(Arsip majalah Berita Buku, Agustus 1996).
/ Budiman S. Hartoyo
JAGAT perbukuan Indonesia niscaya tak asing dengan nama Soebagijo I.N. Demikian pula para wartawan dan pengarang senior. Selama tak kurang dari setengah abad, Soebagijo Ilham Notodidjojo (begitu nama lengkapnya) dikenal sebagai penulis biografi sejumlah tokoh nasional. Dan, sampai di hari tuanya, bapak enam anak dan kakek tujuh cucu ini tetap setia dengan profesinya sebagai wartawan dan pengarang. Ia lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 5 Juli 1924.
Bahkan, inilah yang mengagumkan, selama ini ia menghidupi keluarganya hanya dengan hasil goresan penanya belaka. Sampai sekarang! Dengan bangga, dan tentu disertai rasa syukur, ia menyatakan bisa hidup dari menulis. Dan semua anak-anaknya sudah mentas alias “jadi orang”. Cucu pertamanya bahkan sudah menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi. Rumahnya di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, ukuran 22 X 12 meter persegi, juga dibeli dan dibangun dengan penghasilannya sebagai penulis.
Sampai di hari tuanya kini, meski harus cukup berhati-hati lantaran penyakit vertigo yang diidapnya, Pak Bagijo masih tampak sehat. Agaknya “kamus pikun” sama sekali tak dikenalnya. Gerak-geriknya masih lincah, cara bicaranya masih renyah, ingatannya masih jernih. Usai shalat Shubuh, ia masih rutin olah raga jalan kaki di sekitar rumahnya selama kurang lebih 15 menit. Ia lebih banyak berada di rumah: membaca, mengkliping koran, menulis. Kadang-kadang juga menerima tamu, termasuk beberapa wartawan yang menginterviunya.
Akan tetapi ia juga masih berusaha menyempatkan diri menghadiri seminar, diskusi atau pertemuan-pertemuan yang dianggapnya penting, yang umumnya berkaitan dengan sejarah atau pers. Uniknya, sampai saat ini ia masih menulis dengan mesin ketik, bukan komputer. “Saya sering diledek oleh anak-anak dan cucu saya. Mereka bilang saya sudah kuno, karena masih menggunakan mesin tulis,” katanya sembari tertawa terkekeh-kekeh. Namun, tak kalah dengan penulis yang menggunakan komputer, sampai kini sudah puluhan buku lahir dari tangannya. Sebagian besar berupa biografi para tokoh nasional, politisi atau negarawan pelaku sejarah. Selebihnya buku mengenai masalah lain, baik berupa terjemahan atau hasil suntingan.
Beberapa biografi itu, antara lain, Wilopo 70 Tahun (1969), Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang (1980), Sudiro, Pejuang Tanpa Henti (1981), S.K. Trimurti, Wanita Pengabdi Bangsa (1982), K.H. Masjkur, Sebuah Biografi (1982), K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia (1982), Mr. Sudjono, Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942 (1983), Harsono Tjokroaminoto Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah (1985), Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia (1987).
Biografi pertama yang ia tulis ialah mengenai Nyoman Idayu, ibunda Bung Karno, Pengoekir Djiwa Soekarno (1949). Belakangan ia juga menulis biografi Bung Karno dalam bahasa Jawa, Boeng Karno saka Soekamiskin tekan Istana Merdeka (cetakan ke-5, 1960). Buku lainnya kebanyakan mengenai pers. Misalnya, Lima Windu Antara, Sejarah dan Perjuangannya (1978), atau biografi singkat para pelopor pers nasional, Jagat Wartawan Indonesia (1981), yang pernah diresensi di harian Asahi Shimbun, Tokyo, edisi 23 Juli 1981.
