/ Budiman S. Hartoyo
DALAM dunia jurnalisme, korelasi antara integritas dan urusan perut -- katakanlah “kesejahteraan” -- sebenarnya tidak ada. Kalaupun korelasi itu dianggap ada, hal itu bersifat semu. Tapi justru karena sifatnya yang semu itulah, mungkin agak samar-samar, orang bisa salah mengerti. Selama ini memang ada kesan, atau persepsi (yang salah), seolah-olah wartawan yang memiliki integritas, yang idealis, tidak bisa hidup sejahtera; seolah-olah idealisme identik dengan kemiskinan.
Sebaliknya, wartawan yang tidak terlalu peduli pada apa yang disebut “idealisme” -- bahkan kadang cenderung mengabaikannya -- konon malah lebih pintar mencari duit, penampilan luarnya lebih parlente, keluarganya lebih sejahtera. Bisa dimaklum jika ada wartawan jenis ini yang bahkan mencemooh kawannya yang ia anggap “sok idealis” itu dengan sinis: “Nah, lu makan tuh idealisme!” Maksudnya, kalau mau cari duit jangan bersentuhan dengan integritas.
Celakanya, selama ini persepsi semacam itu masih berkembang di kalangan para wartawan, bahkan juga di masyarakat luas. Ada persepsi (yang salah) seolah-olah wartawan (juga birokrat, hakim, jaksa, pengacara, polisi, wakil rakyat) yang ingin kaya harus memanfaatkan jabatan dengan melakukan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Padahal jabatan mereka adalah amanah yang identik dengan pengabdian. Tapi anehnya malah ada yang bertanya: “Kalau mengabdi melulu kapan menikmati kesempatan menjabat?”
Sikap keliru semacam itu semakin menggoda, apalagi jika gaji tak mencukupi sementara kebutuhan hidup, di tengah krisis multidemensi dan konsumerisme saat ini, semakin membengkak. Akibatnya terjadilah egoisme membabi-buta yang menafikan tatakrama pergaulan antarmanusia, sehingga yang berlaku ialah the end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Demi mencapai tujuan (yang biasanya buruk) segala macam cara (yang tak etis pun) bisa ditempuh.
Integritas sesungguhnya tidak berkorelasi dengan kemiskinan, tapi dengan moral, ahlak, kepribadian, kejujuran. Sementara sikap hidup yang menafikan integritas tidak berkorelasi dengan kesejahteraan, kekayaan (yang halal). Integritas berkorelasi dengan kepribadian yang ideal sebagai idaman setiap manusia bermoral -- terlepas apakah hidupnya berkecukupan atau tidak. Sementara kemiskinan berkorelasi dengan ketidak-mampuan dalam bekerja, kebodohan, kemalasan.
Rumus axioma kehidupan ialah: seseorang yang ingin kaya haruslah pandai dalam bidangnya (profesional) dan bekerja keras. Bukan menempuh kehidupan dengan menghalalkan segala cara alias the end justifies the means. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki integritas bisa meraih hidup sejahtera, bahagia dan halal, jika ia profesional dan bekerja keras. Sebaliknya, hidupnya bakal senin-kemis jika ia bodoh dan malas, meski sesungguhnya ia punya integritas.
Kita kembali ke dunia jurnalisme. Jika kita merasa terpanggil menjadi wartawan, merasa bahwa jurnalisme merupakan “panggilan hidup”, maka yang pertama-tama harus dipahami ialah, bahwa jurnalisme identik dengan dedikasi, pengabdian. Biar jungkir-balik sampai babak-belur, sampai dimana dan kapanpun juga, takdir wartawan adalah mengabdi kepentingan umum, kepentingan publik. Sama sekali tidak bisa disebut sebagai wartawan jika ia tidak mengabdi kepentingan publik.
Dari pemahaman mengenai kepentingan publik inilah munculnya kebebasan pers. Publik bebas mengakses informasi yang diwujudkan dalam bentuk kebebasan pers. Pers, wartawan, merupakan pengemban amanat publik sebagai pemilik kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers merupakan salah satu dari sejumlah hak-hak sipil yang adalah merupakan hak asasi manusia -- hak yang otomatis melekat ketika seorang anak manusia lahir ke dunia.
Hak-hak sipil itu, antara lain, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak secara kemanusiaan, hak untuk beragama, hak untuk berkumpul, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berekspresi -- yang semuanya harus diperoleh secara bebas. Dari hak untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat (secara bebas) itulah lahir apa yang kemudian dikenal sebagai kebebasan pers. Karena itu pers yang bebas harus mengabdi kepada kepentingan publik.
Kebebasan pers -- sebagai hak sipil, hak asasi manusia, yang diemban oleh wartawan -- merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Tak bisa disangkal, bahwa sesungguhnya demokrasi merupakan tuntutan yang tak mungkin ditawar lagi dalam tatanan kehidupan bernegara yang modern, sementara prasyarat dalam proses demokratisasi ialah terjaminnya hak asasi manusia, yang dengan sendirinya juga hak-hak sipil, yang salah satunya ialah kebebasan pers.
