Dua tanda kutip pada sebuah kata, rasa bahasa yang sering kurang dipertimbangkan.
BIARPUN sama-sama memendam dendam, perasaan Benazir Bhutto dan Tamara Geraldine tidaklah sama (Kompas, 16/9/2007). Benazir memang benar-benar memendam dendam terhadap lawan politiknya. Karena itu kata dendam seharusnya tidak ditulis di antara dua tanda kutip (halaman 5). Sebab, jika kata dendam diberi dua tanda kutip, berarti bukan dendam yang sesungguhnya. Sementara dendam Tamara terhadap acara Wisata Kuliner – karena tak bisa mencicipi jenis makanan tertentu gara-gara menderita sakit maag (halaman 32) – hanyalah kiasan. Setelah sembuh, ia melampiaskan "dendam" dengan menemani Bondan Winarno, pengasuh acara tersebut. Maka tepatlah jika dendam ditulis di antara dua tanda kutip.
Selama ini pembubuhan tanda baca berupa dua tanda kutip di depan dan belakang sebuah kata, hampir tak pernah dibicarakan. Padahal, penggunaan tanda baca itu – yang dimaksudkan untuk memberi arti atau tekanan tertentu pada sebuah kata – sering muncul, terutama dalam bahasa pers, bahkan juga dalam bahasa lisan. Ketika seseorang sedang berbicara di televisi dan hendak menyebut sebuah istilah yang mengandung arti tertentu, serta merta ia mengangkat kedua belah tangannya lalu memeragakan cara menulis dua tanda kutip itu dengan kedua jari telunjuk dan jari tengah.
Selain dimaksudkan sebagai kiasan, atau memberi tekanan pada arti lain dari arti yang sebenarnya, tanda baca seperti itu juga digunakan untuk menyebut julukan yang khas, atau istilah tertentu. Tapi, tidak semua penulis, terutama para wartawan, dapat menggunakannya secara tepat. Menulis kalimat dengan suatu "rasa bahasa" sehingga memunculkan asosiasi tertentu, memang tidak mudah.
Dalam kolom Ramadan (Koran Tempo, 16/9/2007, halaman 2), yang mengulas suasana bulan Ramadhan, ada tiga kesalahan dalam menulis kata di antara dua tanda kutip: "sweeping" terhadap minuman keras; kemaksiatan harus "diperangi"; melanggar "peraturan daerah." Jika yang dimaksud dengan ketiga kata tersebut memang benar-benar sebagaimana yang terkandung di dalam artinya, mengapa harus ditulis di antara dua tanda kutip? Jika dibubuhi dua tanda kutip, maka asosiasi yang muncul dari kata atau istilah tersebut justru kebalikan dari arti yang sebenarnya.
Sebaliknya, dalam kolom yang sama terdapat dua kata yang memunculkan asosiasi yang benar ketika penulisnya meletakkan dua tanda kutip pada sebuah kata atau ungkapan: hiburan malam harus "tahu diri"; anak-anak di pengungsian kelaparan menunggu kapan "magrib" tiba. Tepatlah ungkapan tahu diri ditulis di antara dua tanda kutip, sebab si penulis mempersonifikasikan subyek kalimat, yakni hiburan malam. Begitu pula dengan kata magrib yang oleh penulisnya dimaksudkan sebagai kiasan bagi terpenuhinya kesejahteraan bagi para pengungsi.
Gara-gara kurang mempertimbangkan "rasa bahasa" itulah, seorag penulis sering tidak konsisten dalam menggunakan dua tanda kutip itu. Dalam Pertaruhan Terakhir (TEMPO, 26/8/2007, halaman 23) ada dua kalimat yang menunjukkan kurangnya konsistensi tersebut. Setelah kematian Munir, Indra juga pernah bertemu petinggi BIN untuik membicarakan "langkah selanjutnya" (kolom 1). Ungkatan langkah selanjutnya tepat diletakkan di antara dua tanda kutip untuk menunjukkan adanya kongkalingkong antara Indra dan petinggi BIN.