Ada satu hal yang mendorong Pak Bagijo tertarik menulis biografi para tokoh nasional. Ia beruntung, gairahnya sebagai wartawan mulai marak di masa awal revolusi bersenjata, ketika bangsa Indonesia tengah merebut kemerdekaan. Dalam usia menjelang 30 tahun itu, ia mengenal dari dekat para the founding fathers Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agoes Salim, Wondoamiseno, Soekiman, Natsir, Kasman Singodimedjo, Wilopo, Tan Malaka, Alimin, Ki Hadjar Dewantara, Amir Sjarifuddin, Arudji Kartawinata. Dan masih banyak lagi.
Selain itu ada tiga tokoh pers dan sastra yang mendorong semangatnya untuk meneruskan minatnya sebagai penulis biografi. Misalnya, Ayat Djajadiningrat. Pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Ekspres, yang terbit di Surabaya ini, sekitar tahun 1950-an sempat memuji dan mendorongnya untuk menulis biografi para tokoh nasional. “Kalau bisa juga tokoh-tokoh lain, termasuk para pengusaha, dan sebagainya. Kelak hasilnya bisa untuk bekal sesudah pensiun, “ kata Ayat ketika itu.
Dalam perjalanan keliling Amerika Serikat atas undangan lembaga penerangan AS, USIS (1957), Djamaluddin Adinegoro – seniornya yang kelak diakui sebagai salah seorang perintis pers nasional – menyatakan kepada Soebagijo, agar selain menjadi wartawan juga berusaha keras menjadi pengarang. Belakangan, sastrawan dan sejarawah Prof.Dr.Brigjen Nugroho Notosusanto pun – yang sering ditemuinya untuk mencari bahan penulisan biografi para pelaku sejarah – juga mendorongnya agar meneruskan profesinya sebagai penulis biografi.
Kekagumannya terhadap seorang tokoh juga merupakan salah satu motivasi yang mendorongnya untuk menulis biografi. Di masa remajanya, suatu hari di tahun 1941, ketika belajar di sekolah guru HIK Muhammadiyah Yogyakarta, ia shalat Jumat di masjid Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Ketika itu kebetulan yang berkhotbah ialah K.H. Mas Mansur, ketua umum PP Muhammadiyah, yang juga salah seoarng tokoh nasional yang disejejarkan dengan Soekarno dan Hatta.
Jumat siang hari itu, cuaca sangat panas. Dan Soebagijo datang terlambat, karena itu ia hanya kebagian tempat di luar masjid. Ketika shalat dimulai, dan sang imam membaca surah Al-Fatihah, Soebagijo terguguk, airmatanya meleleh. “Ketika itu suara Kiai Mas Mansur mengalun, sungguh-sungguh menyentuh perasaan, menunsuk jantung di rongga dada saya. Senar-senar jiwa yang paling halus bergetar. Dan begitulah yang terjadi, saya menangis terisak-isak. Ya, shalat sambil menangis terisak-isak,” tulisanya dalam prawacana untuk buku biografi K.H. Mas Mansur .
Lalu tulisnya lagi, “Nama Mas Mansur terkenal di mana-mana, sebagai seorang pemimpin yang tidak berambisi, seorang yang polos, seorang alim, seorang organisator dari pesantren yang mampu bergerak di kalangan terpelajar atau intelektual. Masih nampak selalu di pelupuk mata, bagaimana wajah raut mukanya, cara dia berjalan, berbicara, mengucapkan pidatonya, caranya berpakaian, yang semuanya menggambarkan serba kesederhanaan.”
Dan 40 tahun kemudian, setelah Jumat siang yang berurai air mata itu, Soebagijo menulis biografi orang besar itu.
KARIR Soebagijo dimulai sebagai sastrawan yang menuliskan karyanya dalam bahasa Jawa. Cerita pendeknya, Nyuwun Pamit, Kyai (Mohon Pamit, Kyai), yang bercerita tentang pergulatan batin seorang anggota Hizbullah – lasykar rakyat yang beranggotakan para pemuda pejuang Islam di awal perjuangan kemerdekaan – dimuat di majalah Pandji Poestaka, Maret 1945. Sedangkan karya geguritan atau puisinya, Gegambaran (Perumpamaan) dimuat di majalah Api Merdeka, Januari 1946, terbitan Ikatan Pelajar Indonesia, Yogyakarta.
