Obituari Elanda Rosi Ds
(21 November 1937 - 27 April 2006)
TELAH meninggal dunia dengan tenang dan wajah tersenyum, sastrawan dan wartawan M. Elanda Rosi Ds, pada hari Kamis 27 April 2006 jam 03:30 WIB dinihari di RS Firdaus, Kompleks Bea Cukai Sukapura, Cakung, Jakarta Utara, dalam usia 69 tahun. Almarhum yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 21 November 1937, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, dua orang di antaranya (ketiga dan keempat) telah mendahului ayahandanya beberapa tahun lalu.
(21 November 1937 - 27 April 2006)
TELAH meninggal dunia dengan tenang dan wajah tersenyum, sastrawan dan wartawan M. Elanda Rosi Ds, pada hari Kamis 27 April 2006 jam 03:30 WIB dinihari di RS Firdaus, Kompleks Bea Cukai Sukapura, Cakung, Jakarta Utara, dalam usia 69 tahun. Almarhum yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 21 November 1937, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, dua orang di antaranya (ketiga dan keempat) telah mendahului ayahandanya beberapa tahun lalu.
Jenazah Almarhum telah dimakamkan di TPU Tanah Kusir pada hari Kamis 27 April 2006, berangkat dari rumah duka Jalan Kakaktua Nomor 12, Kaveling Walikota Jakarta Utara, Cakung, Jakarta Utara, pada jam 13:00 WIB. Ia dikenal sebagai sastrawan (penyair dan cerpenis), dan belakangan lebih aktif sebagai wartawan. Salah seorang sastrawan dunia yang dikaguminya adalah sastrawan Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849).
Sekitar tahun 1950-an, Almarhum aktif dan sangat berjasa menumbuhkan apresiasi sastra di kalangan anak-anak remaja di Solo dengan mendirikan Himpunan Peminat Sastra Surakarta (HPSS) bersama beberapa sastrawan Solo, antara lain Mansur Samin, B. Soetiman, Armaya. Beberapa remaja yang kemudian tumbuh dari kancah HPSS, antara lain Sapardi Djoko Damono, Arifin C. Noer, Slamet Sukirnanto, Budiman S. Hartoyo, Salim Said, Sutarno Priyomarsono, Kastoyo Ramelan, Mochtar Hadi.
Hampir setiap hari mereka berkumpul, berdiskusi, bahkan menginap di rumah Almarhum di Jalan Setabelan III/2, Solo. Para sastrawan dari Jakarta dan daerah lain seperti Wiratmo Soekito, DS Moeljanto, Gerson Poyk (Jakarta), WS Rendra, Kirdjomuljo, Mottinggo Boesje, L. Koessoediarto, Kuslan Budiman (Yogyakarta), Hoedi Soejanto (Salatiga) acap pula berkunjung ke rumahnya. Di rumah itu pulalah pada 1963 gerakan untuk mendukung dan mengorganisasikan penandatanganan Manifes Kebudayaan (untuk wilayah Jawa Tengah) dipusatkan.
Kala itu rumah Almarhum juga sempat menjadi alamat sekretariat Panitia Persiapan Konperensi Karyawan Pengarang Indonesia (koordinator Jawa Tengah) yang kemudian diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret 1963. Para seniman sangat berterima kasih (disertai permohonan mohon maaf sebesar-besarnya) kepada Almarhum, kedua orangtua Almarhum, saudara-saudara Almarhum, dan keluarga besar yang ditinggalkan oleh Almarhum, karena hampir setiap hari mereka tentu sangat terganggu oleh bisingnya diskusi para seniman di teras rumah Almarhum.
Bisa dimaklum, sebab rumah tersebut merupakan satu dari lima pusat kegiatan sastra di Solo kala itu, di samping rumah Mansur Samin di Jalan Jenderal Urip Sumohardjo 21, Mesen, dekat Pasar Gede, Solo; SMP MIS (Modern Islamic School); RRI Surakarta dan gedung HBS (Himpunan Budaya Surakarta) di Alun-alun Utara, Solo. Satu hal yang tak mungkin terlupakan oleh para seniman Solo kala itu – juga pasti oleh para wartawan yang mengenalnya di Jakarta – sikap Almarhum yang low profile, akrab dan ramah, kooperatif namun teguh dalam prinsip, sangat teliti dalam mengedit naskah, tidak gampang marah, piawai dalam berdiskusi (baik mengenai masalah sastra budaya, bahkan perkembangan politik mutakhir), gemar menolong, dan mentraktir kawan-kawan dekatnya.