Tapi, dalam kolom 2 terdapat dua kata yang seharusnya tidak perlu dibubuhi dua tanda kutip: Maksudnya, kejaksaan menguraikan aspek "sebab" untuk menjelaskan unsur "akibat", yakni tewasnya Munir. Jika yang dimaksud memang arti sebenarnya dari kata sebab dan akibat, mengapa kedua kata tersebut harus diletakkan di antara dua tanda kutip?
Kekurang cermatan juga terdapat dalam Operasi Permak Wajah (TEMPO, 9/9/2007, halaman 23). Saya kutip sebuah kalimat panjang pada kolom 1-2: Akhirnya, rapat Dewan Gubernur BI memutuskan menggunakan dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia/Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia – disingkat LPPI – yang merupakan "anak usaha" BI. Jika jelas bahwa LPPI adalah anak usaha BI, seharusnya dua kata itu tidak usah ditulis di antara dua tanda kutip. Kecuali jika pada alinea sebelumnya disebutkan adanya keraguan mengenai status LPPI.
Namun pada kolom 1 terdapat cara penulisan yang benar. Saya kutip: Apalagi setahun kemudian BI hanya berhasil meraih predikat "wajar dengan pengecualian". Tiga kata wajar dengan pengecualian merupakan predikat yang dikenakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Bank Indonesia. Sebagai predikat, wajar jika tiga kata tersebut ditulis di antara dua tanda kutip.
Goenawan Mohamad termasuk penulis (sangat) produktif yang suka (dan tepat) menggunakan tanda baca berupa dua tanda kutip – yang seringkali dimaksudkan untuk memberi tekanan pada pengertian yang sama sekali lain. Misalnya, dalam Catatan Pinggir berjudul Ong (TEMPO, 9/9/2007, halaman 130). Mengapa ia menulis Onghokham sebagai "sejarawan" (di antara dua tanda kutip), padahal almarhum memang seorang sejarawan? Sebab, ada penjelasan pada kalimat berikutnya, yakni Ia sendiri punya versi lain tentang dirinya. Dan selanjutnya, Seperti Sartono Kartodirdjo, ia mengutamakan latar belakang sosial-ekomomi sebuah peristiwa, yang menyebabkan sejarah baginya bukan kisah orang "atas."
Maksudnya, bukan "sejarah" sebagaimana kita kenal di bangku sekolah yang mengisahkan orang "atas" alias para raja, pahlawan, pemimpin, melainkan peristiwa yang kompleks, lengkap dengan latar belakang politik, sosial, budaya dan ekonomi yang saling kait-mengait.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Wah, terima kasih, Pak. Banyak ilmu di blog ini.
Alhamdulillah.............
Pak Bud, ternyata bahasa Indonesia yang kita miliki ini hanya sedikit yang sudah dikuasai bangsa sendiri. Nggak salah kalau Malaysia akan mencaplok bahasa ini sebagai akar rumpun bahasa-bahasa di Nusantara. Salut Pak Bud masih mau dan mampu mengkritik penggunaan bahasa di media massa. Saya jadi ingat semangat Pak Bud ketika Kongres PWIR di Bandungan Semarang beberapa wahun lalu. Semoga Gusti Allah selalu memberikan Pak Bud kesehatan. Amin /ema "sukarelawan"-to/ kalau tanda kutip yang inin gimana Pak Bud? hehehehe...
Terimakasih banyak atas komentar mas Ema (yang ini laki-laki sejati lho!). Bung Ema Sukarelawanto adalah sobat saya, wartawan senior dari Denpasar. Sekarang di Bisnis Indonesia.
Soal bahasa Indonesia, yah begitulah. Repotnya, banyak penulis (wartawan bahkan juga sastrawan) yang kadang-kadang kurang memperhatikan bahasa kita.
Mengenai Kongres I PWI-Ref di Bandungan (Maret 2000), alhamdulillah mas Ema masih ingat. Anda termasuk perintis berdirinya PWI-Reformasi. Karena itu, adalah bijak jika mas Ema berusaha membangkitkan kembali PWI-Ref Korda Bali.
Matur nuwun.
Post a Comment