Sampai di ujung dunia manapun, wartawan harus mengabdi kepada kepentingan publik. Karena itu wajar jika pers didudukkan sebagai the fourth estate, pilar ke empat demokrasi, sementara ketiga pilar yang lain ialah eksekutif, legislatif, yudikatif. Itupun tak berarti bahwa wartawan secara formal sejajar dengan ketiga pilar demokrasi yang lain, sebab kesejajaran itu semata-mata kesejajaran politis. Mendudukkan wartawan sebagai wakil golongan di MPR/DPR justru menjerat kebebasan pers.
Nah, betapa mulia profesi wartawan! Maka justru karena “kemuliaan” itulah, profesi wartawan sesungguhnya tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Seperti halnya untuk profesi yang lain, kewartawanan harus dilaksanakan secara profesional. Tak mungkin seseorang yang ingin menjadi wartawan langsung mendapatkan kartu pers lalu ditugasi meliput berita ke lapangan. Ia harus memahami betul seluk-beluk profesinya, mendalami prinsip dan teknis kerja kewartawanan.
Oleh karena ia mengemban kepentingan publik, sementara publik terdiri dari berbagai macam golongan yang memiliki bermacam-ragam aspirasi, seorang wartawan harus independen; dan oleh karena itu beritanya harus berimbang. Ia harus obyektif, tidak berpihak, hanya menyajikan fakta tanpa menambah-nambahkan bumbu opini. Siapapun dia, apapun golongan, etnis atau agamanya, tapi seorang wartawan apa boleh buat, tidak bisa tidak, haruslah selalu dan tetap bersikap independen.
Profesional dan independen! Tapi di atas segala-galanya adalah integritas; bahkan integritas moral yang tinggi. Biarpun seorang wartawan memiliki kemampuan profesional yang hebat, dengan independensi yang cukup terjamin, jika tidak memiliki integritas, ia bisa berkhianat kepada jatidirinya sebagai pengabdi kepentingan publik. Ia akan terkooptasi oleh berbagai kepentingan: kepentingan politik, kepentingan golongan, kepentingan bisnis; larut dalam korupsi, kolusi, nepotisme.
Selama ini pemilik modal tidak memahami bahwa sesungguhnya SDM yang namanya wartawan merupakan aset utama dalam industri pers. Celakanya, wartawan sendiri pun tak memiliki “kesadaran kelas” bahwa mereka merupakan aset yang strategis. Sang pemodal tentu berkepentingan menggaruk keuntungan, dengan antara lain mengupah wartawan dengan gaji kecil, sementara posisi tawar wartawan sebagai buruh sangat lemah -- karena enggan bersatu dalam serikat pekerja.
Wartawan bekerja 24 jam dengan gaji rata-rata kecil! Tapi bagaimana mungkin menuntut gaji yang layak secara kemanusiaan jika mereka tidak profesional? Maka yang kemudian terjadi ialah carut-marut dunia kewartawanan yang sungguh sangat memprihatinkan: wartawan bebal, tidak profesional, buruh yang lemah posisi tawarnya terhadap majikan, buta-tuli terhadap apa yang disebut integritas. Dan pada gilirannya, kita semua tahu, berkembanglah budaya “wartawan amplop”.
“Wartawan amplop”, pemeras, “bodrex”, muntaber (muncul tanpa berita), wts (wartawan tanpa suratkabar). Ada lagi wartaji (wartawan tanpa gaji), yang oleh pemimpin redaksinya (yang juga bodoh) hanya diberi selembar kartu pers atau surat keterangan ala kadarnya, kemudian diterjunkan ke lapangan untuk berburu amplop -- bukan berburu berita! Mereka tidak mampu wawancara, tak tahu seluk-beluk menulis berita; karena sesungguhnya mereka bukan wartawan melainkan pelaku kriminal.
Bagi mereka, apa yang disebut integritas, profesionalisme, independensi mungkin merupakan hantu belau yang menakutkan. Atau barangkali mereka bahkan tak kenal sama sekali. Yang penting duit, urusan perut, soal cara belakangan. Dengan mengaku sebagai “wartawan” (karena mengantungi selembar kartu pers) mereka merasa bebas berbuat apapun juga. Bukankah wartawan dan pers itu “bebas”? Termasuk bebas minta “amplop”! Pers beginian jelas pengabdi kepentingan perut semata.
Nah, apakah ini yang disebut “kesejahteraan” atau “urusan perut” -- yang hendak kita pertentangkan dengan integritas, idealisme -- sejak dari awal pembicaraan kita? Jika yang dimaksud dengan urusan perut ialah hasil kerja keras yang profesional dan halal, jelas itu sangat berkorelasi dengan integritas. Tapi jika urusan perut itu barang yang didapat secara tidak halal, tidak profesional, jelas sama sekali tak ada kaitannya dengan integritas. Sebab, wartawan adalah pekerja profesional yang harus bekerja keras!
Kita ingin mencetak wartawan yang memiliki integritas moral yang tinggi, profesional dan independen -- sebagai “trilogi profesi” yang tidak mungkin ditawar-tawar lagi. Hanya dengan tiga sikap dasar inilah kita mampu memperbaiki citra buruk dunia kewartawanan saat ini yang semrawut, yang nyaris didominasi oleh praktik “wartawan amplop”. Anda ingin jadi wartawan dengan gaji atau penghasilan besar? Jawabnya tegas tuntas: integritas, kerja keras, bukan memeras!
***
Wednesday, November 29, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)