Dua karya Pak Bagijo itu belakangan dimuat dalam antologi karya sastra berbahasa Jawa, Javanese Literature since Independence, an Anthology (1979) dengan kata pengantar Dr. J.J. Ras, guru besar universitas Leiden, Belanda, yang juga pakar bahasa dan sastra Jawa. Dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (1985) itu, Pak Bagijo disebut sebagai salah seorang “pelopor generasi penulis cerita pendek dari masa sesudah perang.”
Sebelumnya, masih di bangku sekolah di masa pendudukan Jepang, ia sudah menulis di majalah Indonesia Merdeka terbitan Djawa Hookoo Kai, sebuah lembaga kebudayaan bentukan Jepang. Dan di awal masa kemerdekaan, ia menjadi pemimpin redaksi majalah Api Merdeka (PB IPI) dan Djiwa Islam terbitan PP Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Yogyakarta. “Ketika itu saya belum profesional. Baru setelah menjadi wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara pada 1946, saya mulai profesional,” ujarnya. Dan sejak itulah ia mengenal dari dekat para tokoh nasional.
Pengalamannya sebagai wartawan ia ceritakan dalam sebuah artikel berjudul Menjadi Wartawan “Antara” Setengah Abad Yang Lampau yang dimuat dalam buku Mengabdi kepada Republik melalui Kantor Berita Antara (1985). Dalam buku yang disuntingnya itu, dimuat pula sejumlah pengalaman para pensiunan wartawan, markonis dan pegawai Antara lainnya. Masih segar dalam ingatan, tugasnya pada minggu pertama magang sebagai wartawan yunior. Kala itu, ia meliput pertemuan Sri Sultan HB IX dengan para bupati di seluruh Yogyakata, 1946, untuk konsolidasi Republik.
Ketika itu, dalam setiap kesempatan, misalnya dalam rapat-rapat umum, para artawan mendapat kehormatan luar biasa. Bayangkan pengalaman Pak Bagijo kala itu: meski cuma berpakaian sederhana dan mengendarai sepeda alias “kereta angin” ia – bersama wartawan yang lain – mendapat tempat duduk di pentas, sejajar dengan para pembesar seperti presiden, wakil presiden, panglima besar, menteri. Padahal, teman-teman sekolah, termasuk para gurunya, berjubel di lapangan yang siang itu panas terik....
Menurut Pak Bagijo, dibanding dunia pers sekarang, “dulu kami lebih bebas menulis.” Lagi pula, ketika itu, para wartawan sangat akrab dengan para pemimpin nasional. Pak Bagijo, misalnya, di akhir tahun 1948 pernah diajak oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam satu mobil. Ia duduk di jok belakang, mendengarkan beberapa hal mengenai situasi kemiliteran saat itu. Ia sendiri, sehari-hari memang sering bertemu dengan sang jenderal dalam pengajian Perserikatan Muhammadiyah di belakang Masjid Agung, Kauman, Yogyakarta.
Padahal, ketika itu ia baru dua tahun menjalani magang sebagai wartawan yunior. Di tahun itu pula, ketika Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem, kembali dari Kaliurang setelah berunding dengan Belanda, Pak Bagijo mencegat dan mewawancarainya sambil jalan kaki di Jalan Pakuningratan, Yogyakarta. Bahkan ia juga sempat berkenalan dengan para anggota delegasi RI itu. Ketika itu, tutur Pak Bagijo, para menteri hidup sederhana, kalau perlu jalan kaki jadilah. Ketika itu mobil penjemput Mr. Roem kebetulan mogok....