Di antara kegiatan yang digelar oleh HPSS yang dimotori oleh Almarhum ketika itu, antara lain, latihan deklamasi (poetry reading) di bawah asuhan sastrawan Mansur Samin setiap Minggu sore di SMP MIS; siaran Sajak dan Pembahasannya, sandiwara radio Kumandang Tjita serta Kronik Kebudayaan di RRI Surakarta. HPSS juga sempat menerbitkan majalah Puisi, namun majalah yang distensil sangat sederhana itu hanya terbit sekali. Semua itu berkat pemikiran dan aktivitas Almarhum.
Setiap 27 April, HPSS menyelenggarakan Hari Chairil Anwar disertai lomba menulis puisi dan deklamasi. Dan sesekali menggelar pementasan drama, antara lain, Pintu Tertutup terjemahan Asrul Sani dari karya Jean Paul Sartre; Orang Asing terjemahan Sitor Situmorang dari karya William Saroyan dengan sutradara Mansur Samin; Pinangan terjemahan Sumantri Sastrosuwondho dari karya Anton P. Chekov dengan sutradara Arifin C. Noer. Sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta, Almarhum sempat menjadi redaktur budaya tabloid mingguan Pos Minggu yang terbit di Semarang pimpinan kakak kandungnya, Moersito Ds. Sekitar awal 1965, Almarhum mendapat panggilan untuk memimpin majalah Selecta di Jakarta. Dan sejak itu Almarhum lebih banyak aktif sebagai wartawan, bahkan antara lain sempat memimpin beberapa majalah seperti Dewi dan Sarinah.
Sebelum dikenal sebagai sastrawan, di masa remaja Almarhum menulis puisi di beberapa rubrik remaja seperti Abadi Minggu Junior (dari Harian Abadi, Jakarta). Dua nama di antara para penulis remaja yang ketika itu terkenal ialah Elanda Rosi Ds dan Tutty Alawiyah AS. Setelah itu namanya mencuat di kalangan sastrawan muda (seperti Darmanto Jt, Lastri Fardani dan M. Dawam Rahardjo) yang menulis di rubrik Remaja Nasional dari Harian Nasional yang terbit di Yogyakarta. Namanya mulai dikenal sebagai sastrawan ketika beberapa puisi dan cerita pendeknya dimuat di majalah Konfrontasi (Jakarta) pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Budaya (Yogyakarta) pimpinan Mottinggo Boesje.
Pada hari-hari terakhirnya, Almarhum aktif sebagai juri mengarang dan sesekali berbicara dalam pelatihan menulis, juga aktif sebagai Pengurus Harian Aksara -- sebuah organisasi para sastrawan di Jakarta – bersama antara lain Hamsad Rangkuti, Titie Said, Titiek WS, K. Usman. Almarhum juga masih menulis cerita pendek, antara lain dimuat dalam kumpulan cerpen Bulan Sepi di Belahan Bumi terbitan Yayasan Bhakti Sarinah, Jakarta, dan menulis biografi Amelia Yani, putri Almarhum Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani. Bersama Titiek WS dan Korrie Layun Rampan, Almarhum menyusun buku Profil Perempuan: Pengarang, Penerbit, Peneliti di Indonsia, serta menjadi editor buku Cita Rasa Indonesia: Variasi dalam Selera.
Menurut cerpenis Hamsad Rangkuti, yang bersama pengurus Aksara lainnya (Titiek WS dan K. Usman) sempat menengok sehari sebelum Almarhum meninggal dunia, dalam menulis cerpen Elanda selalu berusaha menciptakan suspense pada ending-nya seperi gaya sastrawan Amerika, Allan Poe.
Catatan: Almarhum Matheus Elanda Rosi Ds bukanlah Elanda Rosi Rs, wartawan Berita Minggu (Jakarta), penulis cerita Betawi, yang meninggal dunia pada 1960-an di Jakarta.
Budiman S. Hartoyo
No comments:
Post a Comment