO dibreidel, ia bekerja di majalah Amanah, harian Media Indonesia, majalah D&R, majalah Gamma, kontributor Jurnal Pantau -- semuanya terbit di Jakarta, dan sejak 2003 ia dipercaya sebagai redaktur eksekutif majalah dwipekan alKiah. Di awal “era reformasi” BSH sempat menjadi salah seorang deklarator organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (1995) dan pendiri PWI-Reformasi (1998).
Selain sebagai wartawan profesional -- yang sangat concern pada penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penulis jurnalisme literair yang langka -- BSH juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya sempat dimuat di beberapa majalah sastra terkemuka seperti Basis, Budaya (Yogyakarta), Gelanggang, Mimbar Indonesia, Sastra, Budaya Jaya, Horison (Jakarta). Namun, ia bukanlah penyair yang produktif. Dua puisinya, terakhir kali dimuat di majalah sastra Horison, Januari 2007. Ia baru menerbitkan dua kumpulan puisi: Sebelum Tidur (1972, sudah empat kali cetak ulang) dan Puisi-puisi Haji (bersama penyair Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri). Belakangan, ia sempat melakukan re-writing dua buku otobiografi: Marsekal Madya (Purn) Sri Bimo Ariotedjo dan pengusaha nasional Basyiruddin Rahman Motik.***
Subscribe to:
Posts (Atom)