Tiga tahun menimba pengalaman di kantor berita, Pak Bagijo ingin mencoba berdiri sendiri. Belakangan, ia tampil sebagai wakil pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat, Surabaya. Akan tetapi akhirnya, 1957, ia kembali menjadi wartawan Antara, kali ini di kantor pusat Jakarta. Di sanalah ia menduduki jabatan yang cocok dengan minatnya sebagai penulis biografi yang membutuhkan bahan dokumentasi, yaitu Kepala Perpustakaan dan Riset (1982). Ia juga sempat menjadi kepala perwakilan LKBN Sntara di Beograd, Yugoslavia (1966-1968).
Di tengah kesibukannya sebagai wartawan dan penulis buku, ia masih sempat menjadi penulis lepas mengenai berbagai hal di sejumlah media massa, terutama sejarah pers nasional. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Jawa. Bisa dimaklum, sebab di tahun 1950-an, selain menjadi redaksi Panjebar Semangat, ia juga mengasuh Taman Putra (lembaran anak-anak), Tjrita Tjekak (lembaran cerita pendek) dan Poestaka Roman (lembaran untuk novel), semuanya dalam bahasa Jawa.
Sejak tahun 1950-an pula, sampai 10 tahun kemudian, Pak Bagijo (dengan nema samaran “Haji SIN”) terkenal sebagai penulis kisah serial di majalah Minggoe Pagi, Yogyakarta. Rubrik yang sangat disukai oleh para pembaca itu ialah Spionage contra Spionage, yang kemudian dilanjutkan pemuatannya selama beberapa tahun di harian Berita Buana, Jakarta. Dengan mudah ia menulis kisah spionage di masa Perang Dunia I dan II itu, sebab memiliki koleksi sejumlah buku mengenai hal tersebut.
Menurut catatan Djojosantosa dalam bukunya, Taman Sastrawan (CV Aneka Ilmu, Semarang, 1990), sejumlah media yang memuat tulisan Soebagijo I.N. sejak tahun 1950-an, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, antara lain, Menara Merdeka (Kediri), Panjebar Semangat, Djaja Baja, Soerabaja Post, Soeara Oemoem (Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Nasional, Mekarsari, Minggu Pagi (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang), Kompas, Berita Buana, Warna Sari (Jakarta). Selain menggunakan nama asli, Pak Bagijo beberapa kali juga menggunakan nama samaran, seperti Pak SIN, Haji SIN, Satrio Wibowo, Anggajali, Damajanti, dan Endang Moerdiningsih.
Selain menulis, Pak Bagijo juga suka berorganisasi. Sejak masih anak-anak, ia sudah menjadi anggota kepanduan Muhammadiyah, Hizboel Wathan, sementara di masa remaja ia menjadi anggota staf Pengurus Besar Ikaran Peladjar Indonesia (PB IPI), dan sebagai pemuda ia aktif sebagai anggota Pengurus Besar Gerakan Pemuda Islam Indonesia (PB GPII), keduanya berkantor pusat di Yogyakarta. Ikut mendirikan Himpunan Pernerjemah Indonesia (1970), belakangan ia menjadi ketua HPI Komisariat Jakarta Raya. Setelah pensiun dari Antara (1981), bersama para pensiunan Antara yang lain, ia mendirikan Kerukunan Purnantara (kemudian berganti menjadi Penantara), dan ia terpilih sebagai wakil ketua III (1986).
Walhasil, masyarakat perbukuan -- tentu saja juga pers Indonesia -- sangat menghargai jerih payah dan goresan pena Pak Bagijo. Akan tetapi secara formal, ia pernah menerima penghargaan yang memang layak dan pantas diterimanya. Pertama, Hadiah Buku Utama, penghargaan sebagai penulis buku terbaik dari Yayasan Buku Utama (1989), dan kedua Hadiah Sastra Jawa dari Yayasan Rancage (1994), atas jasanya yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan sastra berbahasa daerah, dalam hal ini bahasa Jawa.
***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment